1.17.2016

Puncak Sikunir, Dieng

Subuh mengajarkan bahwa kelam selalu menjanjikan tabir surya yang mempesona -Puncak Sikunir, Dieng. Sabtu, 2 Januari 2016 pukul 04.00 WIB

Menunggu Kembali ke Alam

Malam ini berpikir hal apa yang paling prestise bagiku. Setelah mengingat dalam waktu yang singkat, bagiku salah satu bentuk mengapresiasi diri dengan mewujudkan mimpiku. Mimpiku dari kecil menyatu dengan alam.

Di senja hari, kukayuh sepeda di bawah pohon nan rimbun. Roda nan bergesek dengan kerikil kecil timbulkan gaduh sesaat.  Jauh di depanku hamparan ilalang luas dikerumuni kupu-kupu yang sibuk mengepakkan sayap. Semuanya menjadi  sempurna saat kutatap ke samping. Ia, teman hidupku, selayang pandang tersenyum manis. Lalu mata kami kembali tertuju ke depan.

Di hamparan ilalang itu kami memarkir sepeda. Tanpa banyak kata, kami duduk. Berselang beberapa menit, ia mulai memetik gitarnya. Sementara tangan kananku mulai menggoreskan kata di sebuah kertas putih. 

Ia ciptakan nada dan aku racik prosa. Kami saling mengisi dalam diam. 

Sudah waktunya yaaaa :)

6.07.2015

Sakit Tapi Keren

Heels bagi wanita sejujurnya membuat kaki pegal, sakit, dan bengkak, Namun selalu membuat lebih percaya diri 😁



6.06.2015

Gambaran Kerja Jurnalis

Seringkali saya sedih dengan tanggapan teman-teman terhadap media cetak nasional yang mempunyai nama baik. Jangan gampang memberi cap media bobrok tanpa tahu perjuangan mereka di lapangan. Setidaknya dengan memahami kerjanya kita bisa menghormati profesinya, Marilah saya gambarkan kinerja jurnalis seperti apa. 

Menjadi jurnalis tentu tidak hanya berkecimpung dengan menulis berita saja. Namun kami memulainya dari usulan yang digodok di rapat redaksi. Pertimbangan pertama dari usulan ini berdasarkan seberapa pentingnya bagi publik. Semisal ada usulan terkait naiknya harga BBM dan tren batu akik. Tentu yang dipilih kenaikan harga BBM ini karena akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia.

Setelah disepakati bersama (sebelum kesepakatan ini akan terjadi diskusi panjang dan debat) menjadi Laporan Utama maka dibuat TOR dan pembagian kerja. Setiap jurnalis bertanggung jawab penuh dengam narasumber yang akan dikejar. Biasanya saya sendiri menghabiskan waktu seharian untuk riset dari arsip kantor, berbagai media, dan bahkan menelpon teman jurnalis (baik dari media saya atau media lain) di lapangan. Saya memastikan kesiapan diri sebelum turun ke lapangan. Jangan sampai mengeluarkan pertanyaan bodoh atau mempertanyakan hal yang sudah dijawab sebelumnya.  

Sampailah pada berburu narasumber, dimulai dari mencari agendanya, mencari nomor telponnya, bahkan tak jarang nongkrong seharian di kantornya. Tak pelak sering menunda makan saking takut kehilangan momen. 

Saat narasumber muncul pun belum tentu semua pertanyaan dijawab, harus pintar-pintar memilih diksi menghadapi narasumber. Ada narasumber yang tertantang dengan pertanyaan menohok, tetapi ada pula yang malah tersinggung dan memilih diam. Maka diperlukan kecerdasan dalam melihat situasi dan kondisi. Setidaknya kalau dia tidak bisa menjawab lengkap, saya pastikan dia menghapal nama atau wajah saya biar nanti dichat atau ditelpon dia jawab. Setelah itu barulah membuat laporan dan menulis dan mengirimkan ke editor. 

Beginilah perjuangan kami di lapangan, di media saya ada rubrik Dialog jadi kami harus wawancara eksklusif orang terkait, entah narasumbernya pembuat kebijakan atau pengusaha. Perjuangannya juga bakal berbeda, tak jarang sesampai di kantor  mereka, kami disuruh menunggu lama dan ternyata diminta reschedule lagi.

Semoga tergambar ya 😊

6.05.2015

Tunggu Ya

Beberapa teman berharap menemukan tulisan terkait kisah di lapangan agar ditampilakn di blog ini. Mereka pun kecewa setelah menemukan karya sastra ala-ala Mimi. 

Baru saja menyadarinya, nanti Mimi coba ya. Soalnya tidaklah mudah bagi seorang jurnalis sepertiku menulis kisah di lapangan. Karena terkadang ada hal off the record yang membuat jalan cerita menjadi bolong. 

Selain itu, jurnalis terbiasa bergumul dengan fakta dan membuang opini jauh-jauh. Akibatnya susahlah bagiku untuk beropini di berbagai tulisan. Apalagi selama ini dibesarkan di media ekonomi. Mimi betul-betul butuh belajar banyak.


6.12.2014

Dunia Milik Dua Tetua

Hari ini kembali menaiki kereta api dari Pondok Cina menuju Tanah Abang, lalu dengan sabarnya menyambung kembali kereta dari Tanah Abang menuju Serpong, rutinitas tiap hari. Awalnya bosan, namun dalam kebosanan itu selalu kutemukan cara untuk menikmatinya. 

Inilah dia tatapan sekilasku, di kereta menuju Serpong aku melihat sepasang manusia yang membuatku takjub, berdiri memojok di dekat kursi prioritas. Yang laki tangan kirinya memegang buku dan handphone yang tersambung pada powerbank dan yang wanita memegang tas hitam dari sebuah brand terkenal. Hebatnya tiada handphone yang menyibukkan mereka. Mereka bersandar ke badan kereta dan saling memandang dan bercerita tentang keluarga, rumah, anak mereka, dll.

Ini mungkin hal biasa jika terjadi pada remaja tanggung yang sedang di mabuk cinta. Tetapi ini, adalah 2 orang tua yang berumur kira-kira 50-an saling bersitatap penuh cinta dalam jarak private mereka. Mereka tak mempedulikan lalu lalang manusia, tak peduli deringan handphone, dan tak peduli dengan aku yang daritadi curi-curi pandang pada mereka. Bagi mereka dunia ini milik berdua. Wajar kan ya, aku cemburu pada dua tetua ini :) 

5.11.2014

Teruslah Bergoyang Ilalang-Ilalang

Ilalang-ilalang, teruslah bergoyang menemani pejalan kaki yang selalu menikmati goyanganmu. Ilalang, teruslah berdiri tegak bersama-sama memangku nasib, saling berbagi.

Jangan sesekali kau malu diri, sungguh kau bukan tercampakkan. Kau juga bukan tak diinginkan sehingga kau tak dibawa pulang. Bukan pula kau rendahan sehingga tempatmu selalu diinjak.

Ilalang, jangan sesekali membandingkan diri dengan yang lain. Bukan karena kau tak dipilih, hanya saja saat ini mungkin tempat terbaikmu ada di situ. Dan biarlah orang yang tepat yang membawamu pulang. Ssst, jangan kau goyah oleh terpaan badai. 

Jika engkau marah, maafkanlah kelancangan pejalan kaki yang sungguh tak sengaja. Karena sebetulnya pejalan kaki memulai langkahnya dari rumah ke tempat yang ia tuju, di jalan ketemu denganmu. Sudahilah amarahmu, marilah tetap bersahabat :) 

5.03.2014

Dari Hatiku ke Hatimu


Terkenang masa lalu, saat kelas 3 SMA. Percakapan penting dengan Papa, aku memilih jalan hidupku, ingin menjadi bidan sambil mengajar di sebuah kampus. Kuutarakan kemauanku. "Mi kuliah di Akbid ya Pa," pintaku duduk di sebelah beliau yang sedang berpacaran dengan bukunya. Hari-hari beliau dengan pensil, penggaris, dan buku tebal tentang berbagai sejarah Minangkabau.

Mendengar pintaku, ia menarok buku, pensil, dan penggarisnya. Di balik kaca mata itu, ia menatapku. "Bukannya itu pekerjaan kotor, kenapa kamu mengambil sesuatu dari tempat yang kotor, berdarah-darah Nak, mending jadi dokter," sahut Papa. Aku tergelak, sudah sangka jawabannya tak ada unsur penolakan. Orang tuaku terlalu demokratis, ia selalu memberi beberapa pilihan.

 "Jadi dokter itu duitnya banyak Papa, lalu juga hapalannya terlalu banyak, gak fokus. Mending ahli di satu bidang saja. Kelihatannya bidan itu menyambut sesuatu dari tempat yang kotor, tapi Papa tahukah kalau anak itu berasalnya dari surga. Dan Bidan diberi keutamaan oleh Allah untuk menyambut sesuatu dari surga itu, aku yang menyambut malaikat kecil yang pertama kali melihat dunia, bukankah itu sesuatu yang luar biasa?" tanyaku dengan semangat.

Ayahku tersenyum, ia tahu sudah kalah dalam diskusi ini. Dan memang ini bukan debat, ia tersenyum manis dengan kumisnya. Lalu beliau mengangguk setuju dengan pilihan dan argumenku. Aku menatapnya penuh cinta. Ayahku lelaki paling keras yang kukenal, tetapi selalu bisa kutaklukkan. Sesuatu yang berasal dari hati akan diterima oleh hati :)