Lima belas tahun yang lalu...
“Aku pengen jadi boneka,” kata sahabat kecilku sambil membelai rambut
emas boneka barbie miliknya. aku menatap boneka itu lekat-lekat, memikirkan
kalimat itu.
“Kenapa?” tanyaku polos.
“Karena dia cantik,” jawabnya polos. Aku masih berusaha menatap boneka
itu lekat-lekat. Aku suka boneka, tetapi aku tak pernah untuk berpikir menjadi
dirinya. Lama berpikir, kuputuskan berlari ke rumah untuk mengambil sepeda,
mending main sepeda ah.
***
Kali ini, aku berusaha sekuat
tenaga untuk mengangkat kotak suara yang kami pinjam dari KPU. Ringan
sebenarnya namun karena memang aku kurang kuat, dan lupa sarapan pagi. Alhasil
aku berhasil ngos-ngosan sampai ke parkiran. Sempat sepatah dua patah kata “capek”
keluar dari mulutku. Namun, selanjutnya kata-kata itu tercekik di
kerongokongan.
Aku membelalak tak percaya. Aku
menatap dua bendaharaku yang sedang keluar dengan parkiran. Mereka membawa dua
kotak yang tingginya sekitar setengah meter di sisi kiri dan sisi kanannya
kotak. “Wow, super sekali,” pekikku masih terpaku menatapnya. Berpikir sebentar
lalu melirik mereka.
“Berapa orang yang mengambil
kotak pagi ini?” tanyaku pada Penanggung Jawab Penconterenganku.
“Ada enam tujuh orang, satu
cowok, si Hafiz, selebihnya cewek bolak-balik daritadi,” katanya. Aku nyengir,
apa boleh buat, satu cowok diutus ke salemba. Si Bos sakit, si Staf ahli hukum
ku sebentar lagi dioperasi. Yang lain, ada yang UTS.
“’Teman seatap’ mana?” tanyaku
dengan senyuman manis sekali.
“Nggak ada,” jawabnya polos. Aku
batuk-batuk sebentar, it’s oke, mungkin mereka sibuk dengan segala hal yang sedang
terjadi. Ya, yang namanya keluarga seatap harus pengertianlah. Puji segera
mengeluarkan motornya dari parkiran. Aku segera mengangkat kotak suara itu
dengan semangat “45. Mungkin ini waktunya Ya Allah, menunjukkan bahwa wanita
pun harus bisa mengerjakan pekerjaan lelaki, kebetulan mereka punya sakit dan
ada yang sudah diberi amanah lain. Apalah hendak dikata, sodara seatap saya
juga sibuk :p
***
Tadi, untuk beberapa kalinya, aku
mutar-mutar keliling fakultas, tadi sempat kecelakaan kecil yang disaksikan
mahasiswa di halte FIK. Namun, tak apalah, biar berasa perjuangannya. Toh, dari
kecil aku sudah sangat suka berpetualang dengan sepedaku. Dan hari ini, aku
cukup menjadi orang yang duduk manis di belakang si pengendara motornya dan
sampailah kami ke rumah kami, pusgiwa.
Kali ini, dengan ngos-ngosan kami
segera menaiki tangga Pusgiwa satu per satu, entah untuk keberapa kalinya
sampai-sampai aku menghitung satu per satu tangga dan mendendangkan melodi lagu
untuk menghibur diri. Lagi-lagi para
cewek yang bolak-balik mengambil kotak suara di masing-masing TPS. Kamipun bolak-balik
dari pusgiwa ke falultas belasan kali, tanpa makan dan minum apapun. Tak hanya
itu, dari pagi, kami berpatroli ke masing-masing fakultas, mengantar surat
suara jika ada yang kosong, melipat surat suara yang baru dicetak tadi malam
karena kelalaian panitia. Menghibur diri dengan sedikit lelucon yang terjadi.
Namun, tetap saja wanti-wanti dengan apa yang terjadi.
Beberapa fakultas bermasalah, ada
beberapa fakultas yang telat buka dan bahkan tak buka. Aku baru mendapat
kabarnya. Aku tahu betul siapa yang bertanggung jawab untuk hal itu. Apa boleh
buat dia sudah mengerahkan semua kemampuan yang dia miliki. Dan apa boleh buat
juga, dia mempunya wakil PO yang sangat detail dan ini bukan main-main Bung,
ini amanah!
“LO KENAPA NGGAK LAPOR KE GUE?”
tanyaku dengan suara yang sudah mau habis. Namun untuk menunjukkan ekspresi
seriusku, kupaksakan untuk berteriak, dan berhasil teriakan itu membuat
telinganya merah. Bukan untuk menghukumnya, hanya ingin menunjukkan kalau aku
bisa lebih galak dari itu kalau besok masih bermasalah.
Dengan semua masalah itu, tim
yang lain cuma bisa diam tanpa banyak komentar. Entah mereka paham dengan apa
yang terjadi atau mereka malah sedikit tak suka caraku. Namun, dari bahasa
simbol muka mereka sepertinya masih menerima karena ini bukan kali pertama aku
marah. Aku tahu ini bakal berdampak suatu hari dan timku juga berpikiran yang
sama.
Lagi-lagi badanku lemas, perutku
meminta makan, aku cuek. Kuambil sebuah kertas surat suara dan aku melipatnya,
senyap sunyi, bukan karena tak orang. Tapi mereka semua sibuk melipat suara dan
mungkin juga terlalu capek untuk ngobrol. Di rungan ini, hanya terdengar jam
dinding yang berdetak, cowok yang tadi kumarahi segera keluar. Aku mendesah tak
tertahankan. Puji menatapku dan menepuk-nepuk tanganku pelan-pelan. Ini bukan
masalah pertama, banyak masalah di beberapa fakultas. Seorang teman yang punya
tanggung jawab untuk hal penconterengan ini, tiba-tiba mengundurkan diri dan
dengan ahlinya menggunakan kata-kata memaki pula dan kujawab dengan diam tadi.
Ingin tertawa ngakak dengan semua hal yang terjadi hari ini. Ingin membagi
penderitaan ini dengan dua orang yang mengerti betul lahan ini, pertama si Bos
yang sedang berbaring di rumah sakit dan yang satu lagi staf ahli hukumku yang
sedang membuat ramuan untuk penyakitnya. Aku mendesah pelan.
Tiba-tiba teman seatap datang,
dengan senyuman manis. Aku berusaha menjawab senyuman itu, toh salah satu
hadis menyebutkan senyummu atas
saudaramu adalah pahala. Dia mengeluarkan sebuah kertas.
“Eh Mi, kita evaluasi yuk, di
fakultas ini kok gini, kalo di fakultas itu lebih parah lagi, kok bisa sampai
gini?” dia membeberkan semua masalah di tiap-tiap fakultas dan meminta
penjelasanku. Kepalaku benar-benar sakit, untuk kesekian kalinya dalam hari ini
aku menghela nafas panjang. Beginikah Ya
Allah, rasanya jadi pemimpin?
“Oke, bahas satu per satu,”
sahutku menatap tajam wajahnya. Dia kembali menjelaskan secara detail, diikuti
temannya ikut-ikutan mengiyakan semua kejanggalan di lapangan itu. Kepalaku
lagi-lagi sakit.
Entah kenapa, seperti sebuah
rekaman di recall oleh memoriku, semuanya
bermain di kepalaku, mulai dari verifikasi sampai kampanye. MWA itu tanggung
jawab mereka, mereka dimana? Salah satu panelis saat kampanye MWA sempat tersinggung
karena hanya sedikit panitia yang hadir, mereka dimana? Dan aku harus meminta
maaf berulang kali kepada si panelis. Kujelaskan posisiku padanya, ada tiga
acara panitia pemira hari itu dan kami
harus membagi SDM yang ada. Untung saja, si panelis orang yang pengertian.
Beberapa kali selalu kuusahakan
positif thinking untuk semua hal berhubungan dengan mereka. Tapi tidak lagi
untuk saat ini, kesabaranku ada batasnya. Kalau mereka tak datang untuk
kampanye kenapa ujuk-ujuk datang saat
penconterengan? Aku tersenyum simpul, maaf teman, aku nggak segoblok itu. Jadi
mau main politik denganku? Salah orang, dari kecil aku sudah mengerti politik. Aku
tersenyum manis, kujawab semua pertanyaan satu per satu itu dengan nada yang
sangat lembut.
“Udah?” tanyaku masih
mempertahankan senyum manisku.
“Iya udah,” jawabnya puas dengan
jawabanku. Ini waktunya!
“Ehm, lo berdua “teman seatap
kita” ya? Yang lain kemana ya? Nggak kangen kita-kita? Kok datengnya baru
sekarang, dari kemaren-kemaren kemana aja, liburan? Banyak tugas? Atau
jangan-jangan nggak level ya bergaul dengan kita yang mengurusi urusan rakyat
jelata ini. Gue tahu kok, jabatan kalian terlalu eksklusif untuk turun
lapangan. Tapi tolong dong, ini P*M*R* merupakan tanggung jawab kalian juga
kan? Atau mau gue bawa tinggal semuanya, terus kalian yang nyelesin. Oh tentu
tidak, gue juga nggak bakal mau, karena gue tahu pasti semuanya akan gue pertanggung
jawabkan di akhirat kelak!” kataku tersenyum, namun kuyakin itu senyum pahit.
Kulirik, teman-teman se-timku mengangguk-angguk. Tiba-tiba Penanggung jawab
Penconterenganku lebih ekstrim, mereka menunjuk dua orang itu.
“KALIAN MENGHAKIMI KAMI DARI
TADI!” sahutnya lantang. Aku diam menunduk dan beristighfar sebanyak-banyak
yang kubisa. Dan sekarang aku baru mengerti kenapa aku tak suka boneka, sungguh
aku benci jadi boneka, sampai kapanpun jua.
Pesan moral untukku:
Jangan ambil amanah apapun kalau kau tak siap, karena bakal kita
pertanggung jawabkan di akhirat kelak. Si bos gue aja sampai ninggalin UTS buat
ini oi!