10.19.2012

PEMIRA UI 2010 #4

Lima belas tahun yang lalu...
“Aku pengen jadi boneka,” kata sahabat kecilku sambil membelai rambut emas boneka barbie miliknya. aku menatap boneka itu lekat-lekat, memikirkan kalimat itu.
“Kenapa?” tanyaku polos.
“Karena dia cantik,” jawabnya polos. Aku masih berusaha menatap boneka itu lekat-lekat. Aku suka boneka, tetapi aku tak pernah untuk berpikir menjadi dirinya. Lama berpikir, kuputuskan berlari ke rumah untuk mengambil sepeda, mending main sepeda ah.
***
Kali ini, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat kotak suara yang kami pinjam dari KPU. Ringan sebenarnya namun karena memang aku kurang kuat, dan lupa sarapan pagi. Alhasil aku berhasil ngos-ngosan sampai ke parkiran. Sempat sepatah dua patah kata “capek” keluar dari mulutku. Namun, selanjutnya kata-kata itu tercekik di kerongokongan.
Aku membelalak tak percaya. Aku menatap dua bendaharaku yang sedang keluar dengan parkiran. Mereka membawa dua kotak yang tingginya sekitar setengah meter di sisi kiri dan sisi kanannya kotak. “Wow, super sekali,” pekikku masih terpaku menatapnya. Berpikir sebentar lalu melirik mereka.
“Berapa orang yang mengambil kotak pagi ini?” tanyaku pada Penanggung Jawab Penconterenganku.
“Ada enam tujuh orang, satu cowok, si Hafiz, selebihnya cewek bolak-balik daritadi,” katanya. Aku nyengir, apa boleh buat, satu cowok diutus ke salemba. Si Bos sakit, si Staf ahli hukum ku sebentar lagi dioperasi. Yang lain, ada yang UTS.
“’Teman seatap’ mana?” tanyaku dengan senyuman manis sekali.
“Nggak ada,” jawabnya polos. Aku batuk-batuk sebentar, it’s oke, mungkin mereka sibuk dengan segala hal yang sedang terjadi. Ya, yang namanya keluarga seatap harus pengertianlah. Puji segera mengeluarkan motornya dari parkiran. Aku segera mengangkat kotak suara itu dengan semangat “45. Mungkin ini waktunya Ya Allah, menunjukkan bahwa wanita pun harus bisa mengerjakan pekerjaan lelaki, kebetulan mereka punya sakit dan ada yang sudah diberi amanah lain. Apalah hendak dikata, sodara seatap saya juga sibuk :p
***
Tadi, untuk beberapa kalinya, aku mutar-mutar keliling fakultas, tadi sempat kecelakaan kecil yang disaksikan mahasiswa di halte FIK. Namun, tak apalah, biar berasa perjuangannya. Toh, dari kecil aku sudah sangat suka berpetualang dengan sepedaku. Dan hari ini, aku cukup menjadi orang yang duduk manis di belakang si pengendara motornya dan sampailah kami ke rumah kami, pusgiwa.
Kali ini, dengan ngos-ngosan kami segera menaiki tangga Pusgiwa satu per satu, entah untuk keberapa kalinya sampai-sampai aku menghitung satu per satu tangga dan mendendangkan melodi lagu untuk menghibur diri.  Lagi-lagi para cewek yang bolak-balik mengambil kotak suara di masing-masing TPS. Kamipun bolak-balik dari pusgiwa ke falultas belasan kali, tanpa makan dan minum apapun. Tak hanya itu, dari pagi, kami berpatroli ke masing-masing fakultas, mengantar surat suara jika ada yang kosong, melipat surat suara yang baru dicetak tadi malam karena kelalaian panitia. Menghibur diri dengan sedikit lelucon yang terjadi. Namun, tetap saja wanti-wanti dengan apa yang terjadi.
Beberapa fakultas bermasalah, ada beberapa fakultas yang telat buka dan bahkan tak buka. Aku baru mendapat kabarnya. Aku tahu betul siapa yang bertanggung jawab untuk hal itu. Apa boleh buat dia sudah mengerahkan semua kemampuan yang dia miliki. Dan apa boleh buat juga, dia mempunya wakil PO yang sangat detail dan ini bukan main-main Bung, ini amanah!
“LO KENAPA NGGAK LAPOR KE GUE?” tanyaku dengan suara yang sudah mau habis. Namun untuk menunjukkan ekspresi seriusku, kupaksakan untuk berteriak, dan berhasil teriakan itu membuat telinganya merah. Bukan untuk menghukumnya, hanya ingin menunjukkan kalau aku bisa lebih galak dari itu kalau besok masih bermasalah.
Dengan semua masalah itu, tim yang lain cuma bisa diam tanpa banyak komentar. Entah mereka paham dengan apa yang terjadi atau mereka malah sedikit tak suka caraku. Namun, dari bahasa simbol muka mereka sepertinya masih menerima karena ini bukan kali pertama aku marah. Aku tahu ini bakal berdampak suatu hari dan timku juga berpikiran yang sama.
Lagi-lagi badanku lemas, perutku meminta makan, aku cuek. Kuambil sebuah kertas surat suara dan aku melipatnya, senyap sunyi, bukan karena tak orang. Tapi mereka semua sibuk melipat suara dan mungkin juga terlalu capek untuk ngobrol. Di rungan ini, hanya terdengar jam dinding yang berdetak, cowok yang tadi kumarahi segera keluar. Aku mendesah tak tertahankan. Puji menatapku dan menepuk-nepuk tanganku pelan-pelan. Ini bukan masalah pertama, banyak masalah di beberapa fakultas. Seorang teman yang punya tanggung jawab untuk hal penconterengan ini, tiba-tiba mengundurkan diri dan dengan ahlinya menggunakan kata-kata memaki pula dan kujawab dengan diam tadi. Ingin tertawa ngakak dengan semua hal yang terjadi hari ini. Ingin membagi penderitaan ini dengan dua orang yang mengerti betul lahan ini, pertama si Bos yang sedang berbaring di rumah sakit dan yang satu lagi staf ahli hukumku yang sedang membuat ramuan untuk penyakitnya. Aku mendesah pelan.
Tiba-tiba teman seatap datang, dengan senyuman manis. Aku berusaha menjawab senyuman itu, toh salah satu hadis  menyebutkan senyummu atas saudaramu adalah pahala. Dia mengeluarkan sebuah kertas.
“Eh Mi, kita evaluasi yuk, di fakultas ini kok gini, kalo di fakultas itu lebih parah lagi, kok bisa sampai gini?” dia membeberkan semua masalah di tiap-tiap fakultas dan meminta penjelasanku. Kepalaku benar-benar sakit, untuk kesekian kalinya dalam hari ini aku menghela nafas panjang. Beginikah Ya Allah, rasanya jadi pemimpin?
“Oke, bahas satu per satu,” sahutku menatap tajam wajahnya. Dia kembali menjelaskan secara detail, diikuti temannya ikut-ikutan mengiyakan semua kejanggalan di lapangan itu. Kepalaku lagi-lagi sakit.
Entah kenapa, seperti sebuah rekaman di recall oleh memoriku, semuanya bermain di kepalaku, mulai dari verifikasi sampai kampanye. MWA itu tanggung jawab mereka, mereka dimana? Salah satu panelis saat kampanye MWA sempat tersinggung karena hanya sedikit panitia yang hadir, mereka dimana? Dan aku harus meminta maaf berulang kali kepada si panelis. Kujelaskan posisiku padanya, ada tiga acara panitia pemira hari itu  dan kami harus membagi SDM yang ada. Untung saja, si panelis orang yang pengertian.
Beberapa kali selalu kuusahakan positif thinking untuk semua hal berhubungan dengan mereka. Tapi tidak lagi untuk saat ini, kesabaranku ada batasnya. Kalau mereka tak datang untuk kampanye kenapa ujuk-ujuk datang saat penconterengan? Aku tersenyum simpul, maaf teman, aku nggak segoblok itu. Jadi mau main politik denganku? Salah orang, dari kecil aku sudah mengerti politik. Aku tersenyum manis, kujawab semua pertanyaan satu per satu itu dengan nada yang sangat lembut.
“Udah?” tanyaku masih mempertahankan senyum manisku.
“Iya udah,” jawabnya puas dengan jawabanku. Ini waktunya!
“Ehm, lo berdua “teman seatap kita” ya? Yang lain kemana ya? Nggak kangen kita-kita? Kok datengnya baru sekarang, dari kemaren-kemaren kemana aja, liburan? Banyak tugas? Atau jangan-jangan nggak level ya bergaul dengan kita yang mengurusi urusan rakyat jelata ini. Gue tahu kok, jabatan kalian terlalu eksklusif untuk turun lapangan. Tapi tolong dong, ini P*M*R* merupakan tanggung jawab kalian juga kan? Atau mau gue bawa tinggal semuanya, terus kalian yang nyelesin. Oh tentu tidak, gue juga nggak bakal mau, karena gue tahu pasti semuanya akan gue pertanggung jawabkan di akhirat kelak!” kataku tersenyum, namun kuyakin itu senyum pahit. Kulirik, teman-teman se-timku mengangguk-angguk. Tiba-tiba Penanggung jawab Penconterenganku lebih ekstrim, mereka menunjuk dua orang itu.
“KALIAN MENGHAKIMI KAMI DARI TADI!” sahutnya lantang. Aku diam menunduk dan beristighfar sebanyak-banyak yang kubisa. Dan sekarang aku baru mengerti kenapa aku tak suka boneka, sungguh aku benci jadi boneka, sampai kapanpun jua.

Pesan moral untukku:
Jangan ambil amanah apapun kalau kau tak siap, karena bakal kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak. Si bos gue aja sampai ninggalin UTS buat ini oi!

PEMIRA UI 2010 #3

“Coba baca lagi kalimatnya,”
Isi dalam media kampanye di luar tanggung jawab PEMIRA
“Wah, kayaknya aneh deh,”
“Aneh dimana?”
“Eh pulang yuk,”
“Ah gue juga nggak tahu,”
“Aduh, gue pusing”
“Hah, gue bikin strategi komunikasi aja,”
“Gue main bola aja”
“Lo masih kuat duduk Man?”
“Dikuat-kuatin”
“Maksud gue ini lo Be”
“Heh, besok gue pinjam kipas ke BAK deh”
“HEH DIAM!”
Semuanya terdiam, beberapa detik masih kudengar detak jarum jam dinding yang menemani kami. Kami saling melirik dan menatap salah seorang staf ahli hukum yang tadi berteriak. Mukanya mulai merah, entah kecapean, entah menahan sakit. Sesekali kepalanya menengadah ke atas, dia mengangkat kedua tangannya. Pelan-pelan ditutupnya matanya, lalu sebuah kalimat yang mungkin tak pernah kami lupa keluar dari mulutnya.
“Tolong Baim Ya Allah,” katanya polos.
Sedetik, dua detik, kami saling melirik dan dalam hitungan satu, dua tiga.
“Hahahaha,” semua tertawa, entah karena saking lucunya, entah karena saking stresnya.
“Haha, mulai hari ini gue panggil lo Baim”
“Gue mau muntah,”
“Gue mau tidur”
“Saya mau main bola,” sahut Agus, penanggung Jawab Kampanye. Kami meliriknya, dia memainkan bola pimpong yang entah dimana didapatnya. Lalu dia menyelutuk sendiri. Lagi-lagi tawa pecah di ruangan ini.
Qibe, stah ahli hukum yang kedua,  masih berpikir, sesekali dia mengacak-acak rambutnya. Dia yang diandalkan untuk menuangkan kata per kata ke peraturan Panitia PEMIRA itu. Sekarang, Qibe sedang menghela nafas panjang. Si Bos sedang memainkan pulpen di kertas, berharap sebuah ilham tertuang ke kertas itu. Hana masih sibuk dengan hape nya. Si Baim lagi-lagi menengadah.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12, anjing yang entah darimana menggonggong menemani kami yang sedang membuat pasal per pasal untuk peraturan panitia PEMIRA. Dalam tiap pasal pun ada beberapa ayat. Ada sekitar 75 pasal yang akan kami buat. Untuk satu ayat saja, kami harus mengunyah-ngunyahnya minimal lima belas menit.
“Ya kalimat ini aneh, tapi gue nggak tau dimananya” kata Baim, lagi-lagi kami tertawa, dari tadi kami menyadari kalimat ini aneh.
“Materi bukan sih?” sahut si Bos.
“Yuhu, materi kampanye,” sahut Qibe seakan-akan baru dirasuki sesuatu oleh malaikat. Mereka kembali bersemangat, ribut lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Nyerah deh buat urusan yang satu ini.

PEMIRA UI 2010 #2

                Aku terhenyak, kutatap sekelilingku, teman-temanku saling pandang. Raut muka mereka tampak tegang, tangan yang dari tadi melipat kertas sekarang berhenti di tempat.
“Nggak ada jalan lain Kak?” tanyanya, semua mata ditujukan padaku. Aku gigit bibir, mau tak mau keputusan ada di tanganku, sang Bos sedang berperang melawan penyakit thypus-nya. Tadi kutelpon, dia memintaku untuk meminta persetujuan anak-anak. Lagi-lagi aku menghela nafas, kali ini kulirik dua staf ahli hukumku, Baim dan Qibe. Mereka geleng-geleng kepala, pucat pasi.
“Ya ampun Kak, 3 hari kami menghabiskan waktu melipat ini dan sudah jadi pula,” kata Dila, salah satu staf penconterengan.
Ruangan tampak tegang, panas sedikit mebuatku tercekik. Tak ada AC, jangankan AC, kipas angin pun tidak. Badanku berasa panas dingin. Beberapa kali aku menatap stafku yang berbuat kesalahan, dia tertunduk bisu. Tak ada gunanya juga aku teriak-teriak padanya. Dia sendiri tahu kesalahannya. Aku berusaha tenang, dan menghela nafas beberapa kali. Kali ini kutatap seorang Kakak yang mengerti Undang-Undang tentang PEMIRA ini.
“Jangan gunakan kertas ini,” katanya mengulang pernyataannya. Aku kembali memperhatikan kertas suara yang dicetak itu. Pengaruh facebook, salah seorang tim ku mengikuti nama yang ada di facebook. Kedua nama kandidat berubah di facebook, yang satu menggunakan nama ayah di akhir, yang satu lagi ejaannya salah. Aku meremas kertas itu bulat-bulat.
“Tapi kan 20.000 kertas mubazir,” sahut Bendaharaku, aku tahu alasannya, kita sudah berhemat dengan segala pengeluaran, karena dana yang baru turun 4 hari sebelum masa penconterengan. Aku mencoba berpikir dan lagi-lagi menatap staf ahli hukumku, mereka tampak berpikir keras. Ya sudahlah, tak ada jalan lain.
“Oke, cetak ulang semua, ayolah Tuhan melihat proses kita, bukan hasil” sahutku dengan senyum berusaha menghibur mereka.  Semua wajah meringis dan mengaduh. Mata kami melihat 20.000 kertas suara yang sudah dilipat. Kami tahu susahnya melita kertas suara, namun kami juga tahu, ini untuk kebaikan pada hari esok. Karena hari ini sama hari esok jelas berbeda. :D

PEMIRA UI 2010 #1

Perutku mulai berbunyi, bersenandung meminta makan kepada si empunya. Aku tersenyum getir dan berusaha cuek, kali ini aku berjalan menuju salah satu TPS. Kupaksakan sebuah senyuman mengembang, pelepas lelah dan sebuah bentuk penghargaan untuk beberapa orang yang menjaga TPS nya.
“Halo, berapa orang yang nyontreng?” kataku dengan suara yang mulai serak, namun nadanya masih tampak semangat. Mereka menjawabnya dengan senyum, sepertinya ini kabar baik.
“Lumayan Kak, ada 300 orang hari ini,” jawabnya sambil menyerahkan kertas suara dan beberapa BAP. Aku bertepuk dengan senang hati, lalu menyalami mereka satu per satu karena sudah kerja keras. Namun, koordinator fakultas, penanggung jawab di fakultas ini menatapku dengan tatapan sedih. Aku mendekatinya.
“Apa yang terjadi?” kataku, memaksakan senyum walaupun ada firasat sesuatu yang buruk sedang terjadi. Tanpa suara, dia memberikan sebuah kertas padaku. Aku mengambil kertas itu dengan segera membacanya.
Kami mengajukan keberatan atas dibukanya TPS di fakultas A pukul 09.01 WIB.
Aku menatap kepala surat itu, Pengajuan Keberatan Atas Kelalaian Panitia. Aku menghela nafas panjang, kutatap koordinator fakultasku. Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti. Kucoba meminta penjelasan darinya.
“Kita telat satu menit buka TPS Kak,” sahutnya dengan senyuman pahit. Aku membelalak tak percaya. Kubaca lagi tulisan itu, oh jadi itu maksudnya. Aku tertawa ngakak.
“Bilang ke mereka, 1 x 120 menit mereka telat membayar denda, saya masih setia menunggunya,” sahutku tersenyum manis meninggalkan TPS itu. Badanku mulai sempoyongan. Ya Allah, saya benar-benar lapar dan entah kenapa sepertinya hari ini saya ingin makan daging.