11.04.2013

Galau Jurnalis

Hei kamu,

Belajarlah mencintai seperti sekrup-sekrup kecil itu yang selalu berteriak pada Tuannya meminta kenaikan upah. tak capek- capek tiap tahunnya. Hebat pula mereka masih bernanung di tempatmu. Walaupun mungkin benar, ia membutuhkanmu demi sesuap nasi. Tapi bertahun-tahun bahkan mungkin belasan tahun mereka berkorban, liriklah mereka sedikit. Karena kadang mereka mengungkapkan cinta dengan perbuatan mereka, terus menerus bekerja. Sesekali mereka ganas karena hidup terlalu ganas. Berbaik hatilah pada mereka.

Sambil memperbaiki mereka, tetaplah naikkan pula targetmu padaku, kalau tak kuasa segera beli mesin untuk menambah kapasitasmu. Baca semua buku dan buku agar suatu saat kau terilhami dengan membuat rencana ekspansi untuk membangun rumah tanggamu. Jangan sesekali menyerah, karena para peri kecil tentu akan membantumu. Apalagi tanpa diminta kau sering menghadiahkannya madu.

Ijinkan pula peri kecil itu mengintip laporan kuartalmu yang rajin betul engkau laporkan pada Dia. Jika sekrup punya kau sebagai Tuannya, kau jua punya kewajiban padaNya. Seringlah bermuhasabah diri padaNya.

Jangan kau takut, sejatinya untuk mendapatkanku tak butuh investasi yang besar. Bukan berarti aku tak menjanjikan, hanya saja mungkin waktunya tepat. Toh negara yg kita injak ini saja berani betul memberi investasi murah meriah dengan dalih tiada modal kepada asing. Bahkan semua keputusan penting kemungkinan besar ditanda tangani sebelum Pemilu 2014. Aku dan negeriku sama, tak tamak harta, toh dari kecil kami sama-sama terbiasa hidup sederhana. Biarlah lumbung padi ini dinikmati tetangga, kami tetap dengan kesederhanaan kami. Biar tak susah perhitungan di akhirat kelak. Biarkah kami sibuk beribadah dan ibadah, dunia ini tak ada habisnya.

Namun, sesekali perlu juga kita belajar dari Jepang, yang bahkan baru eksplorasi saja, dengan percaya dirinya ia minta perpanjang Blok Masela, tamak betul ia padahal baru 2018 Blok Masela itu berproduksi. Tapi itu langkah cerdas karena ia sudah meramalkannya. Dan ia tahu berhadapan dengan siapa, lihatlah bagaimana pemerintah kita memprosesnya, mempertimbangkannya. Segera ramalkanlah bagaimana kita, jika menurutmu itu baik bagimu, Masa' kau tak berani berinvestasi? Apalagi resolusi pun sudah direvisi.

Segeralah berlari padaku, karena jika hati ini padam, musnahlah segala cahaya yg kita bentuk. Jika kau ditelikung duluan oleh yang lain, jangan sesekali kau salahkan siapapun. Jangan seperti komplotan kawanmu yg menyalahkan PLN saat listrik padam. Karena ini bukan kesalahan direksi sekarang, tidakkah investasi listrik itu butuh waktu 4-5 tahun yg lalu? PLN sudah makfum pemadaman akan terjadi, dari tahun 2009 ia coba bangun pembangkit, namun daerahmu yg korupsi itu mencoba memerasnya dan menghalang-halanginya. Mau kau salahkan siapa?

Hei, jangan pula kau menggantungku terlalu lama. Temanmu, Total EP saja tak sanggup menunggu lama dan mendesak presiden secepatnya mengeluarkan keputusannya. Karena memang aku membutuhkan kontrak berpuluh tahun dan segera memulai visi dan misi kita, jika dan hanya jika itu kau.

Sekarang, segeralah ambil wudhu, bersujudlah dalam tahajudmu bisikanlah pada Rabb, “jika sejatinya dua hati kita bertemu dan bisa mengubah nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik, ijinkanlah Ya Rabb.” Akhiri galaumu!


10.21.2013

Malaikat Kecil, Aku Cemburu Padamu

Beberapa hari ini aku didera oleh beberapa kisah nyata yang membuatku kembali sadar untuk tak menghabiskan waktu dengan mimpi, cita-cita, serta kegalauan masa depan, ataupun kekesalan dengan beberapa jalan hidup yang membuatku bisa dibilang kurang ikhlas. Cukup mencintai apa yang sekarang di depan mata, sungguh ia pantas menerimanya karena ia bahkan memikirkan kita jauh sebelum kita dilahirkan. 

Kemaren Tanteku yang biasa kupanggil Onang, menerima sebuah kado dari Kaela, anaknya. Kaela beberapa bulan ini dimasukkan ke pesantren dengan keinginannya sendiri. Dedekku ini dari dulu terkenal dengan hapalannya yang bagus. Jadi karena ini keinginannya, Mama dan Papanya memberanikan diri untuk memasukkannya ke pesantren.

Aku suka dengan kebiasaan Dedek yang tiap tahun sebelum hari ulang tahun Mama atau Papanya selalu mengajakku mencarikan kado. Kado itu dibelinya setelah mengumpulkan uang jajan bersama Tetehnya. Namun tidak tahun ini, karena ia mulai mondok dan badannya yang kecil malah semakin kecil. Menghubungi Kaela pun aku benar-benar tak bisa, ia tak diijinkan membawa ponsel di asramanya. Sebenarnya sih, pondoknya tak terlalu jauh dari rumah, tepatnya di sebuah pesantren di Parung. Satu jam dari rumah yang berada di Lenteng. Seringkali, Onang 'menculik' Dedek hanya untuk sekedar  main timezone, makan, atau photo box di sebuah mall di Depok.

Beberapa hari yang lalu Onang ulang tahun, tak satupun dari kami yang sempat membelikan kado, kecuali Oom. Tepat di hari ulang tahun itu, supir yang sering mengantar berbagai keperluan untuk Dedek, memberikan secarik surat ke Onang. Suratnya lucu dengan warna bunga, ala anak-anak sekali. Onang membuka surat itu... isinya kira-kira begini:

"Halo Mamaku, bidadariku
Maafin aku yang tak sempat memberikan Mama kado.
Namun Mama, jika aku disuruh milih pilih hidup bahagia tanpa Mama atau hidup susah sama Mama. aku pilih hidup susah sama Mama saja.

Aku sayang banget sama Mama...
Aku kangen dengan tangan Mama yang lembut menyentuhku untuk bangun saat shalat subuh. Sekarang yang bangunin aku cuma bel yang berdentang subuh Mama. gak ada Mama lagi...

Aku selalu berdoa Mama. aku selalu berdoa dalam shalatku semoga kebaikan untuk mama dan papa. 

Andai Mama tahu, walaupun aku menulis ini bukan tepat jam 12, tapi aku menulisnya sambil menangis. aku sayang banget sama Mama.

Aku gak tahu bakal bagaimana ke depannya kita akan ketemu apa nggak. karena aku sudah jauh tinggal di asrama , tapi aku ingin bilang Aku sayang Mama karena Allah."


Begitulah bunyi suratnya. Onang bahkan Oom yang jarang berekspresi saja nangis. Setiap Ibu, teman-teman Onang, yang baca surat ini pun menangis. 

Kaela ini baru menduduki kelas 1 SMP yang bahkan aku tahu betul dia jarang menulis. Tapi pilihan katanya membuatku begitu tersentuh. Setiap kata yang ia torehkan itu seakan berasal dari hati atau jangan-jangan itu adalah bisikan dari malaikat sebagai hadiah untuk Ibunya :)

Bulu kudukku merinding saat membacanya. Aku pun malu pada diriku sendiri, yang bahkan sampai akhir hayat Papa saja aku tak pernah mengucapkan "Aku mencintai Papa karena Allah..." Kadang kita perlu kembali menjadi anak kecil untuk mulai jujur dengan perasaan kita :")

Petualangan ini belum berakhir, hari ini, aku menemukan seorang anak yang butuh bantuan khusus, ia bisu dan menggunakan alat bantu pendengaran. Ia memasuki gerbong yang sama denganku pada kereta Depok_menuju Tanah Abang. Umurnya kira-kira 4 tahun. Saat masuk, ia langsung duduk di lantai, ibunya memberi isyarat dengan suara pelan kalau lantai itu kotor. Anak itu menatap ibunya, lalu dengan patuhnya akhirnya ia berdiri. 

Seorang Ibu tua berbaik hati memberinya tempat duduk, si kecil ini berdiri di kursi itu. Ia mulai memainkan penutup jendela di kereta. Rasa penasarannya sangat tinggi, tentu saja bunyi ini sangat berisik, Ibunya melarangnya untuk memainkan penutup jendela itu. Si kecil bersikeras dengan teriakan "aaa ma a am oo aaa," bisa dibilang teriakan ganas yang membuat beberapa orang meliriknya. Siapa yang tak terpesona dengannya perawakannnya cantik sekali, imut, sedikit gemuk, mata bulat, bibir mungil, hidung mancung, bulu mata panjang, cantik sekali! Namun tentu saja kami terheran dengan ia mengucapkan kalimat yang tak dapat dimengerti. Mulailah mata-mata takjub memandangnya itu berganti dengan belas kasihan. Ia mencoba mengusir beberapa orang, Ibunya tetap kalem. Tetap berusaha menormalkan situasi, ia meredakan amarah anaknya, tak tampak penat di wajahnya, tak tampak merah muka karena malunya. 

Ia tetap berbicara lembut ke anaknya dengan menggunakan isyarat tangan. Beberapa Ibu yang duduk di sofa itu turun dari kereta. Si kecil sangat senang karena tempat bermainnya menjadi semakin luas., namun ada seorang Mbak yang seumuran aku duduk di sofa  kosong itu. Si kecil mengamuk, ia dipegang ibunya kuat-kuat. Amukan itu pun berubah menjadi tangisan, kupinta si Mbak yang duduk itu untuk berdiri. Gadis sepertinya masih kuatlah untuk berdiri. Untung saja dia mau, dan tangis si kecil berhenti. 

Ibunya membujuk si kecil dengan bahasa isyarat, "Kakak itu boleh ya duduk di sini," kata Ibunya pelan minta ijin ke anaknya. Si kecil mengangguk dan tersenyum. aku tertawa melihat tingkahnya. ia menatapku yang sedang berdiri. Lalu ia mulai bermain lagi dengan melihat-lihat gambar di dinding kereta. Ada sebuah iklan ibu dengan anak, ia menunjuk sebuah gambar ibu dengan seorang gadis kecil yang dibingkai dengan tanda 'love.' Lalu si gadis kecil itu memberikan isyarat ke ibunya, beberapa jemarinya ia tempelkan ke bibir. Lalu, ibunya memberikan pipinya. Si kecil itu menciumnya. Aku langsung tertawa, tidakkah itu indah. Tadi aku mengasihinya, sekarang aku sungguh cemburu pada gadis kecil itu. Itu ungkapan yang manis sekali,  dia dan ibunya saling bertatapan. Bagaimana bisa ia mengungkapkan semanis itu? Indah sekali, semoga surga dihadiahkan kepada Ibu dan si kecil ini. :)

Begitulah kawan, kamu pilih yang mana mengungkapkan cinta dengan surat atau dengan perbuatan kepada Ayah Bundamu? Atau kamu punya ide lain? Sungguh belum terlambat. Aku pun sedang menyusun mengungkapkan ide kreatif untuk mengungkapkan sesuatu kepada Mama, hehe :") 



7.02.2013

Curhat Jurnalis 1 Juli 2013

Aku mengambil gagang telpon. Kupijit kepalaku yang tertutup hijab. Aku menghela nafas panjang, geleng-geleng kepala. Lalu kutarok lagi gagang telpon.

Kembali kutatap risetku, menatap berita yang berada di arsp internal kontan. Kucatat berapa celah yang bisa kutanyakan kepada narasumber. Lalu tanganku kembali memainkan mouse melihat perkembangan si perusahaan baru ini.

"Mi," suara tegas itu muncul dari belakang, sempat membuatku kaget dan mukaku semakin tegang. Kupasang senyum dan menatapnyam "ini dulu aja kamu kejar ya," katanya sambil memainkan ponsel di tangannya. Aku mengangguk dan menjawab iya sekenanya. Kembali membuka email dan liputannya diganti.

Parahnya tadi yang kuhubungi juru bicara yang pastinya mau tak mau ramah dengan wartawan. Kali ini yang harus kuhubungi Direktur Utama lagi. Mukaku semakin tegang. Kembali tanganku bermain dengan keywords yang mengandalkan Mbah Google.

Kuhela nafas panjang, debaran jantungku semakin tinggi. Kuambil gagang telpon, dua detik kemudian kutarok lagi. Kali ini kupilih handphone dan mengetikkan pertanyaan. Kukirim sms. Kutunggu, semenit, dua, lima menit tak ada jawaban,

Aku segera berdiri hendak mengadu pda editorku. Namun tampaknya ia sedang sibuk. Aku geleng-geleng kepala, mengangkat gagang telpon dan menekan beberapa nomor. Kutunggu, tut tut, masuk.. Telponnya masuk. Namun seperti biasa tak ada jawaban. Ini Dirut yang memang enggan mengangkat telpon dan yah terpaksa menunggu jawaban sms.

Lima belas menit kemudian, sms itu pun berbalas saat di sekitarku lagi sibuk mengetik dan keyboard mereka saling berpacu. Jawaban Bapaknya singkat dan jelas. "Kamu hubungi Direktur Keuangan saya," sms-nya. Aku tersenyum simpul dan sms Direktur Keuangannya. "Pak, saya Mimi dari Kontan boleh saya hubungi Bapak terkait proyek terbaru." Kukirim, 1 jam, tak ada jawaban.

Aku melotot, kuganti pilihan kata yang lain. "Pak, saya Mimi, Dirut Bapak menyuruh saya menghubungi Bapak terkait project terbaru. Bapak bisa saya wawancara via telpon?" kataku, entah kurasa nada ini cukup mengancam. Dan benarlah ia, tak sampai 5 menit. Sms-nya dibalas dengan padan dan singkat, "silahkan" katanya. Saya tersenyum, setidaknya berguna juga cara ancam-mengancam ala aktivis mahasiswa dulu di Kampus :p

4.16.2013

Awan Merah versus Awan Hitam

Kembali aku bersimpuh menatap awan lagi lewat jendela ini Papa. Rutinitas yang kulakukan waktu kecil saat menemanimu membersihkan kebun Pa. Alangkah senangnya berimajinasi dengan berbagai bentuk awan, dan merangkainya dalam sebuah cerita. Seringkali kutemukan tokoh-tokoh imajinasiku di sana. ada setan berbentuk kadal besar, ada malaikat bersayap. Kadang kutemukan juga keluarga kita di sana lengkap, tanpa cacat.
Namun, hari ini saat berniat merangkai awannya, aku sudah dibuat terpesona Pa. Semburat matahari yang malu-malu itu berhasil membuat awannya memerah. Indahnya Pa, mungkin seindah pipi wanita yang memerah di saat malu-malu. Aku sering menamakan awan seperti ini dengan Humaira, sambil membayangkan wajah 'Aisyah yg selalu dipuji Rasulullah SAW. Indah betul awan ini Pa, apalagi cuma dia yang beruntung, Aku yakin sekali Pa, awan-awan hitam yang menjelang senja pasti cemburu ke awan merah ini. Siapa pula yang tiada terpesona dengan awan merah ini Pa, ia idaman mata memandang. Awan hitam pun kutinggalkan.
Semburat merahnya lama-lama menyinari awan yang hitam pula, membuat awan hitam itu ikut menjadi merah. Semakin indah, tapi oh tidak Pa. Lama-lama si awan merah ini mendominasi, tiiada bagus lagi, semua sama-sama merah. Awan merah tadi cantik karena ia sedikit, sekarang tak istimewa lagi. Mataku malah beralih ke awan hitam yang sekarang menjadi kaum minoritas. Awan hitam ini membuatku takjub, ia tetap bertahan dengan kehitamannya Pa. Dan lihatlah sekarang, ia yang terlihat spesial. Kalau begitu, aku pilih si hitam saja ya Pa.