5.11.2014

Teruslah Bergoyang Ilalang-Ilalang

Ilalang-ilalang, teruslah bergoyang menemani pejalan kaki yang selalu menikmati goyanganmu. Ilalang, teruslah berdiri tegak bersama-sama memangku nasib, saling berbagi.

Jangan sesekali kau malu diri, sungguh kau bukan tercampakkan. Kau juga bukan tak diinginkan sehingga kau tak dibawa pulang. Bukan pula kau rendahan sehingga tempatmu selalu diinjak.

Ilalang, jangan sesekali membandingkan diri dengan yang lain. Bukan karena kau tak dipilih, hanya saja saat ini mungkin tempat terbaikmu ada di situ. Dan biarlah orang yang tepat yang membawamu pulang. Ssst, jangan kau goyah oleh terpaan badai. 

Jika engkau marah, maafkanlah kelancangan pejalan kaki yang sungguh tak sengaja. Karena sebetulnya pejalan kaki memulai langkahnya dari rumah ke tempat yang ia tuju, di jalan ketemu denganmu. Sudahilah amarahmu, marilah tetap bersahabat :) 

5.03.2014

Dari Hatiku ke Hatimu


Terkenang masa lalu, saat kelas 3 SMA. Percakapan penting dengan Papa, aku memilih jalan hidupku, ingin menjadi bidan sambil mengajar di sebuah kampus. Kuutarakan kemauanku. "Mi kuliah di Akbid ya Pa," pintaku duduk di sebelah beliau yang sedang berpacaran dengan bukunya. Hari-hari beliau dengan pensil, penggaris, dan buku tebal tentang berbagai sejarah Minangkabau.

Mendengar pintaku, ia menarok buku, pensil, dan penggarisnya. Di balik kaca mata itu, ia menatapku. "Bukannya itu pekerjaan kotor, kenapa kamu mengambil sesuatu dari tempat yang kotor, berdarah-darah Nak, mending jadi dokter," sahut Papa. Aku tergelak, sudah sangka jawabannya tak ada unsur penolakan. Orang tuaku terlalu demokratis, ia selalu memberi beberapa pilihan.

 "Jadi dokter itu duitnya banyak Papa, lalu juga hapalannya terlalu banyak, gak fokus. Mending ahli di satu bidang saja. Kelihatannya bidan itu menyambut sesuatu dari tempat yang kotor, tapi Papa tahukah kalau anak itu berasalnya dari surga. Dan Bidan diberi keutamaan oleh Allah untuk menyambut sesuatu dari surga itu, aku yang menyambut malaikat kecil yang pertama kali melihat dunia, bukankah itu sesuatu yang luar biasa?" tanyaku dengan semangat.

Ayahku tersenyum, ia tahu sudah kalah dalam diskusi ini. Dan memang ini bukan debat, ia tersenyum manis dengan kumisnya. Lalu beliau mengangguk setuju dengan pilihan dan argumenku. Aku menatapnya penuh cinta. Ayahku lelaki paling keras yang kukenal, tetapi selalu bisa kutaklukkan. Sesuatu yang berasal dari hati akan diterima oleh hati :)

5.02.2014

Ratapan Itu Kadang Dibutuhkan Wahai Spiderman

Malam ini menonton Spiderman dan mendapati pesan moral yang sangat berharga. Dibalik sosok yang sepertinya luar biasa ternyata seringkali mendapati dirinya rapuh karena pengalaman masa lalu.

Dan jika Spiderman seringkali meratapi masa lalunya dan menemukan jawabannya. Kalau aku malah menertawai masa laluku, enggan sekali meratapinya, herannya sampai sekarang tak kutemukan jawabannya. Mungkin sesekali aku butuh meratap.

Jangan berkecil hati wahai Spiderman karena kamu punya masa lalu yang bisa kamu ceritakan banggakan pada siapapun :)

Curhat Jurnalis: Bapak Sudah di Dalam

Ayam jantan berkokok di sebelahku, tiap mataku nyala, tiap suara itu pula bersikukuh mengeluarkan lengkingan suaranya. Ini bukan ayam jadi-jadian, tapi suara ponselku yang menirukan suara ayam kampung. Sudah beberapa kali aku berdesis tak jelas, bahkan mengamuk-ngamuk menatap ponsel itu, kutatap ia ibarat menatap Mama yang dulu pas di Batusangkar membangunkanku dikala subuh. Siap-siap kutekan tombol dismiss, males-malesan kutatap layarnya.

Jeng jeng, angka di layar itu yang terang menghilangkan kantuk, aku membelalak. Tanpa hitungan 1,2, dan 3 aku sudah di kamar mandi. Mati aku! mati sudah! Bentar lagi benar-benar layak dipecat.  Aku harus mengejar salah satu Menteri yang pukul 8 pagi ada acara di JCC. Sekarang sudah pukul 6, posisiku di Depok.

Aku segera mandi, justru waktuku termakan lama untuk make up ala humas. Bukan untuk tebar pesona karena hari ini banyak pejabat yang datang dari wapres, menteri sampai dirjennya. Lebih kepada pencitraan positif bahwa jurnalis cetak itu gak kotor-kotor amat dan gak miskin-miskin amat, haha.  Mungkin bagi jurnalis cetak yang lain, berdandan bukan hal penting, toh tak diikuti kamera juga. Namun, bagiku penying sebagai alumnus jurnalisme siar, setidaknya ini sisa-sisa anak siar-ku. Kita tak pernah tau akan ketemu siapa, dan terlebih lagi menghagai narsum dengan pakaian rapih tiada ruginya. Apalagi jika kita butuhkan wawancara eksklusif.

Pukul 6.45, kembali aku mengeluh menatap kebuasan kereta terutama di gerbang cewek. Ujian di pagi hari, kereta yang menjadikanku gadis kayangan, susah sekali menginjak lantai. Dan badan kurus yang bisa diselipin kemana-mana.  Namun apa boleh buat, ini pilihan satu-satunya. Aku menyatu berdesak-desakan dengan Ibu-Ibu sembari menghitung detik, menahan nafas, perut sakit. Aku tahan, salah sendiri baru bangun!

Sesampai di stasiun Sudirman, segera kunaiki ojek, kali ini tanpa tawar-menawar langsung tancap gas menuju JCC. Dan oow, sampailah aku pukul 08.30 pagi. Jarum jam di ponsel lengkap dengan wallpaper emote tawa seakan-akan menertawai keterlambatanku.

Tak banyak orang yang seliweran di hall besar ini. Aku menghembuskan nafas, mengatur mimik yang manis dan menuju meja panitia, mengisi registrasi. Panitia menunjukan pintu masuk, aku mengangguk sembari memperbaiki jilbab. "Permisi saya mau masuk," kataku sekenanya ke seseorang yang berpakaian batik rapi di depan pintu masuk. Namun, Mas berbadan tegap itu mengembangkan tangannya, aku refleks berhenti di tempat dan membelalak padanya, apa-apaan ini!

"Maaf Mbak, Bapak sudah di dalam," katanya dengan nada yg halus tapi tegas. Diikuti anggukan sopan dan senyum mengembang. Aku melongo sebentar. Lalu kujelaskan panitia di meja registrasi yang menyuruhku lewat pintu ini. Kuperlihatkan kartu pers-ku untuk meyakinkannya.

Mas di depanku itu, tersenyum sopan lagi dengan ekspresi sedang, seakan-akan ia menjaga pencitraannya di depanku. Aku makin aneh menatapnya, jarang-jarang ada panitia sesopan ini betul. Aku pun melirik Ibu di sebelahku juga mau masuk  dan menunggu ikut jawaban. "Begini Mbak, kalau biasanya Bapak sudah masuk, gak ada lagi yg boleh masuk," kata si Mas nya sopan. "Bapak?" Aku berpikir sebentar. "Hmm, Pak Boediono maksudnya?" Kataku memiringkan muka ke wajahnya kembali menatapnya tanpa ekspresi dan lagi-lagi ia jawab dengan senyum.

"Oo kalau si  Jo ada gak?" Tanyaku menanyakan keberadaan menteri, satu-satunya yg jadi incaranku hari ini, titipan si Bos. Mas itu tampak mengernyitkan dahi. "Maksud Mbak Pak Menteri, beliau tidak hadir, beliau digantikan Pak Wamen," jawabnya. Aku mengangguk-angguk.

"Ooo, tapi aneh loh ini Mas, panitia sebelah sana mengizinkan saya masuk, kok Mas gak ngijinin?" Aku masih coba mencari-cari celah, kalau ada statement wapres atau wamen yang oke dan tidak aku liput, bisa mati aku.

"Coba saya tanyakan ke panitianya ya," katanya. Aku mwnghebuskan nafas, dari tadi harusnya, masa dia lapor dulu ke aku lalu baru ke meja panitia. Lelet betul jadi panitia. Aku berdiri sambil menyilangkan tangan di dada pertanda tak sabar.

"Maaf Mbak, memang tidak diijinkan masuk. Kalau Mbak saya ijinkan, tentu saya juga harus mengijinkan orang2 yg ngati di belakang Mbak juga, saya harus adil," jelasnya ditutupi senyum lagi. Aku melongo lagi. Gak layak juga Mas ini aku suruh ke sana-kemari lagi. Aku pasang muka datar saja, lalu dengan wajah kecewa meninggalkannya. Diiringi curhatanku, trik terakhir yang sering menjadi andalan meluluhkan seseorang. "Begini Mas, saya ini haru meliput ke sini kalau tidak saya bisa dimarahi kantor, saya mesti gimana?" mukaku memelas, berharap belas kasihan.

Mas nya tampak berpikir, dia menatap wajahku yg tragis. "Mbak gak ada temannya di dalam?" Katanya. Aku menghela nafas panjang dengan menggeleng, lalu capek berekspresi dan laper memilih balik kanan dan mencari roti. Sungguh panitia tak becus begitu, bikin kepala pusing. Aku menyatu dengan beberapa  wartawan lain, Mas-Mas, yang bernasib sama denganku.

Baru mengambil secangkir teh , tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menatap si Mas-nya, dia mengisyaratkan aku boleh masuk. Air mukaku langsung berubah, setengah berlari ke arahnya. "Silahkan masuk Mbak," katanya dengan senyum mengembang. Aku melongo lagi, dan kali ini membalasnya dengan senyuman manis. Aku mengangguk dan teriak ke jurnalis lain yg telat. "Mas ayok masuk, boleh masuk nih," teriakku.

"Eh eh, jangan dipanggil, Mbak aja yg boleh, nanti saya dimarahi," katanya panik.

"Eh iya, maaf, maaf, terimakasih ya Mas," kataku sambil membungkukkan badan. Lalu mulai masuk ke lorong gelap itu.Tas-ku diperiksa. Aku memasang senyum ramah ke panitianya, tak satu pun yg membalas senyumku, songong banget dan sangat dingin. Kembali kucoba menyapa Bapak-Bapak yg lain, pandangan mereka sungguh kaku dan lebih tepat kusebut 'menyeramkan.'

Kutatap si Mas tadi, dia tetap tersenyum ke arahku. Dan herannya cuma dia yang paling ramah di sini. Aku menuju pintu berhenti melangkah, kulirik Mas yg senyum kepadaku itu. Kutatap nametag-nya, Ya Allah... "PASPAMPRES." Kali ini aku melongo menatapnya walaupun ia tak tersenyum lagi. Peluh dingin sekujur tubuhku. Kupaksa kakiku membuka pintu. Duh, Mi!


Terbang Tinggi

Bukan terbang yang kutakutkan tetapi terbang tanpa sayap. Bukan jatuh yang kutakutkan, tetapi perih setelah jatuh. Bukan patah yang kutakutkan tetapi sakit meregang nyawa.

Namun apalah daya, sekalinya terbang terlalu tinggi, lalu jatuh mencaci maki, berakhir pada patah tak kira-kira. Herannya dikasih jatah lagi terbang tinggi, mengudara sebebas-bebas diri.

Entah esok jatuh lagi, entah esok patah lagi. Entahlah. Barangkali hidup memang tentang terbang, jatuh, dan patah sendi. Dan tentu ada peta yang paling tepat mengantarkan ke tempat berlabuhnya.

Mari dinikmati saja :)