6.12.2014

Dunia Milik Dua Tetua

Hari ini kembali menaiki kereta api dari Pondok Cina menuju Tanah Abang, lalu dengan sabarnya menyambung kembali kereta dari Tanah Abang menuju Serpong, rutinitas tiap hari. Awalnya bosan, namun dalam kebosanan itu selalu kutemukan cara untuk menikmatinya. 

Inilah dia tatapan sekilasku, di kereta menuju Serpong aku melihat sepasang manusia yang membuatku takjub, berdiri memojok di dekat kursi prioritas. Yang laki tangan kirinya memegang buku dan handphone yang tersambung pada powerbank dan yang wanita memegang tas hitam dari sebuah brand terkenal. Hebatnya tiada handphone yang menyibukkan mereka. Mereka bersandar ke badan kereta dan saling memandang dan bercerita tentang keluarga, rumah, anak mereka, dll.

Ini mungkin hal biasa jika terjadi pada remaja tanggung yang sedang di mabuk cinta. Tetapi ini, adalah 2 orang tua yang berumur kira-kira 50-an saling bersitatap penuh cinta dalam jarak private mereka. Mereka tak mempedulikan lalu lalang manusia, tak peduli deringan handphone, dan tak peduli dengan aku yang daritadi curi-curi pandang pada mereka. Bagi mereka dunia ini milik berdua. Wajar kan ya, aku cemburu pada dua tetua ini :) 

5.11.2014

Teruslah Bergoyang Ilalang-Ilalang

Ilalang-ilalang, teruslah bergoyang menemani pejalan kaki yang selalu menikmati goyanganmu. Ilalang, teruslah berdiri tegak bersama-sama memangku nasib, saling berbagi.

Jangan sesekali kau malu diri, sungguh kau bukan tercampakkan. Kau juga bukan tak diinginkan sehingga kau tak dibawa pulang. Bukan pula kau rendahan sehingga tempatmu selalu diinjak.

Ilalang, jangan sesekali membandingkan diri dengan yang lain. Bukan karena kau tak dipilih, hanya saja saat ini mungkin tempat terbaikmu ada di situ. Dan biarlah orang yang tepat yang membawamu pulang. Ssst, jangan kau goyah oleh terpaan badai. 

Jika engkau marah, maafkanlah kelancangan pejalan kaki yang sungguh tak sengaja. Karena sebetulnya pejalan kaki memulai langkahnya dari rumah ke tempat yang ia tuju, di jalan ketemu denganmu. Sudahilah amarahmu, marilah tetap bersahabat :) 

5.03.2014

Dari Hatiku ke Hatimu


Terkenang masa lalu, saat kelas 3 SMA. Percakapan penting dengan Papa, aku memilih jalan hidupku, ingin menjadi bidan sambil mengajar di sebuah kampus. Kuutarakan kemauanku. "Mi kuliah di Akbid ya Pa," pintaku duduk di sebelah beliau yang sedang berpacaran dengan bukunya. Hari-hari beliau dengan pensil, penggaris, dan buku tebal tentang berbagai sejarah Minangkabau.

Mendengar pintaku, ia menarok buku, pensil, dan penggarisnya. Di balik kaca mata itu, ia menatapku. "Bukannya itu pekerjaan kotor, kenapa kamu mengambil sesuatu dari tempat yang kotor, berdarah-darah Nak, mending jadi dokter," sahut Papa. Aku tergelak, sudah sangka jawabannya tak ada unsur penolakan. Orang tuaku terlalu demokratis, ia selalu memberi beberapa pilihan.

 "Jadi dokter itu duitnya banyak Papa, lalu juga hapalannya terlalu banyak, gak fokus. Mending ahli di satu bidang saja. Kelihatannya bidan itu menyambut sesuatu dari tempat yang kotor, tapi Papa tahukah kalau anak itu berasalnya dari surga. Dan Bidan diberi keutamaan oleh Allah untuk menyambut sesuatu dari surga itu, aku yang menyambut malaikat kecil yang pertama kali melihat dunia, bukankah itu sesuatu yang luar biasa?" tanyaku dengan semangat.

Ayahku tersenyum, ia tahu sudah kalah dalam diskusi ini. Dan memang ini bukan debat, ia tersenyum manis dengan kumisnya. Lalu beliau mengangguk setuju dengan pilihan dan argumenku. Aku menatapnya penuh cinta. Ayahku lelaki paling keras yang kukenal, tetapi selalu bisa kutaklukkan. Sesuatu yang berasal dari hati akan diterima oleh hati :)

5.02.2014

Ratapan Itu Kadang Dibutuhkan Wahai Spiderman

Malam ini menonton Spiderman dan mendapati pesan moral yang sangat berharga. Dibalik sosok yang sepertinya luar biasa ternyata seringkali mendapati dirinya rapuh karena pengalaman masa lalu.

Dan jika Spiderman seringkali meratapi masa lalunya dan menemukan jawabannya. Kalau aku malah menertawai masa laluku, enggan sekali meratapinya, herannya sampai sekarang tak kutemukan jawabannya. Mungkin sesekali aku butuh meratap.

Jangan berkecil hati wahai Spiderman karena kamu punya masa lalu yang bisa kamu ceritakan banggakan pada siapapun :)

Curhat Jurnalis: Bapak Sudah di Dalam

Ayam jantan berkokok di sebelahku, tiap mataku nyala, tiap suara itu pula bersikukuh mengeluarkan lengkingan suaranya. Ini bukan ayam jadi-jadian, tapi suara ponselku yang menirukan suara ayam kampung. Sudah beberapa kali aku berdesis tak jelas, bahkan mengamuk-ngamuk menatap ponsel itu, kutatap ia ibarat menatap Mama yang dulu pas di Batusangkar membangunkanku dikala subuh. Siap-siap kutekan tombol dismiss, males-malesan kutatap layarnya.

Jeng jeng, angka di layar itu yang terang menghilangkan kantuk, aku membelalak. Tanpa hitungan 1,2, dan 3 aku sudah di kamar mandi. Mati aku! mati sudah! Bentar lagi benar-benar layak dipecat.  Aku harus mengejar salah satu Menteri yang pukul 8 pagi ada acara di JCC. Sekarang sudah pukul 6, posisiku di Depok.

Aku segera mandi, justru waktuku termakan lama untuk make up ala humas. Bukan untuk tebar pesona karena hari ini banyak pejabat yang datang dari wapres, menteri sampai dirjennya. Lebih kepada pencitraan positif bahwa jurnalis cetak itu gak kotor-kotor amat dan gak miskin-miskin amat, haha.  Mungkin bagi jurnalis cetak yang lain, berdandan bukan hal penting, toh tak diikuti kamera juga. Namun, bagiku penying sebagai alumnus jurnalisme siar, setidaknya ini sisa-sisa anak siar-ku. Kita tak pernah tau akan ketemu siapa, dan terlebih lagi menghagai narsum dengan pakaian rapih tiada ruginya. Apalagi jika kita butuhkan wawancara eksklusif.

Pukul 6.45, kembali aku mengeluh menatap kebuasan kereta terutama di gerbang cewek. Ujian di pagi hari, kereta yang menjadikanku gadis kayangan, susah sekali menginjak lantai. Dan badan kurus yang bisa diselipin kemana-mana.  Namun apa boleh buat, ini pilihan satu-satunya. Aku menyatu berdesak-desakan dengan Ibu-Ibu sembari menghitung detik, menahan nafas, perut sakit. Aku tahan, salah sendiri baru bangun!

Sesampai di stasiun Sudirman, segera kunaiki ojek, kali ini tanpa tawar-menawar langsung tancap gas menuju JCC. Dan oow, sampailah aku pukul 08.30 pagi. Jarum jam di ponsel lengkap dengan wallpaper emote tawa seakan-akan menertawai keterlambatanku.

Tak banyak orang yang seliweran di hall besar ini. Aku menghembuskan nafas, mengatur mimik yang manis dan menuju meja panitia, mengisi registrasi. Panitia menunjukan pintu masuk, aku mengangguk sembari memperbaiki jilbab. "Permisi saya mau masuk," kataku sekenanya ke seseorang yang berpakaian batik rapi di depan pintu masuk. Namun, Mas berbadan tegap itu mengembangkan tangannya, aku refleks berhenti di tempat dan membelalak padanya, apa-apaan ini!

"Maaf Mbak, Bapak sudah di dalam," katanya dengan nada yg halus tapi tegas. Diikuti anggukan sopan dan senyum mengembang. Aku melongo sebentar. Lalu kujelaskan panitia di meja registrasi yang menyuruhku lewat pintu ini. Kuperlihatkan kartu pers-ku untuk meyakinkannya.

Mas di depanku itu, tersenyum sopan lagi dengan ekspresi sedang, seakan-akan ia menjaga pencitraannya di depanku. Aku makin aneh menatapnya, jarang-jarang ada panitia sesopan ini betul. Aku pun melirik Ibu di sebelahku juga mau masuk  dan menunggu ikut jawaban. "Begini Mbak, kalau biasanya Bapak sudah masuk, gak ada lagi yg boleh masuk," kata si Mas nya sopan. "Bapak?" Aku berpikir sebentar. "Hmm, Pak Boediono maksudnya?" Kataku memiringkan muka ke wajahnya kembali menatapnya tanpa ekspresi dan lagi-lagi ia jawab dengan senyum.

"Oo kalau si  Jo ada gak?" Tanyaku menanyakan keberadaan menteri, satu-satunya yg jadi incaranku hari ini, titipan si Bos. Mas itu tampak mengernyitkan dahi. "Maksud Mbak Pak Menteri, beliau tidak hadir, beliau digantikan Pak Wamen," jawabnya. Aku mengangguk-angguk.

"Ooo, tapi aneh loh ini Mas, panitia sebelah sana mengizinkan saya masuk, kok Mas gak ngijinin?" Aku masih coba mencari-cari celah, kalau ada statement wapres atau wamen yang oke dan tidak aku liput, bisa mati aku.

"Coba saya tanyakan ke panitianya ya," katanya. Aku mwnghebuskan nafas, dari tadi harusnya, masa dia lapor dulu ke aku lalu baru ke meja panitia. Lelet betul jadi panitia. Aku berdiri sambil menyilangkan tangan di dada pertanda tak sabar.

"Maaf Mbak, memang tidak diijinkan masuk. Kalau Mbak saya ijinkan, tentu saya juga harus mengijinkan orang2 yg ngati di belakang Mbak juga, saya harus adil," jelasnya ditutupi senyum lagi. Aku melongo lagi. Gak layak juga Mas ini aku suruh ke sana-kemari lagi. Aku pasang muka datar saja, lalu dengan wajah kecewa meninggalkannya. Diiringi curhatanku, trik terakhir yang sering menjadi andalan meluluhkan seseorang. "Begini Mas, saya ini haru meliput ke sini kalau tidak saya bisa dimarahi kantor, saya mesti gimana?" mukaku memelas, berharap belas kasihan.

Mas nya tampak berpikir, dia menatap wajahku yg tragis. "Mbak gak ada temannya di dalam?" Katanya. Aku menghela nafas panjang dengan menggeleng, lalu capek berekspresi dan laper memilih balik kanan dan mencari roti. Sungguh panitia tak becus begitu, bikin kepala pusing. Aku menyatu dengan beberapa  wartawan lain, Mas-Mas, yang bernasib sama denganku.

Baru mengambil secangkir teh , tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menatap si Mas-nya, dia mengisyaratkan aku boleh masuk. Air mukaku langsung berubah, setengah berlari ke arahnya. "Silahkan masuk Mbak," katanya dengan senyum mengembang. Aku melongo lagi, dan kali ini membalasnya dengan senyuman manis. Aku mengangguk dan teriak ke jurnalis lain yg telat. "Mas ayok masuk, boleh masuk nih," teriakku.

"Eh eh, jangan dipanggil, Mbak aja yg boleh, nanti saya dimarahi," katanya panik.

"Eh iya, maaf, maaf, terimakasih ya Mas," kataku sambil membungkukkan badan. Lalu mulai masuk ke lorong gelap itu.Tas-ku diperiksa. Aku memasang senyum ramah ke panitianya, tak satu pun yg membalas senyumku, songong banget dan sangat dingin. Kembali kucoba menyapa Bapak-Bapak yg lain, pandangan mereka sungguh kaku dan lebih tepat kusebut 'menyeramkan.'

Kutatap si Mas tadi, dia tetap tersenyum ke arahku. Dan herannya cuma dia yang paling ramah di sini. Aku menuju pintu berhenti melangkah, kulirik Mas yg senyum kepadaku itu. Kutatap nametag-nya, Ya Allah... "PASPAMPRES." Kali ini aku melongo menatapnya walaupun ia tak tersenyum lagi. Peluh dingin sekujur tubuhku. Kupaksa kakiku membuka pintu. Duh, Mi!


Terbang Tinggi

Bukan terbang yang kutakutkan tetapi terbang tanpa sayap. Bukan jatuh yang kutakutkan, tetapi perih setelah jatuh. Bukan patah yang kutakutkan tetapi sakit meregang nyawa.

Namun apalah daya, sekalinya terbang terlalu tinggi, lalu jatuh mencaci maki, berakhir pada patah tak kira-kira. Herannya dikasih jatah lagi terbang tinggi, mengudara sebebas-bebas diri.

Entah esok jatuh lagi, entah esok patah lagi. Entahlah. Barangkali hidup memang tentang terbang, jatuh, dan patah sendi. Dan tentu ada peta yang paling tepat mengantarkan ke tempat berlabuhnya.

Mari dinikmati saja :)

4.29.2014

Galau dan Social Media

Terkadang aku sering berpikir saat umurku 20-25 tahun, di masa-masa saat rasa itu menggelora, apa jadinya kalau tak ada social media? Setiap orang kulihat sibuk dengan melempar kode, ada juga yang berusaha memperlihatkan 'mau' tanpa malu-malu di publik. Putus sudah urat malu diumur segini.

Galau menjadi jualan yang paling laku saat ini. Galau menikah menjadi bahasan umum, tak tabu lagi. Hilang kesakralan kata 'menikah' oleh kemauan yang menggelora di jiwa dan disalurkan melalui kata-kata. 

Yang lebih kutakutkan lagi, kegalauan itu tentu saja hinggap pada ia yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia belum selesai dengan dirinya dan mempersilahkan orang lain memasuki hidupnya. Tebak saja apa yang terjadi? cerai, salah pilih, dan mungkin berharap suami bisa ditukar,dan ini fakta yang kutemui di lapangan. Mereka berpikir menikah menyelesaikan masalahnya, padahal masalah itu pada dirinya. Mungkin saja menikah jadi malapetaka karena ia yang tak pernah sadar belum selesai dengan dirinya sendiri.  

Apa jadinya kita tanpa social media? Jangan-jangan benar tanpa social media, potensi galau terhambat, tak tersalurkan. Galau menjadi barang langka karena tak ada komunitas, tak ada kawan sepenanggungan galau. Sehingga tertahan rasa yang menggebu-gebu itu dan akhirnya hijrah ke prestasi-prestasi lain. Menyibukkan diri dengan hal berarti sembari terus memperbaiki diri.

Namun, social media tetaplah social media, ia hanya sebuah benda yang sebetulnya dapat kita kontrol, begitu pun dengan perasaan itu. Tenang saja, sudah dicatat di lauhul ma'fudzh :)

4.28.2014

Bahumu Sungguh Mulia

Setahun ini saya menemukan orang-orang baru dengan berbagai tipe, dan menarik perhatian. Ada yg menarik hati, menginspirasi, membuat terpana. Namun tak jarang juga malah menyebalkan, menyakitkan hati, dan membuncah amarah di dada. Sesekali kadang ingin saya lemparkan sepatu saya kepada narasumber. Semua perasaan itu pun akhirnya saya tahan, saya tepis agar tetap objektif dalam memandang sesuatu. Karena takut perasaan ini akan membuat tulisan yg dikabarkan ini menjadi kabur informasi, dan jangan sampai malah diperkaya framing diri saya.

Menjadi jurnalis membuat saya harus mengontrol diri, berhati-hati, dan selalu menyisakan ruang keragu-raguan. Tak pernah saya pastikan diri saya 100% benar karena selalu ada celah dari omongan narasumber, saya bukan kader yang taklid buta. Saya tak pernah menerapkan motto "saya dengar dan saya taat," saat berpetualang menjadi jurnalis ini.

Maka jangan heran, jurnalis jadi mempunyai banyak cerita yang mungkin terlalu malas untuk saya tampung di diary karena sepanjang hari saya sudah menulis. Jadilah saya berbagi kepada orang yang saya percaya, yang selalu bersedia meminjamkan bahunya.

Semoga ia yang selalu ada di masa sulitku, kemudahan Allah padamu. Allah sungguh tahu kualitasmu :)

Terimakasih

Setahun yang lalu masih tersimpan di memoriku, berada di meja ini. Disambut oleh 2 orang berparas serius, yang satu seorang wanita dengan umur yang mungkin sekitar 40 tahun, tetapi dipoles dengan make up dan rambut yang sangat rapih. Paling menarik bagiku bukan wajahnya yang cantik itu tetapi dari sorot matanya. Kutemukan  kecerdasan yang ditutupi oleh kacamata itu. Begitu juga dengan pria di sebelahnya yang sepertinya sudah paruh baya. Bedanya jika perempuan ini dengan badan yang profesional, pria di sebelahnya agar berbadan, dengan pipi cembung.

Dua orang ini mengenalkan diri, yang pada akhirnya kupanggil Mbak Retha dan Mas Bagus, tanpa banyak ramah tamah. Aku pun mencari posisi nyama dalam duduk, interview pun dimulai. Satu-satunya interview yang aku penuhi setelah Papa tiada 2 bulan yang lalu. Aku kehilangan arah dan butuh teman mengobrol.

"Jadi, menurutmu K ini apa?" tanyanya dengan wajah mendekatiku. Aku menatap mereka berdua satu per satu dan tersenyum.

"Aku tak tahu, tapi ini pastinya media bisnis dan investasi, itu tulisan yang kulihat di papan gedung ini," kataku tanpa pikir panjang, sekenanya.

"HAH? Jangan bilang kamu gak pernah baca K?" tanyanya padaku. Aku mengangguk setuju, tak perlu kujawab pertanyaannya.

"Mi, ini kali pertama saya wawancara dan yang diwawancarai gak pernah baca medianya, harusnya kamu siapkan," katanya. Aku pun tertawa saja dan bilang aku baca online dari media ini dan aku cukup tak mengerti dengan deretan angkanya.

"Maksudmu kamu tak tahu KONTAN? Lalu kenapa kamu ke sini?" tanya mereka serius, entah tertarik melihatku, entah tidak. Aku pun tanpa banyak basa-basi bercerita ingin memasuki sebuah media politik, namun tak jadi kuikuti tes gara-gara aku bingung harus kerja dimana setelah Papa tiada. Pas hari tes pun pun aku terlanjur menerima project menjadi pembicara topik pembuatan press release di luar kota. Dua orang di depanku hanya bisa menarik nafas mendengarkan ceritaku.

"Entahlah, aku sekarang hanya berpikir harus ambil sebuah media yang lepas dari politik, mungkin aku sudah terlalu capek dengan politik. Aku di sini mau belajar feature, lalu setelah itu aku mau S2," kataku lepas, sungguh tak peduli apa yang ada di pikiran mereka.

"Kenapa kamu mau jadi jurnalis?" tanya Mas Bagus kali ini, dua pasang mata itu menatapku serius. Aku menarik nafas dalam-dalam. Nah, ini yang pertanyaan yang aku tunggu.

"Dengan menulis aku bisa mengubah kebijakan," kataku simpel lalu mengingat sebuah kasus yang menimpaku di UI sana.

"Kebijakan seperti apa yang bisa kamu ubah?"  tanya Mas Bagus itu tampak tertarik atau malah menahan tawa karena mukanya tampak tersenyum.

"Ya, satu tulisanku pernah mengubah sebuah kebijakan di UI, dan kenapa tidak dengan 1 tulisan lagi saja untuk mengubah Indonesia," jawabku lalu mereka pun memintaku bercerita tentang kasus itu. Tampak histeris, sebuah kasus yang sebenarnya enggan kuceritakan pada siapapun, satu-satunya kasus yang membuatku minta ke Tuhan, "semoga pesawat yang kutumpangi esok ke rumah meledak saja." Dan entah kenapa, hari ini kasus tulisan itu dengan lancarnya kuceritakan, lengkap dengan Rektor UI yang memintaku ketemu, lengkap dengan tekanan dari Mahalum UI. Lengkap dengan seluruh Dosen Komunikasi berbaik hati melindungiku dan malah mengapresiasiaku. Dan lalu terngiang David dengan tulisan itu, biaya kuliahnya akhirnya dibantu seorang dosen dari FE UI.

Dan tentu saja itu menjual untuk wawancara. Sebuah media siar saja sudah minta aku tanda tangan kontrak, aku menolak dengan berbagai pertimbangan. Mbak Retha langsung mengambil kertas. Ia menandatangani sesuatu. Aku meliriknya dengan senyum yang masih jual mahal. Sungguh aku tak tahu ini media apa, aku tak pernah membacanya, aku cuma tahu dari seorang teman media ini manajemennya cukup bagus untuk belajar. Dan tak ada politik lagi, hanya bercerita tentang ekonomi dan bisnis.

"Kamu suka ekonomi?" katanya, aku menarik nafas dalam terngiang dengan doaku dikala maba semoga dijauhi dari apapun yang berbau ekonomi. dari tadi aku jujur saat wawancara ini, karena jurnalis harus jujur, aku tidak akan memulai semua ini dari kebohongan.

"Aku suka matematika, dulu matematikaku terbaik di SMP. Logika bagus," kataku tenang, sangat tenang.

"Kamu bakal bertahan berapa tahun di sini, jangan-jangan cuma beberapa bulan dan memilih S2?" tanya Mbak Retha menatapku tajam. Aku menahan senyum, ini kode.

"Setahun atau 2 tahun, aku butuh pengalaman kerja. Aku keluar dari sini langsung S2," jawabku sambil menghela nafas.

"Mau jadi apa?" tanya Mas Bagus mulai cair.

"Mau jadi dosen, kurasa K tentu akan bangga kuceritakan tentang perjuanganku menjadi jurnalis di sini kepada mahasiswaku kelak," kataku sambil tertawa.

"Minggu depan bisa masuk?" kata Mbak Retha.

"Tidak bisa," jawabku cepat.

"kenapa?" tanya Mbak Retha.

"Aku hendak menemui Ibuku dulu ke Padang, bulan depan saja," pintaku tak memikirkan efek apapun.

Wawancara selesai, aku turuni satu per satu anak tangga, kutatap beberapa jurnalis yang sibuk dengan komputer dan juga telpon mereka. Aku menarik nafas panjang. Aku tak tahu media ini apa. aku tak peduli mau diterima atau tidak. Ini kali pertama aku wawancara ngomong semauku, minim dengan memasarkan diri. Bodoh amat dengan hasilnya. Aku sebetulnya hanya butuh teman mengobrol, syukur-syukur aku ditarik ke media ini.

Saat ini baru kutahu, menelpon narasumber Menteri, Wakil Menteri, Dirjen, Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan berbagai narasumber kelas atas itu baru bilang, "Saya Mimi Pak, dari Tabloid K." Mereka langsung menyambutnya dengan teriakan ramah dan tak jarang mengajakku makan bareng bercerita banyak hal.

Sekarang di meja ini, Mas Wawan, Redakturku di Tabloid K bercerita lengkap dengan angka-angka penilaianku. Aku menahan tangis karena haru. Karena hari ini, aku diijinkan secara resmi menjadi bagian dari K. Menjadi bagian dari orang-orang keren, semoga percikan keren itu terus-terusan mengalir padaku. Terimakasih KONTAN :)