3.11.2001

Ta'aruf

Aku ngos-ngosan turun dari bikun. Mataku mencari-cari sosok yang kukenal. Ada begitu banyak orang yang keluar dari halte FKM ini. Namun, tak satupun yang kukenal. Aku kembali berusaha mencari sosok cowok berjaket hitam, jaket hitam selalu menjadi andalannya. Masih tak kutemukan. Kupilih untuk duduk sebentar menenangkan diri. Jarum jam tanganku bergerak pelan, menunjukkan pukul 7 kurang lima. Tak ada yang singgah menemaniku, sayup-sayup terdengar suara jangkrik. Aku kembali mengeluarkan kertas yang mulai lusuh itu. Untuk ke sepuluh kalinya kubaca surat itu.

“Assalamu’alaikum ukhti, kuharap kau selalu dalam lindungan Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita. Surat ini kutulis dengan hati bersih, tak ada maksud untuk memutuskan hubungan silaturrahim kita atau malah membuat kita semakin dekat. Selama ini aku mencintaimu. Maaf aku tak pandai dalam berkata-kata, namun, aku berharap kau menjaga hatimu untukku. Izinkan aku berta’aruf denganmu 4 tahun lagi. Sekali mohon jaga hatimu untukku, jika ada rasa yang sama diantara kita. Makasi

wasalam

Aku terpaku. Untuk kesekian kalinya air mataku kembali mengalir. Ya Rabb, ini orang yang dua tahun ini yang kucintai dengan sepenuh hatiku. Banyak hal yang kulalui dengan dia, dan selalu kujaga hatiku selama ini dengan lelaki lain. Sungguh aku ikhlas mencintainya, namun, entah kenapa setelah ada surat ini aku berasa diberi beban. Ada sebuah beban yang mengganjal di hatiku.

“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang di depanku. Suaranya mengalir syahdu, dadaku bergetar dahsyat. Aku pilih menunduk dan menjawab salamnya dengan sebuah bisikan. Kupilih untuk tidak melihat matanya, aku tak kuat.

Laki-laki berjaket hitam itu duduk di sampingku, jarak kami satu meter. Hanya kami berdua yang berada di halte ini. Aku menyadari keadaan ini, aku segera mengambil sesuatu bingkisan dari tasku. Lalu, kuserahkan kepadanya sambil berucap. “ Aku meng-sms mu untuk memulangkan ini,” kataku sembari berdiri, khawatir semakin lama, jantungku yang begerak cepat ini terdengar olehnya. Dia terpengarah sebentar dan sepertinya shock dengan apa yang kulakukan.

“Bisakah kau duduk sebentar dan kita selesaikan dengan jiwa yang tenang?” katanya lembut, matanya menancap relung hatiku. Entah kenapa, mata itu berhasil menghipnotisku, aku langsung duduk. Ingin sebenarnya aku berontak karena dia berhasil membuatku mengikuti kata-katanya. Namun apa daya, aku hanya terdiam membisu terpaku dan walaupun tubuhku sedikit gemetar. Ampuni aku Ya Allah

“Aku lebih memilih mendengarkan celotehanmu daripada kau diam, aku lebih siap mendengar kau marah-marah daripada kau mematikan ponselmu. Aku lebih siap melihatmu menghujatku daripada kau tiba-tiba menghilang dari kampus,” sindirnya halus, tepat mengena sasaran. Oh tidak, jadi benar dia mencariku di kampus.

Jiwaku semakin tak tenang. Aku mengutuk diriku yang masih saja mau mendengar semua celotehannya. Aku meliriknya yang menatap lurus ke depan, tampak mulutnya komat-kamit sedang beristighfar mungkin. Lalu, tiba-tiba perhatiannya beralih ke arahku. Mataku dan matanya bertemu, dadaku semakin berdegup kencang. Dan lagi, dia berhasil membuatku segera tertunduk. Semakin parah kalau aku berada di sini.

Aku segera berdiri tak mempedulikan keberadaannya lagi, masih kudengar penjelasannya tentang surat itu. Masih kudengar keinginannya agar aku menerima bingkisan itu, sebuah kerudung biru. Namun, aku terlalu capek dengan semuanya. Aku sudah muak satu minggu ini memikirkannya. Aku sudah muak dengan semua niat baiknya itu. Aku sudah membahasnya dengan menthorku. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Sungguh ini tak boleh terjadi, aku menghargainya, namun aku lebih menghargai cinta yang kumiliki. Aku mencintainya karena Allah, aku tak mau itu ternoda dengan kekaburan makna ta’aruf itu. Imanku tak sekokoh itu untuk menjaga hati. Ini ranah hati Bung!

Aku segera berjalan menuju kos an, tak kupedulikan lagi suaranya. Tak kupedulikan lagi niat baiknya untuk mengantarkanku pulang. Tak kupedulikan walaupun dia mengikuti dari belakang. Maaf Bung, maaf, ini semua demi kebaikan kita.

***

Aku kembali turun dari bikun dan duduk di halte FKM, kali ini ada seorang cewek di sana, aku memberinya sebuah senyuman manis. Dia membalasnya dan dia kembali sibuk dengan ponselnya di tangannya. Aku pun segera mengeluarkan sebuah kertas dan untuk beberapa kali membacanya. Masih saja rasa muak itu ada di hatiku. Kenapa laki-laki itu masih belum mengerti, padahal dia hafiz, hafalannya jauh lebih baik dariku. Entah apa yang ada di pikirannya.

Aku menatap ke sisi kananku. Aku menatap cowok berjaket hitam itu di sana. Entah angin apa yang membawanya, sehingga aku tak merasakan kehadirannya. Dan dengan lancangnya dia duduk tanpa mengucapkan salam padaku. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti. Aku bersiap-siap ingin menyumpahinya dengan segala kekuatan yang aku punya. Tapi kuulur dulu, tak baik untuk kesehatan jika aku terlalu emosi.

“Kuharap kita sms jika perlu saja, aku tak bisa menerima telpon lagi darimu,” kataku padanya yang sepertinya sedang larut dengan pikirannya. Ia tak bergeming, tetap diam terpaku dan tersenyum menatapku. Oh tidak, apa yang ada dipikirannya.

“Sampai akhir hidupku mungkin,” kataku berharap dia mengucapkan sesuatu untuk membuatnya terperanjat. Namun tidak, ia masih tersenyum seakan-akan tak peduli dengan apa yang kukatakan. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti lagi kenapa dia memperlakukanku seperti ini. Tak tahukah dia bahwa ungkapan cintanya telah mengganggu hatiku. Dia membuatku tak fokus melakukan banyak hal. Jiwaku mulai tak stabil.

“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu menyampaikan semua ini.” kataku dengan nada tinggi, tak mempedulikan cewek di sisi kiriku kaget dengan nada suaraku, peduli amat.

“Kau menyuruhku untuk menjaga hatiku. Namun, hampir setiap malam kau menelponku dan kita membicarakan hal yang tak penting. Bagaimana mungkin aku bisa menjaga hatiku wahai akhi?” kataku panas, bibirku bergetar menyampaikannya, dia masih saja tersenyum menatapku.

“Ta’aruf macam apa yang kau agung-agungkan itu jika kau mengotorinya dengan cara ini,” kataku. Kali ini diam tanpa ekspresi, mungkin dia mulai merasa bersalah. Dan aku tak akan kasihan lagi dengannya. Cukup sudah dia membuatku menderita selama ini.

“Kau tau betul aku juga menyukaimu. Namun haruskah kita menjalaninya dengan ikatan yang seperti ini. kau tau betul ini tak sesuai dengan apa yang kita pegang. Sungguh yang namanya tulang rusuk tak akan bertukar. Semuanya sudah tertulis di lauhul ma’fudzh, kenapa kau seakan-akan takut dengan ketentuan Allah?” tanyaku dengan mata yang mulai panas, berharap ada tanggapan darinya. Dia masih diam, tak bergeming. Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di hatiku. Tapi tidak, aku takkan menangis di depannya, itu bukan aku. Kuharap dia mengerti apa yang kusampaikan. Kuharap dia memaklumi kenapa selama ini aku menjauhinya, kuharap dia paham kalau selama ini aku menjauhinya untuk menjaga kesucian cintaku dan cintanya.

Kutatap wajah yang selama ini kucintai itu, dia masih menatapku tanpa ekspresi, lalu dia tersenyum lagi. Aku menatapnya tak percaya, sungguh apakah dia tak merasa bersalah dengan semua hal yang diperbuatnya. Tak sedikitpun dia mengucapkan kata maaf.

Aku melirik gadis yang ada di sebelahku, gadis itu terpaku menatapku. Lalu air matanya mengalir. Sepertinya gadis ini lebih mengerti perasaanku. Sepertinya dia lebih paham maksud hatiku. Mungkin benar hanya cewek yang mengerti cewek.

“Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya Mbak,” kataku menatap Mbak itu. Dia mengangguk, air matanya mengalir dan entah apa yang mendorongnya, dia memelukku. Aku gusar, apa-apan ini.

“Aya, ini aku Zahra, temanmu. Dia sudah tiada sayang, dia sudah tiada,” katanya. Aku kaku, berusaha memahami pernyataannya.

“A.. aku tak memahami apa yang kau katakan!” kataku marah.

“Dia sudah tiada malam saat kau menemui dia, dan itu sebulan yang lalu, sayang. Dia kecelakan saat mengejarmu,” katanya pelan menusuk jantungku. Aku berontak melepaskan pelukannya. Aku berontak, kutatap cowok berjaket hitam tadi. Oh tidak, cowok berjaket hitam itu tak ada di sana lagi, entah kemana dia pergi. Aku berdiri mencarinya. Aku memangggil-manggil namanya. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada dia.

Lalu aku menatap cewek yang di depanku, aku baru menyadari kalu dia Zahra temanku, aku bahkan baru menyadarinya. Dan kembali aku berusaha memahami kata-katanya. “Kau.. kau bohong, dia tadi masih di sini tadi!” kataku setengah panik. Kutunjuk tempat dimana cowok berjaket hitamku duduk.

“Dia sudah tiada sayang, daritadi aku menemanimu di sini. Kau bicara sendiri, dia tak ada di sana, itu halusinansimu. Ya.. ikhlaskanlah dia,” katanya menatapku.

“Ti.. tidaaaak,” kataku teriak setengah gila. Aku geleng-geleng kepala tak percaya. Aku menatap tempat itu aku memeluk tempat duduk itu, aku merasakan hawa dingin di sana. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku teringat smuanya, cowok berjaket hitam itu mengikutiku di belakang. Aku tak mempedulikannya. Aku segera menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor berkecepatan tinggi menuju ke arahku. Cowok berjaket hitam itu teriak dan semuanya gelap. Lalu, aku melihat darah, aku melihat kepalanya berdarah, aku melihatnya dimakamkan. Aku.. aku... semuanya berputar di kepalaku, semuanya. Tak kusadari air mataku mengalir , tanganku bergetar. Kutatap ketas yang dari tadi kupegang, tak ada apa-apa di sana. Hanya kertas kosong. Aku menatap Zahra. Dia mendekatiku pelan-pelan. Air matanya juga masih mengalir.

“Kau mencintainya karena Allah, sekarang ikhlaskan dia karena Allah,” bisiknya. Aku menengadah dan semuanya gelap.