12.16.2012

Menjadi Jurnalis

Ini tentang mimpi di saat badan remuk, bibir bergetar, mata yang redup, dan hampir sebuah kalimat keluar, "mohon maaf lahir batin, Ma," Mimi Silvia, sekitar Maret 2008. Namun, lidah kelu, memilih diam membisu melihat tangisan Mama dan serak-serak suaranya bergema, "bertahanlah nak, bertahanlah," katanya memelukku. Aku tersenyum dan bercakap dengan sang pemilik. beri sedikit waktu Allahku, berilah aku waktu untuk melihat perempuan dan anak-anak tersenyum bahagia. Berilah aku waktu, sehingga tiada lagi peminta, tiada lagi orang-orang yang takut memikirkan masa depannya, Izinkanlah.
Sekarang aku dekat dengan mimpiku, lulus kuliah dan waktunya menaklukan dunia. Ditarik untuk menjadi jurnalis, tak apalah mulai memandang dunia dengan bakat alami yang aku punya. Ini tentang dia, tentang bakat yang sudah kulatih dari kecil, tentang passionku yang sudah kutemukan dari kecil. Akan tetapi, apa benar ini betul-betul passionku?
"Kamu liputan ke kementerian ESDM ya," sahut sang Pimred. Aku mengangguk dan segera menuju kementerin ESDM. Sesampai di sana, aku memilih menunggu di kantin. ada sekitar 1 jam lagi konfrensi pers Jero Wacik bersama Dahlan Iskan. aku disuruh meliput tentang konferensi, dan wawancara dengan Jero. Ah, wawancara Jero, subhanalllah perjuangannya. Sudah di depan mata pun kadang tak diijinkan sang ajudan yang bertampang garang. "Harus bikin surat dulu Mbak," sahut sekretarisnya yang bahkan bilang "kalau foto sih oke, tapi kalau wawancara Bapak belum ada waktu sering keluar negeri," katanya.
jadilah, memanfaatkan moment di konferensi pers, dan apa yang terjadi sodara-sodara, wartawan disuruh menunggu lagi di luar, mereka rapat tertutup dahulu, ini pertemuan Pertamina dan anak perusahaannya, BUMN dan juga ESDM. Jadilah para jurnalis menunggu di luar. Disuguhi makan siang, aku enggan memakannya.
Aku menatap beberapa jurnalis dari stasiun TV yang berpakaian seragam dan beberapa jurnalis cetak yang juga duduk bareng di luar, di lobi. Beberapa dari mereka bercakap-cakap, mereka di post kan di ESDM, harusnya sudah saling kenal, kecuali aku yang baru kedua kali di sini. Gampang sekali membedakan jurnalis cetak dan siar di sini, rapi dikit itu cetak karena mereka bakal di shoot. Sedangkan jurnalis cetak biasanya lebih santai, bahkan banyak yang berpakaian kaos dan jins. Aku? Jangan ditanya. sekali melihatku, beberapa mengangguk segan. Ya iyalah, saat orang-orang memilih berpakaian kaos, aku memilih blazer. saat banyak yang memilih menggunakan jins, aku memakai celana  ala pegawai kantoran yang otomatis mereka berpikir aku staf ESDM. Bahkan, beberapa orang mau pedekate untuk wawancara. Aku cuek, tak mungkinlah berpakaian lusuh dengan majalah yang bersegmentasi kelas menengah atas ini.  Dan aku lebih nyaman seperti ini.
Dan inilah waktunya, konferensi pers dimulai, setelah konferensi semua mengejar Jero dan Dahlan. aku enggan ikut, males sekali mengejar mereka dengan jawaban normatif, toh sudah tergambar mereka jawab apa. Akan tetapi, demi tugas dari sang pimred, aku ikut berlarian. Lalu tangan yang memegang blackberry aku ulurkan, merekam suara sang Menteri. Luar biasa sekali, ditanya dengan satu kalimat, jawabannya enteng 'coba cek dulu sumbernya." atau dengan "ya silahkan sampaikan ke DPR," atau dengan kata "kita lihat nanti saja." Saya meringis menatap sang menteri. Hebatnya, para jurnalis itu tetap bersikukuh bertanya, tangan-tangan beruluran, rebutan, miriplah dengan perjuangan naik kereta AC tiap hari. Aku menatap sang menteri, belum sepatah pun pertanyaan dariku keluar. Aku melangkah mundur dan menatap keramaian yang masih rebutan untuk bertanya. Aku menatap beberapa dari mereka yang sampai menutup jalan menuju kantor sang Menteri. aku meringis, apa benar ini yang kucari. Aku menatap tiap kepala yang bertanya, tadi beberapa dari mereka diajak liburan kementerian. Tadi diantara mereka makan makanan yang disediakan, itu tak masalah, tapi malasahnya ada diantara mereka yang mengaku dikasih amplop, 'hadiah' atau apalah yang mereka sebut. Kadang lebih banyak berupa barang, hadiah demi hadiah di saat liputan. Akan seperti apa berita yang mereka toreh, akan seperti apa tulisan yang mereka oles? Dan dapatkah aku tetap bertahan? 
Langsung kutekan keypad dan menelpon seseorang. "Apakah aku terlalu sombong untuk menjadi jurnalis," sahutku. Di sini tak ada lagi dosenku,tak ada lagi, dosen-dosenku tak menjelaskan secara detail. Pertanyaan itu pun akhirnya muncul, apakah ini passionku? apakah benar ini salah satu jalan menuju mimpiku? Esok atau lusa aku pasti menemukannya :)