3.11.2011

Anak UI Makan Sekali Sehari

(Singgalang, Desember 2010)

KAMPUS Universitas Indonesia (UI) sedang ramai. Mahasiswa berlalu-lalang riang gembira. Tapi tidak dengan David. Lelaki ini sedang murung. Matanya yang cekung menatap koperasi mahasiswa yang menjual berbagai jenis makanan pengganjal perut. Dia merogoh sakunya. Ia segera menjauh dari tempat itu. Uangnya tak cukup. Ada yang ngilu di ulu hatinya. Ingin ia menangis, tapi dia lelaki, harapan kedua orangtua dan adik-adiknya.
Perutnya terus berbunyi dan meminta makanan. Ia sedang lapar. Teringat ia ayah dan bundanya di desa, teringat sungai besar yang berbatu-batu banyak, teringat banyak.
Ia terus melangkah menjauh dari koperasi, sembari menunduk. Inilah dia, David Welkinson, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang masih tetap semangat kuliah walaupun tak punya dana untuk biaya hidup sehari-hari.
David hanya makan sekali sehari, pas pukul tujuh malam tanpa sarapan pagi. Mungkin karena itu, ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Matanya yang cekung tak terlihat lagi. Badannya mulai berisi, karena pengaruh infus dan obat.
“Setiap hari, saya makan pakai tempe dan sayur, modalnya cuma Rp3000,” kata David di Jakarta, Rabu (22/12) Ia adalah tipikal anak Indonesia yang ingin menggapai masa depan seterang bintang di langit. Ia gayutkan cita-cita setinggi mungkin, ia tapaki hari-hari dengan kepala tegak. “Masa depan adalah sekarang,” bisiknya suatu kali.
Jika orang lain, setiap pekan bergegas ke ATM mengintim kiriman dari kampung, tidak dengan David. Ia mengaku tak dapat kiriman lagi dari orangtuanya. Terakhir, orang tuanya mengirimkan uang pada Januari 2010 sebesar Rp500 ribu untuk bayar kos.
Itu artinya setahun silam. Sejak itu, ia jadi anak alam, ditimang diayun nasib. Ia berbaur bersama puluhan ribu mahasiswa di universitas hebat itu. David adalah wajah Indonesia sesungguhnya.
Menurut dia, uang kiriman orangtuanya itu, merupakan hasil pinjaman orangtuanya ke tetangga. Tak bisa dilukiskan bagaimana susahnya orangtua David. Betapa mereka ingin agar anaknya kelak jadi orang.
Mendapat kiriman Rp500 ribu, bukan berarti, persoalan sudah selesai, sebab total uang kos yang harus dibayar Rp900 ribu. Untuk menutupi kekurangan, David meminjam kepada teman-temannya yang mampu dan belum diganti sampai sekarang.
“Pinjaman itu belum saya ganti juga,” kata dia.
Untuk makan sehari-hari, David kadang menjual donat di kampus, keuntungannya sekitar Rp10 ribu, itu pun kalau habis semua. Namun, sering tak habis dan terkadang juga rugi. David pun patah semangat dan mencoba untuk mengajar. Sampai sekarang belum ada tawaran untuk itu. Tidak ada panggilan dari tempat kursusnya.
“Saya berusaha mencari pekerjaan sambilan di sana-sini untuk menutupi biaya hidup saya. Kalau tak ada duit, saya pinjam teman, alhamdulillah mereka selalu membantu,” kata dia sambil memegang buku. Laki-laki ini memang terkenal pintar, IP nya selalu di atas 3,5. Dia tak ikut organisasi ataupun kepanitiaan kampus apapun, karena harus bermodalkan pulsa dan ujung-ujungnya lagi adalah duit. Namun, waktu SMA, laki-laki yang memiliki tinggi 155 ini pernah menjadi ketua OSIS.
Selain itu, karena terkenal pintar, David diandalkan oleh teman-temannya untuk belajar bersama untuk persiapan ujian. David dengan senang hati menjelaskan mata kuliah yang sulit kepada teman-temannya. Pernah juga, ia diminta untuk membuat makalah UAS temannya. Sebenarnya, ia tidak menyukai tindakan itu, namun karena dibayar Rp100.000 dan ia menyetujuinya. “Mungkin bagi sebagian orang ini perbuatan yang salah. tapi, berhubung saya tak punya duit dan itu tawaran menggiurkan, saya menerimanya.”
Cobaan yang dihadapinya tak sampai di sana. David masuk UI melalui jalur Kerja Sama Daerah dan Industri (KSDI) berasal dari salah satu provinsi. “Jangan tulis darimana saya berasal,” kata dia.
Sebenarnya, biaya kuliah dan biaya hidup David ditanggung pemerintah daerahnya. Tapi, dana dari pemerintah juga masih terbatas, sampai sekarang David harus bayar kuliahnya sendiri. Karena melalui jalur KSDI, ia tak bisa dapat beasiswa dari UI. Awal semester 5 ini, dia harus membayar uang kuliah sebanyak Rp10 juta. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk biaya hidup saja ia sudah susah. Bahkan belakangan ia sering puasa.
Ia mencoba kembali minta bantuan ke daerahnya, tapi tak kunjung dibantu. Lalu, ia menceritakan masalah ini kepada teman-temannya jurusan Ilmu Komunikasi UI. Mahasiswa Komunikasi UI mengumpulkan duit dan akhirnya terkumpul duit sebanyak Rp10 juta dan kuliahnya masih lanjut sampai sekarang.
David menatap keramaian kantin. Badannya kembali lemas, ingin rasanya makan di sana, namun apa boleh buat tak ada uang. Ini bukan kali pertama ia merasakan lapar. Hampir tiap hari. Ia kembali mencoba melawannya. Waktu dulu, mungkin sempat terpikir untuk bunuh diri, mengakhiri semuanya karena tak mampu lagi menerima cobaan ini. Namun, ia selalu menepis hal itu. Baginya, adik-adik, ibu, ayah di rumah, selalu menantikan berharap perubahan hidup yang lebih baik di masa depan. Dan itu semua dimulai dari David, anak pertama dari 5 bersaudara. Keluargalah penyemangat hidupnya. Dan dia benar-benar yakin, selalu ada celah dari Allah untuk membantu hambaNya. Mana tahu di antara Anda ada yang berminat membantu.

Dan

"Dan!!!”

Dia berlari kencang menelusuri ruang tamu yang cukup besar. Batinku benar-benar mengutuk. Tanpa pkir panjang lagi, aku mengejarnya. Tak peduli, vas bunga yang baru dibeli mama yang terjatuh di senggolnya. Tak peduli, kakiku yang terinjak duri sekali pun. Yang ada dipikiranku, dia harus segera kutangkap. Dia harus segera kuhukum. Kalau tidak, ia makin leluasa di rumah ini.

Tak ada persembunyian di ruang tamu, ia lari ke pekarangan rumah dan dengan gesitnya ia berlari menginjak bunga adelwisku. Darahku semakin menggelegak, tubuhku bergetar. “dasar sial kau!” pekikku. Aku berhenti sejenak melihat bunga yang paling kusayangi itu. Bunga itu pemberian Vidi, mantan pacarku. Mataku semakin panas.

Kembali kucari Dan, tak kudapati lagi dia di pekarangan rumah, kulirik ke arah beranda juga tak ada. Kemana ia? Aku mencari-cari tempat persembunyiannya, di belakang pohonkah? O ow, juga tak ada di sana. bagaimana pun, hari ini aku harus menghukumnya. Segera kucari di dalm rumah.

“Dan keluar!,” teriakku memasuki dapur. Namun, lagi-lagi tak kutemui siapa pun di sini. Kucoba mencarinya di belakang kulkas. Tak ada, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku segera berjalan cepat menuju ruang makan, tak ada, yang kulihat hanya pembantu yang sedang merapikan meja setelah makan siang tadi.

“Bik, liat Dan lewat sini nggak?” tanyaku sedikit ngos-ngosan karena capek mengejar dan. Si bibik gelelng-geleng kepala, isyarat bahwa Dan juga tidak ada di sini. Aku pun mulai berhenti berjalan, mencoba berpikir dimana Dan berada. Mataku mulai memperhatika pelosok rumahku. Di pekarangan tidak ada, di dapur juga tak kutemukan, dan begitu juga di ruang makan. Apa mungkin di kamarku? Mustahil, aku sudah mengunci pintu dan jendelaku rapat-rapat. Lalu, dimana Dan bisa kutemukan? Aku mencoba memutar otakku, ups yah! Hanya satu tempat itu yang mungkin.

Aku menuju ruang tamu, aku mengulum senyum. Hanya ini tempat bermainnya selain tiga tempat tadi. Dan ternyata, aku benar. Ia sedang disuapi makanan oleh mamaku. Aku berjalan pelan ingin menangkapnya.

“Ada apa sayang?” Mama menyapaku dengan lembut. Dan kaget setelah melihatku dan segera memeluk mamaku. Mama segera mengendongnya. Aku meringis marah. Dasar manja!

“Ia sudah menuangkan cat ke lukisanku Ma,”kataku berang. Mama malah mengelus-elusnya.

“Dia masih kecil sayang, dia belum begitu mengerti dengan apa yang kau kerjakan, maafkanlah dia,” jawab Mamaku masih mengelusnya lembut.

“Tetap saja dia harus dihukum,” sahutku ingin segera mengambilnya dari pangkuan Mama. Mama mengelak.

“Mama serahkan dia padaku,” pintakku dengan semangat empat lima. Tanganku sudah bergetar ingin menghukumnya.

“Ngeong,” Dan menggubris. Tiba-tiba bel berbunyi.

Ta'aruf

Aku ngos-ngosan turun dari bikun. Mataku mencari-cari sosok yang kukenal. Ada begitu banyak orang yang keluar dari halte FKM ini. Namun, tak satupun yang kukenal. Aku kembali berusaha mencari sosok cowok berjaket hitam, jaket hitam selalu menjadi andalannya. Masih tak kutemukan. Kupilih untuk duduk sebentar menenangkan diri. Jarum jam tanganku bergerak pelan, menunjukkan pukul 7 kurang lima. Tak ada yang singgah menemaniku, sayup-sayup terdengar suara jangkrik. Aku kembali mengeluarkan kertas yang mulai lusuh itu. Untuk ke sepuluh kalinya kubaca surat itu.

“Assalamu’alaikum ukhti, kuharap kau selalu dalam lindungan Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita. Surat ini kutulis dengan hati bersih, tak ada maksud untuk memutuskan hubungan silaturrahim kita atau malah membuat kita semakin dekat. Selama ini aku mencintaimu. Maaf aku tak pandai dalam berkata-kata, namun, aku berharap kau menjaga hatimu untukku. Izinkan aku berta’aruf denganmu 4 tahun lagi. Sekali mohon jaga hatimu untukku, jika ada rasa yang sama diantara kita. Makasi

wasalam

Aku terpaku. Untuk kesekian kalinya air mataku kembali mengalir. Ya Rabb, ini orang yang dua tahun ini yang kucintai dengan sepenuh hatiku. Banyak hal yang kulalui dengan dia, dan selalu kujaga hatiku selama ini dengan lelaki lain. Sungguh aku ikhlas mencintainya, namun, entah kenapa setelah ada surat ini aku berasa diberi beban. Ada sebuah beban yang mengganjal di hatiku.

“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang di depanku. Suaranya mengalir syahdu, dadaku bergetar dahsyat. Aku pilih menunduk dan menjawab salamnya dengan sebuah bisikan. Kupilih untuk tidak melihat matanya, aku tak kuat.

Laki-laki berjaket hitam itu duduk di sampingku, jarak kami satu meter. Hanya kami berdua yang berada di halte ini. Aku menyadari keadaan ini, aku segera mengambil sesuatu bingkisan dari tasku. Lalu, kuserahkan kepadanya sambil berucap. “ Aku meng-sms mu untuk memulangkan ini,” kataku sembari berdiri, khawatir semakin lama, jantungku yang begerak cepat ini terdengar olehnya. Dia terpengarah sebentar dan sepertinya shock dengan apa yang kulakukan.

“Bisakah kau duduk sebentar dan kita selesaikan dengan jiwa yang tenang?” katanya lembut, matanya menancap relung hatiku. Entah kenapa, mata itu berhasil menghipnotisku, aku langsung duduk. Ingin sebenarnya aku berontak karena dia berhasil membuatku mengikuti kata-katanya. Namun apa daya, aku hanya terdiam membisu terpaku dan walaupun tubuhku sedikit gemetar. Ampuni aku Ya Allah

“Aku lebih memilih mendengarkan celotehanmu daripada kau diam, aku lebih siap mendengar kau marah-marah daripada kau mematikan ponselmu. Aku lebih siap melihatmu menghujatku daripada kau tiba-tiba menghilang dari kampus,” sindirnya halus, tepat mengena sasaran. Oh tidak, jadi benar dia mencariku di kampus.

Jiwaku semakin tak tenang. Aku mengutuk diriku yang masih saja mau mendengar semua celotehannya. Aku meliriknya yang menatap lurus ke depan, tampak mulutnya komat-kamit sedang beristighfar mungkin. Lalu, tiba-tiba perhatiannya beralih ke arahku. Mataku dan matanya bertemu, dadaku semakin berdegup kencang. Dan lagi, dia berhasil membuatku segera tertunduk. Semakin parah kalau aku berada di sini.

Aku segera berdiri tak mempedulikan keberadaannya lagi, masih kudengar penjelasannya tentang surat itu. Masih kudengar keinginannya agar aku menerima bingkisan itu, sebuah kerudung biru. Namun, aku terlalu capek dengan semuanya. Aku sudah muak satu minggu ini memikirkannya. Aku sudah muak dengan semua niat baiknya itu. Aku sudah membahasnya dengan menthorku. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Sungguh ini tak boleh terjadi, aku menghargainya, namun aku lebih menghargai cinta yang kumiliki. Aku mencintainya karena Allah, aku tak mau itu ternoda dengan kekaburan makna ta’aruf itu. Imanku tak sekokoh itu untuk menjaga hati. Ini ranah hati Bung!

Aku segera berjalan menuju kos an, tak kupedulikan lagi suaranya. Tak kupedulikan lagi niat baiknya untuk mengantarkanku pulang. Tak kupedulikan walaupun dia mengikuti dari belakang. Maaf Bung, maaf, ini semua demi kebaikan kita.

***

Aku kembali turun dari bikun dan duduk di halte FKM, kali ini ada seorang cewek di sana, aku memberinya sebuah senyuman manis. Dia membalasnya dan dia kembali sibuk dengan ponselnya di tangannya. Aku pun segera mengeluarkan sebuah kertas dan untuk beberapa kali membacanya. Masih saja rasa muak itu ada di hatiku. Kenapa laki-laki itu masih belum mengerti, padahal dia hafiz, hafalannya jauh lebih baik dariku. Entah apa yang ada di pikirannya.

Aku menatap ke sisi kananku. Aku menatap cowok berjaket hitam itu di sana. Entah angin apa yang membawanya, sehingga aku tak merasakan kehadirannya. Dan dengan lancangnya dia duduk tanpa mengucapkan salam padaku. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti. Aku bersiap-siap ingin menyumpahinya dengan segala kekuatan yang aku punya. Tapi kuulur dulu, tak baik untuk kesehatan jika aku terlalu emosi.

“Kuharap kita sms jika perlu saja, aku tak bisa menerima telpon lagi darimu,” kataku padanya yang sepertinya sedang larut dengan pikirannya. Ia tak bergeming, tetap diam terpaku dan tersenyum menatapku. Oh tidak, apa yang ada dipikirannya.

“Sampai akhir hidupku mungkin,” kataku berharap dia mengucapkan sesuatu untuk membuatnya terperanjat. Namun tidak, ia masih tersenyum seakan-akan tak peduli dengan apa yang kukatakan. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti lagi kenapa dia memperlakukanku seperti ini. Tak tahukah dia bahwa ungkapan cintanya telah mengganggu hatiku. Dia membuatku tak fokus melakukan banyak hal. Jiwaku mulai tak stabil.

“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu menyampaikan semua ini.” kataku dengan nada tinggi, tak mempedulikan cewek di sisi kiriku kaget dengan nada suaraku, peduli amat.

“Kau menyuruhku untuk menjaga hatiku. Namun, hampir setiap malam kau menelponku dan kita membicarakan hal yang tak penting. Bagaimana mungkin aku bisa menjaga hatiku wahai akhi?” kataku panas, bibirku bergetar menyampaikannya, dia masih saja tersenyum menatapku.

“Ta’aruf macam apa yang kau agung-agungkan itu jika kau mengotorinya dengan cara ini,” kataku. Kali ini diam tanpa ekspresi, mungkin dia mulai merasa bersalah. Dan aku tak akan kasihan lagi dengannya. Cukup sudah dia membuatku menderita selama ini.

“Kau tau betul aku juga menyukaimu. Namun haruskah kita menjalaninya dengan ikatan yang seperti ini. kau tau betul ini tak sesuai dengan apa yang kita pegang. Sungguh yang namanya tulang rusuk tak akan bertukar. Semuanya sudah tertulis di lauhul ma’fudzh, kenapa kau seakan-akan takut dengan ketentuan Allah?” tanyaku dengan mata yang mulai panas, berharap ada tanggapan darinya. Dia masih diam, tak bergeming. Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di hatiku. Tapi tidak, aku takkan menangis di depannya, itu bukan aku. Kuharap dia mengerti apa yang kusampaikan. Kuharap dia memaklumi kenapa selama ini aku menjauhinya, kuharap dia paham kalau selama ini aku menjauhinya untuk menjaga kesucian cintaku dan cintanya.

Kutatap wajah yang selama ini kucintai itu, dia masih menatapku tanpa ekspresi, lalu dia tersenyum lagi. Aku menatapnya tak percaya, sungguh apakah dia tak merasa bersalah dengan semua hal yang diperbuatnya. Tak sedikitpun dia mengucapkan kata maaf.

Aku melirik gadis yang ada di sebelahku, gadis itu terpaku menatapku. Lalu air matanya mengalir. Sepertinya gadis ini lebih mengerti perasaanku. Sepertinya dia lebih paham maksud hatiku. Mungkin benar hanya cewek yang mengerti cewek.

“Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya Mbak,” kataku menatap Mbak itu. Dia mengangguk, air matanya mengalir dan entah apa yang mendorongnya, dia memelukku. Aku gusar, apa-apan ini.

“Aya, ini aku Zahra, temanmu. Dia sudah tiada sayang, dia sudah tiada,” katanya. Aku kaku, berusaha memahami pernyataannya.

“A.. aku tak memahami apa yang kau katakan!” kataku marah.

“Dia sudah tiada malam saat kau menemui dia, dan itu sebulan yang lalu, sayang. Dia kecelakan saat mengejarmu,” katanya pelan menusuk jantungku. Aku berontak melepaskan pelukannya. Aku berontak, kutatap cowok berjaket hitam tadi. Oh tidak, cowok berjaket hitam itu tak ada di sana lagi, entah kemana dia pergi. Aku berdiri mencarinya. Aku memangggil-manggil namanya. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada dia.

Lalu aku menatap cewek yang di depanku, aku baru menyadari kalu dia Zahra temanku, aku bahkan baru menyadarinya. Dan kembali aku berusaha memahami kata-katanya. “Kau.. kau bohong, dia tadi masih di sini tadi!” kataku setengah panik. Kutunjuk tempat dimana cowok berjaket hitamku duduk.

“Dia sudah tiada sayang, daritadi aku menemanimu di sini. Kau bicara sendiri, dia tak ada di sana, itu halusinansimu. Ya.. ikhlaskanlah dia,” katanya menatapku.

“Ti.. tidaaaak,” kataku teriak setengah gila. Aku geleng-geleng kepala tak percaya. Aku menatap tempat itu aku memeluk tempat duduk itu, aku merasakan hawa dingin di sana. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku teringat smuanya, cowok berjaket hitam itu mengikutiku di belakang. Aku tak mempedulikannya. Aku segera menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor berkecepatan tinggi menuju ke arahku. Cowok berjaket hitam itu teriak dan semuanya gelap. Lalu, aku melihat darah, aku melihat kepalanya berdarah, aku melihatnya dimakamkan. Aku.. aku... semuanya berputar di kepalaku, semuanya. Tak kusadari air mataku mengalir , tanganku bergetar. Kutatap ketas yang dari tadi kupegang, tak ada apa-apa di sana. Hanya kertas kosong. Aku menatap Zahra. Dia mendekatiku pelan-pelan. Air matanya juga masih mengalir.

“Kau mencintainya karena Allah, sekarang ikhlaskan dia karena Allah,” bisiknya. Aku menengadah dan semuanya gelap.

Harapan Emak di Pusgiwa

Tangan itu tampak keriput, hitam, dan sedikit gemetaran. Aku menelan ludah, mataku beralih kepada wajahnya yang sepertinya tampak mengarah ke arahku. Aku mengangguk senyum, dia hanya diam dan memperhatikanku dari bagian atas sampai bawah. Aku menunggu di dalam diam. Masih tidak ada suara, dia sedang menghitung beberapa botol air mineral di kulkas. Kupiilih duduk, menemaninya. Entah kenapa beberapa hari ini, aku sangat merindukan tempat ini, kangen melihatnya, kangen mendengar curhatnya.

"Bukannya kau sudah pensiun?" tanyanya dengan suara gemetar. Aku tersenyum, ada sembilir angin yang membawa kebahagiaan di hatiku. Aku mendekatinya, ternyata ia masih ingat denganku.

"Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya dengan nada yang masih sama, suara yang beberapa hari ini entah kenapa kurindukan, aku membalas pertanyaan itu dengan senyuman.

"Kangen tempat ini, Mak," bisikku halus. Dia tertawa dan sepertinya kembali menghitung beberapa botol air mineral di kulkas itu. Aku terpaku, dia sekaan asyik menghitung botol per botol air mineral itu. Sudah tiga kali dia menghitungnya, dan jumlahnya tentu tetap sama.

"BEM UI tahun kemaren sering ngasih emak hadiah, kemaren dikasi jaket. Seneng rasanya dapet jaket gratis dari mereka, tak tahu kalau yang sekarang," celotehnya tanpa kuminta, aku mengangguk. Memang baru beberapa bulan BEM UI diganti.

"Salam UI juga biasanya ngasih mukena saat lebaran, tapi sekarang nggak lagi, mungkin mereka sudah lupa, atau tak kenal emak," lanjutnya. Kali ini aku menatapnya tanpa kedipan. Lalu senyumku mengembang, dia tetap sama, dengan celoteh itu dengan harapan itu. Kali ini rasa penasaran mengusikku

"Berapa penghasilan Emak sehari?" tanyaku, entah kenapa pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Dia geleng-geleng kepala tersenyum malu. Aku menyesali pertanyaan yang mengganggu comfort zone nya, seharusnya aku memilih diksi yang lebih halus agar dia tak tersinggung. Aku menelan ludah.

"Emak cuma jagain toko ini," katanya menatap mataku, meilih tak menjawab pertanyaanku. Aku mengangguk-angguk, mengunci mulutku.

Semibilir angin kembali menemani kami, tempat ini, tampak lengang, tak ada suara marching band, setahuku UKM itu sedang open recruitment di stasiun UI, beberapa kilo dari sini. Itu berarti mereka takkan membeli air mineral Emak. Anak-anak BEM UI pun tak tampak keluyuran, ruangan sebelahnya juga tampak kosong, bahkan DPM terkunci rapat. Apa yang ditunggu si Emak dengan tempat kosong seperti ini?

"Ini kan bukan fakultas neng, cuma tempat kegiatan mahasiswa, dan MAPALA contohnya juga punya galon, nggak mungkin beli di sini," katanya, sepertinya mengerti apa yang kupikirkan. Aku menghela napas, hatiku berasa teriris, tak mau bertanya lagi. Takut mendengar jawaban miris dari mulut mungil itu.

Namun, dia tak berhenti berciloteh, dia kembali berharap mengingat anak BEM yang juga pernah memberinya baju bekas yang layak pakai, dia bercerita tentang pekerjaannya tiap hari itu, dia gembira berada di sana walaupun ada sebagian kecil mahasiswa yang malah makan kue dan lupa bayar, dan terpaksa dia ganti kue itu dengan gajinya. Dia berharap tahun ini BEM UI dan SALAM UI mengingatnya dan memberinya hadiah. Emak mulai berciloteh panjang lebar, tanpa diminta, tanpa ditanya. Hebatnya, tak kutemukan air mata di sana, yang terjadi malah batinku makin teriris. Air mata mulai mengalir, ketika secara tak sadar dia mengungkap gajinya yang cuma sepuluh ribu per hari, dan dia hidup sendiri. Dia tak punya lagi suami dan juga tak punya anak. Aku menghela napas.

"Tidak, tidak, emak punya anak kok," katanya padaku meralat pernyataannya tiba-tiba. Aku tercengang.

"Siapa?"desakku, ingin mencari anaknya, ingin menghampiri anaknya.

"Anak Emak kan anak BEM," katanya dengan senyuman manis. Aku menatapnya tanpa kedipan. Bergegas segera kutinggalkan tempat itu. Takut air mataku mengalir deras di depannya. Aku menatap ruangan BEM dari lantai bawah, wahai BEM, harapannya ada padamu....



Hasil wawancara Jumat, 4 Maret 2011, jam 13. 45 WIB bersama Puji, data-data tersebut fakta, dan sengaja saya sampaikan dengan cerpen.