3.25.2009

Main Demo-demoan

Main Demo-demoan
Aku menatap kerumunan mahasiswa yang berteriak lantang menyerukan semangat anti kenaikan BBM. Di tangan mereka kulihat tulisan yang sudah mendarah daging di kalangan mahasiswa beberapa bulan ini “Turunkan BBM,” “Jangan Menyiksa Rakyat,” dan tulisan tragis yang lain.
Aku menghembuskan nafas dan pélan-pelan kuhirup bau bahan bakar bus yang menyengat. Sementara tangis bayi mungil yang di pangku ibunya semakin menjadi-jadi. Lebih parahnya lagi mereka duduk di sampingku. Oh, tersiksanya telingaku.
Nyaris inginku kunyah bayi itu. Namun, wajahnya yang suci itu akhirnya mengalahkan kemarahanku. Kulihat matanya sedang mengamati kerumunan mahasiswa. Entah apa yang sednag dipikirkannya. Mungkin dia sedang menangisi calon-calon pemimpin bangsanya yang hobi berdemo.
Bus masih diam, tak ada yang tahu kapan bus ini akan jalan. Kusimpulkan untuk segera keluar. Kurelakan uang enam ribuanku lenyap karena sudah kubayar ke kondektur. Aku minta turun, kerongkonganku sudah kering.
Dari luar bus, kulihat barisan kendaraan yang berjalan tertatih-tatih. Aktifitas jalan raya macet dan penyebabnya adalah calon-calon pemimpin bangsa Idonesiaku tercinta. Kulihat seorang cowok yang dari tadi mengomandokan acara demo-demoan itu.
Tanpa pikir panjang lagi kualihkan pandanganku. Kutuju sebuah warung kopi di pinggiran jalan. Sampai di sana kupinta sebuah botol air minum.
“Minumannya satu, Pak,” pintaku. Kerongkonganku benar-benar kering. Si Bapak segera memberikan sebotol minuman, segera kuteguk. Si bapak sibuk membereskan dagangannya. Aku menatap jam tanganku.
“Masih siang lo, Pak. Kok sudah mau tutup? Ini kan rejeki nomplok, Pak,” kataku lalu kulihat ratusan mahasiswa yang kali ini bakar kayu di tengah jalan.
“Nomplok apanya Neng. Merekanya pada puasa makan dan minum. Katanya sih, supaya keinginan mereka dikabulkan,” jawab si Bapak warung kopi.
Gila, kenapa gak sekalian puasa beneran aja. Yah, setidaknya mereka bisa menguasai nafsu mereka. Agar tidak ada lagi, bakar membakar seperti ini. Sudah meningkatkan global warming, tambah lagi pemborosan BBM.
Kukeluarkan ponselku, kuketik sebuah sms. “Sekalian aja bakar dirimu,” kukirim ke cowok jangkung yang sekarang menjadi ketua besar demo itu. Kulihat dia merogoh sakunya. Lalu, matanya mencari-cari wajahku.
Aku tersenyum pahit. Lalu kembali kuperhatikan si Bapak. Kakiku lumayan pegal, aku segera duduk.
“Neng, mahasiswa ya? Kok gak ikutan demo?” pertanyaan itu seolah-olah menyindirku. Aku tersenyum masam, apa harus kujawab kalau yang ketua besar demo itu pacarku dan baru saja hubungan kami putus karena dia masih senang berdemo ria. Si bapak memperhatikanku, dia meninggalkan pekerjaannya.
“Ya bagus Nengnya gak ikutan. Saya tahu tujuan mereka baik kok Neng. Namun lebih baik lagi kalau mereka belajar sungguh-sungguh dan berlomba-lomba membangun negeri ini,” katanya. Aku termangu.
“Saya tau BBM menyusahkan mereka, bahkan menyusahkan seluruh lapisan masyarakat kita. Tapi ya… mau gimana lagi, pemerintah toh juga pusing tujuh keliling mencari solusi lain. Pemerintah mana yang mau mencelakakan rakyatnya, setidaknya mereka harus mengambil keputusan dengan hati-hati agar pemerintahan mereka tidak runtuh,” kalimat si Bapak barusan membuatku mati kutu. Aku tersenyum nyentrik. Bapak warung kopi saja bisa berpikiran positif, kenapa pacarku yang IP-nya selalu diatas 3 berpikiran kampungan? Kembali kulumat-lumat sususnan kalimat bapak tadi.
Lalu entah apa yang terjadi, refleks aku berlari menuju si Ketua demonstran tadi. Aku mendengar pidatonya yang berapi-api. Kulewati kerumunan mahasiswa itu yang rata-rata dari mereka sangat kukenal. Aku tepat berdiri di depan mantan pacarku itu. Dia diam, semua mahsiswa juga diam. Kurebut mikrofonnya.
“Hidup Indonesia!
Hidup Ilmu Pengetahuan!
Hidup Kampus!
Hidup bapak warung kopi!”
Semua kerumunan itu diam. Aku menatap mantan pacarku dan sebuah kalimat meluncur dari mulutku. “Lebih baik pidatomu seperti ini,” kataku.

(Cerpen gw di OKK UI)

1 comment:

Anonymous said...

cerpen nya panjang dan sepertinya menarik
bisakah mbak mimi mengajari saia cara menulis yang baik?