10.19.2012

PEMIRA UI 2010 #4

Lima belas tahun yang lalu...
“Aku pengen jadi boneka,” kata sahabat kecilku sambil membelai rambut emas boneka barbie miliknya. aku menatap boneka itu lekat-lekat, memikirkan kalimat itu.
“Kenapa?” tanyaku polos.
“Karena dia cantik,” jawabnya polos. Aku masih berusaha menatap boneka itu lekat-lekat. Aku suka boneka, tetapi aku tak pernah untuk berpikir menjadi dirinya. Lama berpikir, kuputuskan berlari ke rumah untuk mengambil sepeda, mending main sepeda ah.
***
Kali ini, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat kotak suara yang kami pinjam dari KPU. Ringan sebenarnya namun karena memang aku kurang kuat, dan lupa sarapan pagi. Alhasil aku berhasil ngos-ngosan sampai ke parkiran. Sempat sepatah dua patah kata “capek” keluar dari mulutku. Namun, selanjutnya kata-kata itu tercekik di kerongokongan.
Aku membelalak tak percaya. Aku menatap dua bendaharaku yang sedang keluar dengan parkiran. Mereka membawa dua kotak yang tingginya sekitar setengah meter di sisi kiri dan sisi kanannya kotak. “Wow, super sekali,” pekikku masih terpaku menatapnya. Berpikir sebentar lalu melirik mereka.
“Berapa orang yang mengambil kotak pagi ini?” tanyaku pada Penanggung Jawab Penconterenganku.
“Ada enam tujuh orang, satu cowok, si Hafiz, selebihnya cewek bolak-balik daritadi,” katanya. Aku nyengir, apa boleh buat, satu cowok diutus ke salemba. Si Bos sakit, si Staf ahli hukum ku sebentar lagi dioperasi. Yang lain, ada yang UTS.
“’Teman seatap’ mana?” tanyaku dengan senyuman manis sekali.
“Nggak ada,” jawabnya polos. Aku batuk-batuk sebentar, it’s oke, mungkin mereka sibuk dengan segala hal yang sedang terjadi. Ya, yang namanya keluarga seatap harus pengertianlah. Puji segera mengeluarkan motornya dari parkiran. Aku segera mengangkat kotak suara itu dengan semangat “45. Mungkin ini waktunya Ya Allah, menunjukkan bahwa wanita pun harus bisa mengerjakan pekerjaan lelaki, kebetulan mereka punya sakit dan ada yang sudah diberi amanah lain. Apalah hendak dikata, sodara seatap saya juga sibuk :p
***
Tadi, untuk beberapa kalinya, aku mutar-mutar keliling fakultas, tadi sempat kecelakaan kecil yang disaksikan mahasiswa di halte FIK. Namun, tak apalah, biar berasa perjuangannya. Toh, dari kecil aku sudah sangat suka berpetualang dengan sepedaku. Dan hari ini, aku cukup menjadi orang yang duduk manis di belakang si pengendara motornya dan sampailah kami ke rumah kami, pusgiwa.
Kali ini, dengan ngos-ngosan kami segera menaiki tangga Pusgiwa satu per satu, entah untuk keberapa kalinya sampai-sampai aku menghitung satu per satu tangga dan mendendangkan melodi lagu untuk menghibur diri.  Lagi-lagi para cewek yang bolak-balik mengambil kotak suara di masing-masing TPS. Kamipun bolak-balik dari pusgiwa ke falultas belasan kali, tanpa makan dan minum apapun. Tak hanya itu, dari pagi, kami berpatroli ke masing-masing fakultas, mengantar surat suara jika ada yang kosong, melipat surat suara yang baru dicetak tadi malam karena kelalaian panitia. Menghibur diri dengan sedikit lelucon yang terjadi. Namun, tetap saja wanti-wanti dengan apa yang terjadi.
Beberapa fakultas bermasalah, ada beberapa fakultas yang telat buka dan bahkan tak buka. Aku baru mendapat kabarnya. Aku tahu betul siapa yang bertanggung jawab untuk hal itu. Apa boleh buat dia sudah mengerahkan semua kemampuan yang dia miliki. Dan apa boleh buat juga, dia mempunya wakil PO yang sangat detail dan ini bukan main-main Bung, ini amanah!
“LO KENAPA NGGAK LAPOR KE GUE?” tanyaku dengan suara yang sudah mau habis. Namun untuk menunjukkan ekspresi seriusku, kupaksakan untuk berteriak, dan berhasil teriakan itu membuat telinganya merah. Bukan untuk menghukumnya, hanya ingin menunjukkan kalau aku bisa lebih galak dari itu kalau besok masih bermasalah.
Dengan semua masalah itu, tim yang lain cuma bisa diam tanpa banyak komentar. Entah mereka paham dengan apa yang terjadi atau mereka malah sedikit tak suka caraku. Namun, dari bahasa simbol muka mereka sepertinya masih menerima karena ini bukan kali pertama aku marah. Aku tahu ini bakal berdampak suatu hari dan timku juga berpikiran yang sama.
Lagi-lagi badanku lemas, perutku meminta makan, aku cuek. Kuambil sebuah kertas surat suara dan aku melipatnya, senyap sunyi, bukan karena tak orang. Tapi mereka semua sibuk melipat suara dan mungkin juga terlalu capek untuk ngobrol. Di rungan ini, hanya terdengar jam dinding yang berdetak, cowok yang tadi kumarahi segera keluar. Aku mendesah tak tertahankan. Puji menatapku dan menepuk-nepuk tanganku pelan-pelan. Ini bukan masalah pertama, banyak masalah di beberapa fakultas. Seorang teman yang punya tanggung jawab untuk hal penconterengan ini, tiba-tiba mengundurkan diri dan dengan ahlinya menggunakan kata-kata memaki pula dan kujawab dengan diam tadi. Ingin tertawa ngakak dengan semua hal yang terjadi hari ini. Ingin membagi penderitaan ini dengan dua orang yang mengerti betul lahan ini, pertama si Bos yang sedang berbaring di rumah sakit dan yang satu lagi staf ahli hukumku yang sedang membuat ramuan untuk penyakitnya. Aku mendesah pelan.
Tiba-tiba teman seatap datang, dengan senyuman manis. Aku berusaha menjawab senyuman itu, toh salah satu hadis  menyebutkan senyummu atas saudaramu adalah pahala. Dia mengeluarkan sebuah kertas.
“Eh Mi, kita evaluasi yuk, di fakultas ini kok gini, kalo di fakultas itu lebih parah lagi, kok bisa sampai gini?” dia membeberkan semua masalah di tiap-tiap fakultas dan meminta penjelasanku. Kepalaku benar-benar sakit, untuk kesekian kalinya dalam hari ini aku menghela nafas panjang. Beginikah Ya Allah, rasanya jadi pemimpin?
“Oke, bahas satu per satu,” sahutku menatap tajam wajahnya. Dia kembali menjelaskan secara detail, diikuti temannya ikut-ikutan mengiyakan semua kejanggalan di lapangan itu. Kepalaku lagi-lagi sakit.
Entah kenapa, seperti sebuah rekaman di recall oleh memoriku, semuanya bermain di kepalaku, mulai dari verifikasi sampai kampanye. MWA itu tanggung jawab mereka, mereka dimana? Salah satu panelis saat kampanye MWA sempat tersinggung karena hanya sedikit panitia yang hadir, mereka dimana? Dan aku harus meminta maaf berulang kali kepada si panelis. Kujelaskan posisiku padanya, ada tiga acara panitia pemira hari itu  dan kami harus membagi SDM yang ada. Untung saja, si panelis orang yang pengertian.
Beberapa kali selalu kuusahakan positif thinking untuk semua hal berhubungan dengan mereka. Tapi tidak lagi untuk saat ini, kesabaranku ada batasnya. Kalau mereka tak datang untuk kampanye kenapa ujuk-ujuk datang saat penconterengan? Aku tersenyum simpul, maaf teman, aku nggak segoblok itu. Jadi mau main politik denganku? Salah orang, dari kecil aku sudah mengerti politik. Aku tersenyum manis, kujawab semua pertanyaan satu per satu itu dengan nada yang sangat lembut.
“Udah?” tanyaku masih mempertahankan senyum manisku.
“Iya udah,” jawabnya puas dengan jawabanku. Ini waktunya!
“Ehm, lo berdua “teman seatap kita” ya? Yang lain kemana ya? Nggak kangen kita-kita? Kok datengnya baru sekarang, dari kemaren-kemaren kemana aja, liburan? Banyak tugas? Atau jangan-jangan nggak level ya bergaul dengan kita yang mengurusi urusan rakyat jelata ini. Gue tahu kok, jabatan kalian terlalu eksklusif untuk turun lapangan. Tapi tolong dong, ini P*M*R* merupakan tanggung jawab kalian juga kan? Atau mau gue bawa tinggal semuanya, terus kalian yang nyelesin. Oh tentu tidak, gue juga nggak bakal mau, karena gue tahu pasti semuanya akan gue pertanggung jawabkan di akhirat kelak!” kataku tersenyum, namun kuyakin itu senyum pahit. Kulirik, teman-teman se-timku mengangguk-angguk. Tiba-tiba Penanggung jawab Penconterenganku lebih ekstrim, mereka menunjuk dua orang itu.
“KALIAN MENGHAKIMI KAMI DARI TADI!” sahutnya lantang. Aku diam menunduk dan beristighfar sebanyak-banyak yang kubisa. Dan sekarang aku baru mengerti kenapa aku tak suka boneka, sungguh aku benci jadi boneka, sampai kapanpun jua.

Pesan moral untukku:
Jangan ambil amanah apapun kalau kau tak siap, karena bakal kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak. Si bos gue aja sampai ninggalin UTS buat ini oi!

PEMIRA UI 2010 #3

“Coba baca lagi kalimatnya,”
Isi dalam media kampanye di luar tanggung jawab PEMIRA
“Wah, kayaknya aneh deh,”
“Aneh dimana?”
“Eh pulang yuk,”
“Ah gue juga nggak tahu,”
“Aduh, gue pusing”
“Hah, gue bikin strategi komunikasi aja,”
“Gue main bola aja”
“Lo masih kuat duduk Man?”
“Dikuat-kuatin”
“Maksud gue ini lo Be”
“Heh, besok gue pinjam kipas ke BAK deh”
“HEH DIAM!”
Semuanya terdiam, beberapa detik masih kudengar detak jarum jam dinding yang menemani kami. Kami saling melirik dan menatap salah seorang staf ahli hukum yang tadi berteriak. Mukanya mulai merah, entah kecapean, entah menahan sakit. Sesekali kepalanya menengadah ke atas, dia mengangkat kedua tangannya. Pelan-pelan ditutupnya matanya, lalu sebuah kalimat yang mungkin tak pernah kami lupa keluar dari mulutnya.
“Tolong Baim Ya Allah,” katanya polos.
Sedetik, dua detik, kami saling melirik dan dalam hitungan satu, dua tiga.
“Hahahaha,” semua tertawa, entah karena saking lucunya, entah karena saking stresnya.
“Haha, mulai hari ini gue panggil lo Baim”
“Gue mau muntah,”
“Gue mau tidur”
“Saya mau main bola,” sahut Agus, penanggung Jawab Kampanye. Kami meliriknya, dia memainkan bola pimpong yang entah dimana didapatnya. Lalu dia menyelutuk sendiri. Lagi-lagi tawa pecah di ruangan ini.
Qibe, stah ahli hukum yang kedua,  masih berpikir, sesekali dia mengacak-acak rambutnya. Dia yang diandalkan untuk menuangkan kata per kata ke peraturan Panitia PEMIRA itu. Sekarang, Qibe sedang menghela nafas panjang. Si Bos sedang memainkan pulpen di kertas, berharap sebuah ilham tertuang ke kertas itu. Hana masih sibuk dengan hape nya. Si Baim lagi-lagi menengadah.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12, anjing yang entah darimana menggonggong menemani kami yang sedang membuat pasal per pasal untuk peraturan panitia PEMIRA. Dalam tiap pasal pun ada beberapa ayat. Ada sekitar 75 pasal yang akan kami buat. Untuk satu ayat saja, kami harus mengunyah-ngunyahnya minimal lima belas menit.
“Ya kalimat ini aneh, tapi gue nggak tau dimananya” kata Baim, lagi-lagi kami tertawa, dari tadi kami menyadari kalimat ini aneh.
“Materi bukan sih?” sahut si Bos.
“Yuhu, materi kampanye,” sahut Qibe seakan-akan baru dirasuki sesuatu oleh malaikat. Mereka kembali bersemangat, ribut lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Nyerah deh buat urusan yang satu ini.

PEMIRA UI 2010 #2

                Aku terhenyak, kutatap sekelilingku, teman-temanku saling pandang. Raut muka mereka tampak tegang, tangan yang dari tadi melipat kertas sekarang berhenti di tempat.
“Nggak ada jalan lain Kak?” tanyanya, semua mata ditujukan padaku. Aku gigit bibir, mau tak mau keputusan ada di tanganku, sang Bos sedang berperang melawan penyakit thypus-nya. Tadi kutelpon, dia memintaku untuk meminta persetujuan anak-anak. Lagi-lagi aku menghela nafas, kali ini kulirik dua staf ahli hukumku, Baim dan Qibe. Mereka geleng-geleng kepala, pucat pasi.
“Ya ampun Kak, 3 hari kami menghabiskan waktu melipat ini dan sudah jadi pula,” kata Dila, salah satu staf penconterengan.
Ruangan tampak tegang, panas sedikit mebuatku tercekik. Tak ada AC, jangankan AC, kipas angin pun tidak. Badanku berasa panas dingin. Beberapa kali aku menatap stafku yang berbuat kesalahan, dia tertunduk bisu. Tak ada gunanya juga aku teriak-teriak padanya. Dia sendiri tahu kesalahannya. Aku berusaha tenang, dan menghela nafas beberapa kali. Kali ini kutatap seorang Kakak yang mengerti Undang-Undang tentang PEMIRA ini.
“Jangan gunakan kertas ini,” katanya mengulang pernyataannya. Aku kembali memperhatikan kertas suara yang dicetak itu. Pengaruh facebook, salah seorang tim ku mengikuti nama yang ada di facebook. Kedua nama kandidat berubah di facebook, yang satu menggunakan nama ayah di akhir, yang satu lagi ejaannya salah. Aku meremas kertas itu bulat-bulat.
“Tapi kan 20.000 kertas mubazir,” sahut Bendaharaku, aku tahu alasannya, kita sudah berhemat dengan segala pengeluaran, karena dana yang baru turun 4 hari sebelum masa penconterengan. Aku mencoba berpikir dan lagi-lagi menatap staf ahli hukumku, mereka tampak berpikir keras. Ya sudahlah, tak ada jalan lain.
“Oke, cetak ulang semua, ayolah Tuhan melihat proses kita, bukan hasil” sahutku dengan senyum berusaha menghibur mereka.  Semua wajah meringis dan mengaduh. Mata kami melihat 20.000 kertas suara yang sudah dilipat. Kami tahu susahnya melita kertas suara, namun kami juga tahu, ini untuk kebaikan pada hari esok. Karena hari ini sama hari esok jelas berbeda. :D

PEMIRA UI 2010 #1

Perutku mulai berbunyi, bersenandung meminta makan kepada si empunya. Aku tersenyum getir dan berusaha cuek, kali ini aku berjalan menuju salah satu TPS. Kupaksakan sebuah senyuman mengembang, pelepas lelah dan sebuah bentuk penghargaan untuk beberapa orang yang menjaga TPS nya.
“Halo, berapa orang yang nyontreng?” kataku dengan suara yang mulai serak, namun nadanya masih tampak semangat. Mereka menjawabnya dengan senyum, sepertinya ini kabar baik.
“Lumayan Kak, ada 300 orang hari ini,” jawabnya sambil menyerahkan kertas suara dan beberapa BAP. Aku bertepuk dengan senang hati, lalu menyalami mereka satu per satu karena sudah kerja keras. Namun, koordinator fakultas, penanggung jawab di fakultas ini menatapku dengan tatapan sedih. Aku mendekatinya.
“Apa yang terjadi?” kataku, memaksakan senyum walaupun ada firasat sesuatu yang buruk sedang terjadi. Tanpa suara, dia memberikan sebuah kertas padaku. Aku mengambil kertas itu dengan segera membacanya.
Kami mengajukan keberatan atas dibukanya TPS di fakultas A pukul 09.01 WIB.
Aku menatap kepala surat itu, Pengajuan Keberatan Atas Kelalaian Panitia. Aku menghela nafas panjang, kutatap koordinator fakultasku. Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti. Kucoba meminta penjelasan darinya.
“Kita telat satu menit buka TPS Kak,” sahutnya dengan senyuman pahit. Aku membelalak tak percaya. Kubaca lagi tulisan itu, oh jadi itu maksudnya. Aku tertawa ngakak.
“Bilang ke mereka, 1 x 120 menit mereka telat membayar denda, saya masih setia menunggunya,” sahutku tersenyum manis meninggalkan TPS itu. Badanku mulai sempoyongan. Ya Allah, saya benar-benar lapar dan entah kenapa sepertinya hari ini saya ingin makan daging.

4.30.2012

Perpustakaan Pusat

Ia merogoh kantong jaketnya, lalu geleng-geleng kepala dengan paniknya. Sekarang tangannya bergerak lincah membuka tas, ia keluarkan satu per satu isinya, mulai dari tissue, botol air minum, payung. Ia berhenti sebentar, matanya terpaku pada sesuatu di dalam tas, tiba-tiba sepasang mata itu mengarah padaku. Sontak aku kaget dan segera mengalihkan pandangan. Mataku kembali fokus ke layar monitor komputer. Kulirik ia yang mengambil sesuatu dan ternyata handphone, lalu jemarinya menekan beberapa tombol. Beberapa saat kemudian, tangannya sudah berada di telinga, dia sepertinya mencoba menghubungi seseorang. Lalu, ia geleng-geleng kepala lagi dan kali ini menatap layar handphone-nya. Sekarang sepuluh jemari itu menekan tombol keyboard dengan kencang, lalu tangan kanan mulai menggunakan mouse, ia klik kanan, klik kiri, double klik, lalu berhenti tiba-tiba. Tangannya melepas semua barang elektronik itu. Mataku hijrah ke wajahnya, wajah itu mengernyit, ada beberapa lipatan di dahinya. Aku menghela nafas. “Butuh bantuan Mas,” tanyaku dengan senyuman biar ia tak sungkan. “oo..oo...” ia melirik sekelilingnya, lalu suara itu berbisik halus, “kau bisa menggunakan mac, saya tak mengerti, hehe,” katanya dengan muka merah. Aku mengangguk sambil menahan tawa. Hari ini kutemukan dua orang yang bernasib sama dengannya.

2.14.2012

Tong Sampah

Aku gigit bibir, sementara tanganku tak kuat menahan gemetar. Kuremukkan kertas di tanganku. Kujadikan ia seperti bola, belum, sungguh aku belum puas, kubuka kembali kertas itu. Mataku melotot sudah menatap tulisan di kertas itu.
Kali ini kurobek kertas itu, kurobek sekecil-kecilnya. Lalu kembali kukumpulkan.
Dengan muka garang aku berjalan ke tong sampah. Aku membuang semua kertas itu di sana, kulepaskan semua kekesalanku. Kutendang tong sampah itu. Aku balik badan dan bersiap2 melangkah. Tapi kudengar sebuah teriakan.
"Aku salah apa, aku salah apa. Aku sudah menampung semua sampahmu. Aku bersedia menerimanya dengan lapang dada. Aku salah apa manusia? Aku salah apa sampai kau tendang begitu?" pekiknya. Aku gigit bibir, lalu aku berbalik menatapnya, kubalas teriakan itu, "karena kau tong sampah! karena namamu tong sampah!" Kataku sambil tertunduk lemas, persendianku lemah. Aku terduduk dan memeluknya.

3.11.2011

Anak UI Makan Sekali Sehari

(Singgalang, Desember 2010)

KAMPUS Universitas Indonesia (UI) sedang ramai. Mahasiswa berlalu-lalang riang gembira. Tapi tidak dengan David. Lelaki ini sedang murung. Matanya yang cekung menatap koperasi mahasiswa yang menjual berbagai jenis makanan pengganjal perut. Dia merogoh sakunya. Ia segera menjauh dari tempat itu. Uangnya tak cukup. Ada yang ngilu di ulu hatinya. Ingin ia menangis, tapi dia lelaki, harapan kedua orangtua dan adik-adiknya.
Perutnya terus berbunyi dan meminta makanan. Ia sedang lapar. Teringat ia ayah dan bundanya di desa, teringat sungai besar yang berbatu-batu banyak, teringat banyak.
Ia terus melangkah menjauh dari koperasi, sembari menunduk. Inilah dia, David Welkinson, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang masih tetap semangat kuliah walaupun tak punya dana untuk biaya hidup sehari-hari.
David hanya makan sekali sehari, pas pukul tujuh malam tanpa sarapan pagi. Mungkin karena itu, ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Matanya yang cekung tak terlihat lagi. Badannya mulai berisi, karena pengaruh infus dan obat.
“Setiap hari, saya makan pakai tempe dan sayur, modalnya cuma Rp3000,” kata David di Jakarta, Rabu (22/12) Ia adalah tipikal anak Indonesia yang ingin menggapai masa depan seterang bintang di langit. Ia gayutkan cita-cita setinggi mungkin, ia tapaki hari-hari dengan kepala tegak. “Masa depan adalah sekarang,” bisiknya suatu kali.
Jika orang lain, setiap pekan bergegas ke ATM mengintim kiriman dari kampung, tidak dengan David. Ia mengaku tak dapat kiriman lagi dari orangtuanya. Terakhir, orang tuanya mengirimkan uang pada Januari 2010 sebesar Rp500 ribu untuk bayar kos.
Itu artinya setahun silam. Sejak itu, ia jadi anak alam, ditimang diayun nasib. Ia berbaur bersama puluhan ribu mahasiswa di universitas hebat itu. David adalah wajah Indonesia sesungguhnya.
Menurut dia, uang kiriman orangtuanya itu, merupakan hasil pinjaman orangtuanya ke tetangga. Tak bisa dilukiskan bagaimana susahnya orangtua David. Betapa mereka ingin agar anaknya kelak jadi orang.
Mendapat kiriman Rp500 ribu, bukan berarti, persoalan sudah selesai, sebab total uang kos yang harus dibayar Rp900 ribu. Untuk menutupi kekurangan, David meminjam kepada teman-temannya yang mampu dan belum diganti sampai sekarang.
“Pinjaman itu belum saya ganti juga,” kata dia.
Untuk makan sehari-hari, David kadang menjual donat di kampus, keuntungannya sekitar Rp10 ribu, itu pun kalau habis semua. Namun, sering tak habis dan terkadang juga rugi. David pun patah semangat dan mencoba untuk mengajar. Sampai sekarang belum ada tawaran untuk itu. Tidak ada panggilan dari tempat kursusnya.
“Saya berusaha mencari pekerjaan sambilan di sana-sini untuk menutupi biaya hidup saya. Kalau tak ada duit, saya pinjam teman, alhamdulillah mereka selalu membantu,” kata dia sambil memegang buku. Laki-laki ini memang terkenal pintar, IP nya selalu di atas 3,5. Dia tak ikut organisasi ataupun kepanitiaan kampus apapun, karena harus bermodalkan pulsa dan ujung-ujungnya lagi adalah duit. Namun, waktu SMA, laki-laki yang memiliki tinggi 155 ini pernah menjadi ketua OSIS.
Selain itu, karena terkenal pintar, David diandalkan oleh teman-temannya untuk belajar bersama untuk persiapan ujian. David dengan senang hati menjelaskan mata kuliah yang sulit kepada teman-temannya. Pernah juga, ia diminta untuk membuat makalah UAS temannya. Sebenarnya, ia tidak menyukai tindakan itu, namun karena dibayar Rp100.000 dan ia menyetujuinya. “Mungkin bagi sebagian orang ini perbuatan yang salah. tapi, berhubung saya tak punya duit dan itu tawaran menggiurkan, saya menerimanya.”
Cobaan yang dihadapinya tak sampai di sana. David masuk UI melalui jalur Kerja Sama Daerah dan Industri (KSDI) berasal dari salah satu provinsi. “Jangan tulis darimana saya berasal,” kata dia.
Sebenarnya, biaya kuliah dan biaya hidup David ditanggung pemerintah daerahnya. Tapi, dana dari pemerintah juga masih terbatas, sampai sekarang David harus bayar kuliahnya sendiri. Karena melalui jalur KSDI, ia tak bisa dapat beasiswa dari UI. Awal semester 5 ini, dia harus membayar uang kuliah sebanyak Rp10 juta. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk biaya hidup saja ia sudah susah. Bahkan belakangan ia sering puasa.
Ia mencoba kembali minta bantuan ke daerahnya, tapi tak kunjung dibantu. Lalu, ia menceritakan masalah ini kepada teman-temannya jurusan Ilmu Komunikasi UI. Mahasiswa Komunikasi UI mengumpulkan duit dan akhirnya terkumpul duit sebanyak Rp10 juta dan kuliahnya masih lanjut sampai sekarang.
David menatap keramaian kantin. Badannya kembali lemas, ingin rasanya makan di sana, namun apa boleh buat tak ada uang. Ini bukan kali pertama ia merasakan lapar. Hampir tiap hari. Ia kembali mencoba melawannya. Waktu dulu, mungkin sempat terpikir untuk bunuh diri, mengakhiri semuanya karena tak mampu lagi menerima cobaan ini. Namun, ia selalu menepis hal itu. Baginya, adik-adik, ibu, ayah di rumah, selalu menantikan berharap perubahan hidup yang lebih baik di masa depan. Dan itu semua dimulai dari David, anak pertama dari 5 bersaudara. Keluargalah penyemangat hidupnya. Dan dia benar-benar yakin, selalu ada celah dari Allah untuk membantu hambaNya. Mana tahu di antara Anda ada yang berminat membantu.

Dan

"Dan!!!”

Dia berlari kencang menelusuri ruang tamu yang cukup besar. Batinku benar-benar mengutuk. Tanpa pkir panjang lagi, aku mengejarnya. Tak peduli, vas bunga yang baru dibeli mama yang terjatuh di senggolnya. Tak peduli, kakiku yang terinjak duri sekali pun. Yang ada dipikiranku, dia harus segera kutangkap. Dia harus segera kuhukum. Kalau tidak, ia makin leluasa di rumah ini.

Tak ada persembunyian di ruang tamu, ia lari ke pekarangan rumah dan dengan gesitnya ia berlari menginjak bunga adelwisku. Darahku semakin menggelegak, tubuhku bergetar. “dasar sial kau!” pekikku. Aku berhenti sejenak melihat bunga yang paling kusayangi itu. Bunga itu pemberian Vidi, mantan pacarku. Mataku semakin panas.

Kembali kucari Dan, tak kudapati lagi dia di pekarangan rumah, kulirik ke arah beranda juga tak ada. Kemana ia? Aku mencari-cari tempat persembunyiannya, di belakang pohonkah? O ow, juga tak ada di sana. bagaimana pun, hari ini aku harus menghukumnya. Segera kucari di dalm rumah.

“Dan keluar!,” teriakku memasuki dapur. Namun, lagi-lagi tak kutemui siapa pun di sini. Kucoba mencarinya di belakang kulkas. Tak ada, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku segera berjalan cepat menuju ruang makan, tak ada, yang kulihat hanya pembantu yang sedang merapikan meja setelah makan siang tadi.

“Bik, liat Dan lewat sini nggak?” tanyaku sedikit ngos-ngosan karena capek mengejar dan. Si bibik gelelng-geleng kepala, isyarat bahwa Dan juga tidak ada di sini. Aku pun mulai berhenti berjalan, mencoba berpikir dimana Dan berada. Mataku mulai memperhatika pelosok rumahku. Di pekarangan tidak ada, di dapur juga tak kutemukan, dan begitu juga di ruang makan. Apa mungkin di kamarku? Mustahil, aku sudah mengunci pintu dan jendelaku rapat-rapat. Lalu, dimana Dan bisa kutemukan? Aku mencoba memutar otakku, ups yah! Hanya satu tempat itu yang mungkin.

Aku menuju ruang tamu, aku mengulum senyum. Hanya ini tempat bermainnya selain tiga tempat tadi. Dan ternyata, aku benar. Ia sedang disuapi makanan oleh mamaku. Aku berjalan pelan ingin menangkapnya.

“Ada apa sayang?” Mama menyapaku dengan lembut. Dan kaget setelah melihatku dan segera memeluk mamaku. Mama segera mengendongnya. Aku meringis marah. Dasar manja!

“Ia sudah menuangkan cat ke lukisanku Ma,”kataku berang. Mama malah mengelus-elusnya.

“Dia masih kecil sayang, dia belum begitu mengerti dengan apa yang kau kerjakan, maafkanlah dia,” jawab Mamaku masih mengelusnya lembut.

“Tetap saja dia harus dihukum,” sahutku ingin segera mengambilnya dari pangkuan Mama. Mama mengelak.

“Mama serahkan dia padaku,” pintakku dengan semangat empat lima. Tanganku sudah bergetar ingin menghukumnya.

“Ngeong,” Dan menggubris. Tiba-tiba bel berbunyi.