“Coba baca lagi kalimatnya,”
“Isi dalam media kampanye di luar tanggung jawab PEMIRA”
“Wah, kayaknya aneh deh,”
“Aneh dimana?”
“Eh pulang yuk,”
“Ah gue juga nggak tahu,”
“Aduh, gue pusing”
“Hah, gue bikin strategi
komunikasi aja,”
“Gue main bola aja”
“Lo masih kuat duduk Man?”
“Dikuat-kuatin”
“Maksud gue ini lo Be”
“Heh, besok gue pinjam kipas ke
BAK deh”
“HEH DIAM!”
Semuanya
terdiam, beberapa detik masih kudengar detak jarum jam dinding yang menemani
kami. Kami saling melirik dan menatap salah seorang staf ahli hukum yang tadi
berteriak. Mukanya mulai merah, entah kecapean, entah menahan sakit. Sesekali
kepalanya menengadah ke atas, dia mengangkat kedua tangannya. Pelan-pelan ditutupnya
matanya, lalu sebuah kalimat yang mungkin tak pernah kami lupa keluar dari
mulutnya.
“Tolong Baim Ya Allah,” katanya
polos.
Sedetik, dua detik, kami saling
melirik dan dalam hitungan satu, dua tiga.
“Hahahaha,” semua tertawa, entah
karena saking lucunya, entah karena saking stresnya.
“Haha, mulai hari ini gue panggil
lo Baim”
“Gue mau muntah,”
“Gue mau tidur”
“Saya mau main bola,” sahut Agus,
penanggung Jawab Kampanye. Kami meliriknya, dia memainkan bola pimpong yang
entah dimana didapatnya. Lalu dia menyelutuk sendiri. Lagi-lagi tawa pecah di
ruangan ini.
Qibe, stah ahli hukum yang kedua,
masih berpikir, sesekali dia
mengacak-acak rambutnya. Dia yang diandalkan untuk menuangkan kata per kata ke
peraturan Panitia PEMIRA itu. Sekarang, Qibe sedang menghela nafas panjang. Si
Bos sedang memainkan pulpen di kertas, berharap sebuah ilham tertuang ke kertas
itu. Hana masih sibuk dengan hape nya. Si Baim lagi-lagi menengadah.
Jam dinding sudah menunjukkan
pukul 12, anjing yang entah darimana menggonggong menemani kami yang sedang
membuat pasal per pasal untuk peraturan panitia PEMIRA. Dalam tiap pasal pun
ada beberapa ayat. Ada sekitar 75 pasal yang akan kami buat. Untuk satu ayat
saja, kami harus mengunyah-ngunyahnya minimal lima belas menit.
“Ya kalimat ini aneh, tapi gue
nggak tau dimananya” kata Baim, lagi-lagi kami tertawa, dari tadi kami
menyadari kalimat ini aneh.
“Materi bukan sih?” sahut si Bos.
“Yuhu, materi kampanye,” sahut
Qibe seakan-akan baru dirasuki sesuatu oleh malaikat. Mereka kembali
bersemangat, ribut lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Nyerah deh buat urusan
yang satu ini.
No comments:
Post a Comment