4.29.2014

Galau dan Social Media

Terkadang aku sering berpikir saat umurku 20-25 tahun, di masa-masa saat rasa itu menggelora, apa jadinya kalau tak ada social media? Setiap orang kulihat sibuk dengan melempar kode, ada juga yang berusaha memperlihatkan 'mau' tanpa malu-malu di publik. Putus sudah urat malu diumur segini.

Galau menjadi jualan yang paling laku saat ini. Galau menikah menjadi bahasan umum, tak tabu lagi. Hilang kesakralan kata 'menikah' oleh kemauan yang menggelora di jiwa dan disalurkan melalui kata-kata. 

Yang lebih kutakutkan lagi, kegalauan itu tentu saja hinggap pada ia yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia belum selesai dengan dirinya dan mempersilahkan orang lain memasuki hidupnya. Tebak saja apa yang terjadi? cerai, salah pilih, dan mungkin berharap suami bisa ditukar,dan ini fakta yang kutemui di lapangan. Mereka berpikir menikah menyelesaikan masalahnya, padahal masalah itu pada dirinya. Mungkin saja menikah jadi malapetaka karena ia yang tak pernah sadar belum selesai dengan dirinya sendiri.  

Apa jadinya kita tanpa social media? Jangan-jangan benar tanpa social media, potensi galau terhambat, tak tersalurkan. Galau menjadi barang langka karena tak ada komunitas, tak ada kawan sepenanggungan galau. Sehingga tertahan rasa yang menggebu-gebu itu dan akhirnya hijrah ke prestasi-prestasi lain. Menyibukkan diri dengan hal berarti sembari terus memperbaiki diri.

Namun, social media tetaplah social media, ia hanya sebuah benda yang sebetulnya dapat kita kontrol, begitu pun dengan perasaan itu. Tenang saja, sudah dicatat di lauhul ma'fudzh :)

4.28.2014

Bahumu Sungguh Mulia

Setahun ini saya menemukan orang-orang baru dengan berbagai tipe, dan menarik perhatian. Ada yg menarik hati, menginspirasi, membuat terpana. Namun tak jarang juga malah menyebalkan, menyakitkan hati, dan membuncah amarah di dada. Sesekali kadang ingin saya lemparkan sepatu saya kepada narasumber. Semua perasaan itu pun akhirnya saya tahan, saya tepis agar tetap objektif dalam memandang sesuatu. Karena takut perasaan ini akan membuat tulisan yg dikabarkan ini menjadi kabur informasi, dan jangan sampai malah diperkaya framing diri saya.

Menjadi jurnalis membuat saya harus mengontrol diri, berhati-hati, dan selalu menyisakan ruang keragu-raguan. Tak pernah saya pastikan diri saya 100% benar karena selalu ada celah dari omongan narasumber, saya bukan kader yang taklid buta. Saya tak pernah menerapkan motto "saya dengar dan saya taat," saat berpetualang menjadi jurnalis ini.

Maka jangan heran, jurnalis jadi mempunyai banyak cerita yang mungkin terlalu malas untuk saya tampung di diary karena sepanjang hari saya sudah menulis. Jadilah saya berbagi kepada orang yang saya percaya, yang selalu bersedia meminjamkan bahunya.

Semoga ia yang selalu ada di masa sulitku, kemudahan Allah padamu. Allah sungguh tahu kualitasmu :)

Terimakasih

Setahun yang lalu masih tersimpan di memoriku, berada di meja ini. Disambut oleh 2 orang berparas serius, yang satu seorang wanita dengan umur yang mungkin sekitar 40 tahun, tetapi dipoles dengan make up dan rambut yang sangat rapih. Paling menarik bagiku bukan wajahnya yang cantik itu tetapi dari sorot matanya. Kutemukan  kecerdasan yang ditutupi oleh kacamata itu. Begitu juga dengan pria di sebelahnya yang sepertinya sudah paruh baya. Bedanya jika perempuan ini dengan badan yang profesional, pria di sebelahnya agar berbadan, dengan pipi cembung.

Dua orang ini mengenalkan diri, yang pada akhirnya kupanggil Mbak Retha dan Mas Bagus, tanpa banyak ramah tamah. Aku pun mencari posisi nyama dalam duduk, interview pun dimulai. Satu-satunya interview yang aku penuhi setelah Papa tiada 2 bulan yang lalu. Aku kehilangan arah dan butuh teman mengobrol.

"Jadi, menurutmu K ini apa?" tanyanya dengan wajah mendekatiku. Aku menatap mereka berdua satu per satu dan tersenyum.

"Aku tak tahu, tapi ini pastinya media bisnis dan investasi, itu tulisan yang kulihat di papan gedung ini," kataku tanpa pikir panjang, sekenanya.

"HAH? Jangan bilang kamu gak pernah baca K?" tanyanya padaku. Aku mengangguk setuju, tak perlu kujawab pertanyaannya.

"Mi, ini kali pertama saya wawancara dan yang diwawancarai gak pernah baca medianya, harusnya kamu siapkan," katanya. Aku pun tertawa saja dan bilang aku baca online dari media ini dan aku cukup tak mengerti dengan deretan angkanya.

"Maksudmu kamu tak tahu KONTAN? Lalu kenapa kamu ke sini?" tanya mereka serius, entah tertarik melihatku, entah tidak. Aku pun tanpa banyak basa-basi bercerita ingin memasuki sebuah media politik, namun tak jadi kuikuti tes gara-gara aku bingung harus kerja dimana setelah Papa tiada. Pas hari tes pun pun aku terlanjur menerima project menjadi pembicara topik pembuatan press release di luar kota. Dua orang di depanku hanya bisa menarik nafas mendengarkan ceritaku.

"Entahlah, aku sekarang hanya berpikir harus ambil sebuah media yang lepas dari politik, mungkin aku sudah terlalu capek dengan politik. Aku di sini mau belajar feature, lalu setelah itu aku mau S2," kataku lepas, sungguh tak peduli apa yang ada di pikiran mereka.

"Kenapa kamu mau jadi jurnalis?" tanya Mas Bagus kali ini, dua pasang mata itu menatapku serius. Aku menarik nafas dalam-dalam. Nah, ini yang pertanyaan yang aku tunggu.

"Dengan menulis aku bisa mengubah kebijakan," kataku simpel lalu mengingat sebuah kasus yang menimpaku di UI sana.

"Kebijakan seperti apa yang bisa kamu ubah?"  tanya Mas Bagus itu tampak tertarik atau malah menahan tawa karena mukanya tampak tersenyum.

"Ya, satu tulisanku pernah mengubah sebuah kebijakan di UI, dan kenapa tidak dengan 1 tulisan lagi saja untuk mengubah Indonesia," jawabku lalu mereka pun memintaku bercerita tentang kasus itu. Tampak histeris, sebuah kasus yang sebenarnya enggan kuceritakan pada siapapun, satu-satunya kasus yang membuatku minta ke Tuhan, "semoga pesawat yang kutumpangi esok ke rumah meledak saja." Dan entah kenapa, hari ini kasus tulisan itu dengan lancarnya kuceritakan, lengkap dengan Rektor UI yang memintaku ketemu, lengkap dengan tekanan dari Mahalum UI. Lengkap dengan seluruh Dosen Komunikasi berbaik hati melindungiku dan malah mengapresiasiaku. Dan lalu terngiang David dengan tulisan itu, biaya kuliahnya akhirnya dibantu seorang dosen dari FE UI.

Dan tentu saja itu menjual untuk wawancara. Sebuah media siar saja sudah minta aku tanda tangan kontrak, aku menolak dengan berbagai pertimbangan. Mbak Retha langsung mengambil kertas. Ia menandatangani sesuatu. Aku meliriknya dengan senyum yang masih jual mahal. Sungguh aku tak tahu ini media apa, aku tak pernah membacanya, aku cuma tahu dari seorang teman media ini manajemennya cukup bagus untuk belajar. Dan tak ada politik lagi, hanya bercerita tentang ekonomi dan bisnis.

"Kamu suka ekonomi?" katanya, aku menarik nafas dalam terngiang dengan doaku dikala maba semoga dijauhi dari apapun yang berbau ekonomi. dari tadi aku jujur saat wawancara ini, karena jurnalis harus jujur, aku tidak akan memulai semua ini dari kebohongan.

"Aku suka matematika, dulu matematikaku terbaik di SMP. Logika bagus," kataku tenang, sangat tenang.

"Kamu bakal bertahan berapa tahun di sini, jangan-jangan cuma beberapa bulan dan memilih S2?" tanya Mbak Retha menatapku tajam. Aku menahan senyum, ini kode.

"Setahun atau 2 tahun, aku butuh pengalaman kerja. Aku keluar dari sini langsung S2," jawabku sambil menghela nafas.

"Mau jadi apa?" tanya Mas Bagus mulai cair.

"Mau jadi dosen, kurasa K tentu akan bangga kuceritakan tentang perjuanganku menjadi jurnalis di sini kepada mahasiswaku kelak," kataku sambil tertawa.

"Minggu depan bisa masuk?" kata Mbak Retha.

"Tidak bisa," jawabku cepat.

"kenapa?" tanya Mbak Retha.

"Aku hendak menemui Ibuku dulu ke Padang, bulan depan saja," pintaku tak memikirkan efek apapun.

Wawancara selesai, aku turuni satu per satu anak tangga, kutatap beberapa jurnalis yang sibuk dengan komputer dan juga telpon mereka. Aku menarik nafas panjang. Aku tak tahu media ini apa. aku tak peduli mau diterima atau tidak. Ini kali pertama aku wawancara ngomong semauku, minim dengan memasarkan diri. Bodoh amat dengan hasilnya. Aku sebetulnya hanya butuh teman mengobrol, syukur-syukur aku ditarik ke media ini.

Saat ini baru kutahu, menelpon narasumber Menteri, Wakil Menteri, Dirjen, Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan berbagai narasumber kelas atas itu baru bilang, "Saya Mimi Pak, dari Tabloid K." Mereka langsung menyambutnya dengan teriakan ramah dan tak jarang mengajakku makan bareng bercerita banyak hal.

Sekarang di meja ini, Mas Wawan, Redakturku di Tabloid K bercerita lengkap dengan angka-angka penilaianku. Aku menahan tangis karena haru. Karena hari ini, aku diijinkan secara resmi menjadi bagian dari K. Menjadi bagian dari orang-orang keren, semoga percikan keren itu terus-terusan mengalir padaku. Terimakasih KONTAN :)