4.16.2013

Awan Merah versus Awan Hitam

Kembali aku bersimpuh menatap awan lagi lewat jendela ini Papa. Rutinitas yang kulakukan waktu kecil saat menemanimu membersihkan kebun Pa. Alangkah senangnya berimajinasi dengan berbagai bentuk awan, dan merangkainya dalam sebuah cerita. Seringkali kutemukan tokoh-tokoh imajinasiku di sana. ada setan berbentuk kadal besar, ada malaikat bersayap. Kadang kutemukan juga keluarga kita di sana lengkap, tanpa cacat.
Namun, hari ini saat berniat merangkai awannya, aku sudah dibuat terpesona Pa. Semburat matahari yang malu-malu itu berhasil membuat awannya memerah. Indahnya Pa, mungkin seindah pipi wanita yang memerah di saat malu-malu. Aku sering menamakan awan seperti ini dengan Humaira, sambil membayangkan wajah 'Aisyah yg selalu dipuji Rasulullah SAW. Indah betul awan ini Pa, apalagi cuma dia yang beruntung, Aku yakin sekali Pa, awan-awan hitam yang menjelang senja pasti cemburu ke awan merah ini. Siapa pula yang tiada terpesona dengan awan merah ini Pa, ia idaman mata memandang. Awan hitam pun kutinggalkan.
Semburat merahnya lama-lama menyinari awan yang hitam pula, membuat awan hitam itu ikut menjadi merah. Semakin indah, tapi oh tidak Pa. Lama-lama si awan merah ini mendominasi, tiiada bagus lagi, semua sama-sama merah. Awan merah tadi cantik karena ia sedikit, sekarang tak istimewa lagi. Mataku malah beralih ke awan hitam yang sekarang menjadi kaum minoritas. Awan hitam ini membuatku takjub, ia tetap bertahan dengan kehitamannya Pa. Dan lihatlah sekarang, ia yang terlihat spesial. Kalau begitu, aku pilih si hitam saja ya Pa.