6.12.2014

Dunia Milik Dua Tetua

Hari ini kembali menaiki kereta api dari Pondok Cina menuju Tanah Abang, lalu dengan sabarnya menyambung kembali kereta dari Tanah Abang menuju Serpong, rutinitas tiap hari. Awalnya bosan, namun dalam kebosanan itu selalu kutemukan cara untuk menikmatinya. 

Inilah dia tatapan sekilasku, di kereta menuju Serpong aku melihat sepasang manusia yang membuatku takjub, berdiri memojok di dekat kursi prioritas. Yang laki tangan kirinya memegang buku dan handphone yang tersambung pada powerbank dan yang wanita memegang tas hitam dari sebuah brand terkenal. Hebatnya tiada handphone yang menyibukkan mereka. Mereka bersandar ke badan kereta dan saling memandang dan bercerita tentang keluarga, rumah, anak mereka, dll.

Ini mungkin hal biasa jika terjadi pada remaja tanggung yang sedang di mabuk cinta. Tetapi ini, adalah 2 orang tua yang berumur kira-kira 50-an saling bersitatap penuh cinta dalam jarak private mereka. Mereka tak mempedulikan lalu lalang manusia, tak peduli deringan handphone, dan tak peduli dengan aku yang daritadi curi-curi pandang pada mereka. Bagi mereka dunia ini milik berdua. Wajar kan ya, aku cemburu pada dua tetua ini :) 

5.11.2014

Teruslah Bergoyang Ilalang-Ilalang

Ilalang-ilalang, teruslah bergoyang menemani pejalan kaki yang selalu menikmati goyanganmu. Ilalang, teruslah berdiri tegak bersama-sama memangku nasib, saling berbagi.

Jangan sesekali kau malu diri, sungguh kau bukan tercampakkan. Kau juga bukan tak diinginkan sehingga kau tak dibawa pulang. Bukan pula kau rendahan sehingga tempatmu selalu diinjak.

Ilalang, jangan sesekali membandingkan diri dengan yang lain. Bukan karena kau tak dipilih, hanya saja saat ini mungkin tempat terbaikmu ada di situ. Dan biarlah orang yang tepat yang membawamu pulang. Ssst, jangan kau goyah oleh terpaan badai. 

Jika engkau marah, maafkanlah kelancangan pejalan kaki yang sungguh tak sengaja. Karena sebetulnya pejalan kaki memulai langkahnya dari rumah ke tempat yang ia tuju, di jalan ketemu denganmu. Sudahilah amarahmu, marilah tetap bersahabat :) 

5.03.2014

Dari Hatiku ke Hatimu


Terkenang masa lalu, saat kelas 3 SMA. Percakapan penting dengan Papa, aku memilih jalan hidupku, ingin menjadi bidan sambil mengajar di sebuah kampus. Kuutarakan kemauanku. "Mi kuliah di Akbid ya Pa," pintaku duduk di sebelah beliau yang sedang berpacaran dengan bukunya. Hari-hari beliau dengan pensil, penggaris, dan buku tebal tentang berbagai sejarah Minangkabau.

Mendengar pintaku, ia menarok buku, pensil, dan penggarisnya. Di balik kaca mata itu, ia menatapku. "Bukannya itu pekerjaan kotor, kenapa kamu mengambil sesuatu dari tempat yang kotor, berdarah-darah Nak, mending jadi dokter," sahut Papa. Aku tergelak, sudah sangka jawabannya tak ada unsur penolakan. Orang tuaku terlalu demokratis, ia selalu memberi beberapa pilihan.

 "Jadi dokter itu duitnya banyak Papa, lalu juga hapalannya terlalu banyak, gak fokus. Mending ahli di satu bidang saja. Kelihatannya bidan itu menyambut sesuatu dari tempat yang kotor, tapi Papa tahukah kalau anak itu berasalnya dari surga. Dan Bidan diberi keutamaan oleh Allah untuk menyambut sesuatu dari surga itu, aku yang menyambut malaikat kecil yang pertama kali melihat dunia, bukankah itu sesuatu yang luar biasa?" tanyaku dengan semangat.

Ayahku tersenyum, ia tahu sudah kalah dalam diskusi ini. Dan memang ini bukan debat, ia tersenyum manis dengan kumisnya. Lalu beliau mengangguk setuju dengan pilihan dan argumenku. Aku menatapnya penuh cinta. Ayahku lelaki paling keras yang kukenal, tetapi selalu bisa kutaklukkan. Sesuatu yang berasal dari hati akan diterima oleh hati :)

5.02.2014

Ratapan Itu Kadang Dibutuhkan Wahai Spiderman

Malam ini menonton Spiderman dan mendapati pesan moral yang sangat berharga. Dibalik sosok yang sepertinya luar biasa ternyata seringkali mendapati dirinya rapuh karena pengalaman masa lalu.

Dan jika Spiderman seringkali meratapi masa lalunya dan menemukan jawabannya. Kalau aku malah menertawai masa laluku, enggan sekali meratapinya, herannya sampai sekarang tak kutemukan jawabannya. Mungkin sesekali aku butuh meratap.

Jangan berkecil hati wahai Spiderman karena kamu punya masa lalu yang bisa kamu ceritakan banggakan pada siapapun :)

Curhat Jurnalis: Bapak Sudah di Dalam

Ayam jantan berkokok di sebelahku, tiap mataku nyala, tiap suara itu pula bersikukuh mengeluarkan lengkingan suaranya. Ini bukan ayam jadi-jadian, tapi suara ponselku yang menirukan suara ayam kampung. Sudah beberapa kali aku berdesis tak jelas, bahkan mengamuk-ngamuk menatap ponsel itu, kutatap ia ibarat menatap Mama yang dulu pas di Batusangkar membangunkanku dikala subuh. Siap-siap kutekan tombol dismiss, males-malesan kutatap layarnya.

Jeng jeng, angka di layar itu yang terang menghilangkan kantuk, aku membelalak. Tanpa hitungan 1,2, dan 3 aku sudah di kamar mandi. Mati aku! mati sudah! Bentar lagi benar-benar layak dipecat.  Aku harus mengejar salah satu Menteri yang pukul 8 pagi ada acara di JCC. Sekarang sudah pukul 6, posisiku di Depok.

Aku segera mandi, justru waktuku termakan lama untuk make up ala humas. Bukan untuk tebar pesona karena hari ini banyak pejabat yang datang dari wapres, menteri sampai dirjennya. Lebih kepada pencitraan positif bahwa jurnalis cetak itu gak kotor-kotor amat dan gak miskin-miskin amat, haha.  Mungkin bagi jurnalis cetak yang lain, berdandan bukan hal penting, toh tak diikuti kamera juga. Namun, bagiku penying sebagai alumnus jurnalisme siar, setidaknya ini sisa-sisa anak siar-ku. Kita tak pernah tau akan ketemu siapa, dan terlebih lagi menghagai narsum dengan pakaian rapih tiada ruginya. Apalagi jika kita butuhkan wawancara eksklusif.

Pukul 6.45, kembali aku mengeluh menatap kebuasan kereta terutama di gerbang cewek. Ujian di pagi hari, kereta yang menjadikanku gadis kayangan, susah sekali menginjak lantai. Dan badan kurus yang bisa diselipin kemana-mana.  Namun apa boleh buat, ini pilihan satu-satunya. Aku menyatu berdesak-desakan dengan Ibu-Ibu sembari menghitung detik, menahan nafas, perut sakit. Aku tahan, salah sendiri baru bangun!

Sesampai di stasiun Sudirman, segera kunaiki ojek, kali ini tanpa tawar-menawar langsung tancap gas menuju JCC. Dan oow, sampailah aku pukul 08.30 pagi. Jarum jam di ponsel lengkap dengan wallpaper emote tawa seakan-akan menertawai keterlambatanku.

Tak banyak orang yang seliweran di hall besar ini. Aku menghembuskan nafas, mengatur mimik yang manis dan menuju meja panitia, mengisi registrasi. Panitia menunjukan pintu masuk, aku mengangguk sembari memperbaiki jilbab. "Permisi saya mau masuk," kataku sekenanya ke seseorang yang berpakaian batik rapi di depan pintu masuk. Namun, Mas berbadan tegap itu mengembangkan tangannya, aku refleks berhenti di tempat dan membelalak padanya, apa-apaan ini!

"Maaf Mbak, Bapak sudah di dalam," katanya dengan nada yg halus tapi tegas. Diikuti anggukan sopan dan senyum mengembang. Aku melongo sebentar. Lalu kujelaskan panitia di meja registrasi yang menyuruhku lewat pintu ini. Kuperlihatkan kartu pers-ku untuk meyakinkannya.

Mas di depanku itu, tersenyum sopan lagi dengan ekspresi sedang, seakan-akan ia menjaga pencitraannya di depanku. Aku makin aneh menatapnya, jarang-jarang ada panitia sesopan ini betul. Aku pun melirik Ibu di sebelahku juga mau masuk  dan menunggu ikut jawaban. "Begini Mbak, kalau biasanya Bapak sudah masuk, gak ada lagi yg boleh masuk," kata si Mas nya sopan. "Bapak?" Aku berpikir sebentar. "Hmm, Pak Boediono maksudnya?" Kataku memiringkan muka ke wajahnya kembali menatapnya tanpa ekspresi dan lagi-lagi ia jawab dengan senyum.

"Oo kalau si  Jo ada gak?" Tanyaku menanyakan keberadaan menteri, satu-satunya yg jadi incaranku hari ini, titipan si Bos. Mas itu tampak mengernyitkan dahi. "Maksud Mbak Pak Menteri, beliau tidak hadir, beliau digantikan Pak Wamen," jawabnya. Aku mengangguk-angguk.

"Ooo, tapi aneh loh ini Mas, panitia sebelah sana mengizinkan saya masuk, kok Mas gak ngijinin?" Aku masih coba mencari-cari celah, kalau ada statement wapres atau wamen yang oke dan tidak aku liput, bisa mati aku.

"Coba saya tanyakan ke panitianya ya," katanya. Aku mwnghebuskan nafas, dari tadi harusnya, masa dia lapor dulu ke aku lalu baru ke meja panitia. Lelet betul jadi panitia. Aku berdiri sambil menyilangkan tangan di dada pertanda tak sabar.

"Maaf Mbak, memang tidak diijinkan masuk. Kalau Mbak saya ijinkan, tentu saya juga harus mengijinkan orang2 yg ngati di belakang Mbak juga, saya harus adil," jelasnya ditutupi senyum lagi. Aku melongo lagi. Gak layak juga Mas ini aku suruh ke sana-kemari lagi. Aku pasang muka datar saja, lalu dengan wajah kecewa meninggalkannya. Diiringi curhatanku, trik terakhir yang sering menjadi andalan meluluhkan seseorang. "Begini Mas, saya ini haru meliput ke sini kalau tidak saya bisa dimarahi kantor, saya mesti gimana?" mukaku memelas, berharap belas kasihan.

Mas nya tampak berpikir, dia menatap wajahku yg tragis. "Mbak gak ada temannya di dalam?" Katanya. Aku menghela nafas panjang dengan menggeleng, lalu capek berekspresi dan laper memilih balik kanan dan mencari roti. Sungguh panitia tak becus begitu, bikin kepala pusing. Aku menyatu dengan beberapa  wartawan lain, Mas-Mas, yang bernasib sama denganku.

Baru mengambil secangkir teh , tiba-tiba seseorang memanggilku. Aku menatap si Mas-nya, dia mengisyaratkan aku boleh masuk. Air mukaku langsung berubah, setengah berlari ke arahnya. "Silahkan masuk Mbak," katanya dengan senyum mengembang. Aku melongo lagi, dan kali ini membalasnya dengan senyuman manis. Aku mengangguk dan teriak ke jurnalis lain yg telat. "Mas ayok masuk, boleh masuk nih," teriakku.

"Eh eh, jangan dipanggil, Mbak aja yg boleh, nanti saya dimarahi," katanya panik.

"Eh iya, maaf, maaf, terimakasih ya Mas," kataku sambil membungkukkan badan. Lalu mulai masuk ke lorong gelap itu.Tas-ku diperiksa. Aku memasang senyum ramah ke panitianya, tak satu pun yg membalas senyumku, songong banget dan sangat dingin. Kembali kucoba menyapa Bapak-Bapak yg lain, pandangan mereka sungguh kaku dan lebih tepat kusebut 'menyeramkan.'

Kutatap si Mas tadi, dia tetap tersenyum ke arahku. Dan herannya cuma dia yang paling ramah di sini. Aku menuju pintu berhenti melangkah, kulirik Mas yg senyum kepadaku itu. Kutatap nametag-nya, Ya Allah... "PASPAMPRES." Kali ini aku melongo menatapnya walaupun ia tak tersenyum lagi. Peluh dingin sekujur tubuhku. Kupaksa kakiku membuka pintu. Duh, Mi!


Terbang Tinggi

Bukan terbang yang kutakutkan tetapi terbang tanpa sayap. Bukan jatuh yang kutakutkan, tetapi perih setelah jatuh. Bukan patah yang kutakutkan tetapi sakit meregang nyawa.

Namun apalah daya, sekalinya terbang terlalu tinggi, lalu jatuh mencaci maki, berakhir pada patah tak kira-kira. Herannya dikasih jatah lagi terbang tinggi, mengudara sebebas-bebas diri.

Entah esok jatuh lagi, entah esok patah lagi. Entahlah. Barangkali hidup memang tentang terbang, jatuh, dan patah sendi. Dan tentu ada peta yang paling tepat mengantarkan ke tempat berlabuhnya.

Mari dinikmati saja :)

4.29.2014

Galau dan Social Media

Terkadang aku sering berpikir saat umurku 20-25 tahun, di masa-masa saat rasa itu menggelora, apa jadinya kalau tak ada social media? Setiap orang kulihat sibuk dengan melempar kode, ada juga yang berusaha memperlihatkan 'mau' tanpa malu-malu di publik. Putus sudah urat malu diumur segini.

Galau menjadi jualan yang paling laku saat ini. Galau menikah menjadi bahasan umum, tak tabu lagi. Hilang kesakralan kata 'menikah' oleh kemauan yang menggelora di jiwa dan disalurkan melalui kata-kata. 

Yang lebih kutakutkan lagi, kegalauan itu tentu saja hinggap pada ia yang belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia belum selesai dengan dirinya dan mempersilahkan orang lain memasuki hidupnya. Tebak saja apa yang terjadi? cerai, salah pilih, dan mungkin berharap suami bisa ditukar,dan ini fakta yang kutemui di lapangan. Mereka berpikir menikah menyelesaikan masalahnya, padahal masalah itu pada dirinya. Mungkin saja menikah jadi malapetaka karena ia yang tak pernah sadar belum selesai dengan dirinya sendiri.  

Apa jadinya kita tanpa social media? Jangan-jangan benar tanpa social media, potensi galau terhambat, tak tersalurkan. Galau menjadi barang langka karena tak ada komunitas, tak ada kawan sepenanggungan galau. Sehingga tertahan rasa yang menggebu-gebu itu dan akhirnya hijrah ke prestasi-prestasi lain. Menyibukkan diri dengan hal berarti sembari terus memperbaiki diri.

Namun, social media tetaplah social media, ia hanya sebuah benda yang sebetulnya dapat kita kontrol, begitu pun dengan perasaan itu. Tenang saja, sudah dicatat di lauhul ma'fudzh :)

4.28.2014

Bahumu Sungguh Mulia

Setahun ini saya menemukan orang-orang baru dengan berbagai tipe, dan menarik perhatian. Ada yg menarik hati, menginspirasi, membuat terpana. Namun tak jarang juga malah menyebalkan, menyakitkan hati, dan membuncah amarah di dada. Sesekali kadang ingin saya lemparkan sepatu saya kepada narasumber. Semua perasaan itu pun akhirnya saya tahan, saya tepis agar tetap objektif dalam memandang sesuatu. Karena takut perasaan ini akan membuat tulisan yg dikabarkan ini menjadi kabur informasi, dan jangan sampai malah diperkaya framing diri saya.

Menjadi jurnalis membuat saya harus mengontrol diri, berhati-hati, dan selalu menyisakan ruang keragu-raguan. Tak pernah saya pastikan diri saya 100% benar karena selalu ada celah dari omongan narasumber, saya bukan kader yang taklid buta. Saya tak pernah menerapkan motto "saya dengar dan saya taat," saat berpetualang menjadi jurnalis ini.

Maka jangan heran, jurnalis jadi mempunyai banyak cerita yang mungkin terlalu malas untuk saya tampung di diary karena sepanjang hari saya sudah menulis. Jadilah saya berbagi kepada orang yang saya percaya, yang selalu bersedia meminjamkan bahunya.

Semoga ia yang selalu ada di masa sulitku, kemudahan Allah padamu. Allah sungguh tahu kualitasmu :)

Terimakasih

Setahun yang lalu masih tersimpan di memoriku, berada di meja ini. Disambut oleh 2 orang berparas serius, yang satu seorang wanita dengan umur yang mungkin sekitar 40 tahun, tetapi dipoles dengan make up dan rambut yang sangat rapih. Paling menarik bagiku bukan wajahnya yang cantik itu tetapi dari sorot matanya. Kutemukan  kecerdasan yang ditutupi oleh kacamata itu. Begitu juga dengan pria di sebelahnya yang sepertinya sudah paruh baya. Bedanya jika perempuan ini dengan badan yang profesional, pria di sebelahnya agar berbadan, dengan pipi cembung.

Dua orang ini mengenalkan diri, yang pada akhirnya kupanggil Mbak Retha dan Mas Bagus, tanpa banyak ramah tamah. Aku pun mencari posisi nyama dalam duduk, interview pun dimulai. Satu-satunya interview yang aku penuhi setelah Papa tiada 2 bulan yang lalu. Aku kehilangan arah dan butuh teman mengobrol.

"Jadi, menurutmu K ini apa?" tanyanya dengan wajah mendekatiku. Aku menatap mereka berdua satu per satu dan tersenyum.

"Aku tak tahu, tapi ini pastinya media bisnis dan investasi, itu tulisan yang kulihat di papan gedung ini," kataku tanpa pikir panjang, sekenanya.

"HAH? Jangan bilang kamu gak pernah baca K?" tanyanya padaku. Aku mengangguk setuju, tak perlu kujawab pertanyaannya.

"Mi, ini kali pertama saya wawancara dan yang diwawancarai gak pernah baca medianya, harusnya kamu siapkan," katanya. Aku pun tertawa saja dan bilang aku baca online dari media ini dan aku cukup tak mengerti dengan deretan angkanya.

"Maksudmu kamu tak tahu KONTAN? Lalu kenapa kamu ke sini?" tanya mereka serius, entah tertarik melihatku, entah tidak. Aku pun tanpa banyak basa-basi bercerita ingin memasuki sebuah media politik, namun tak jadi kuikuti tes gara-gara aku bingung harus kerja dimana setelah Papa tiada. Pas hari tes pun pun aku terlanjur menerima project menjadi pembicara topik pembuatan press release di luar kota. Dua orang di depanku hanya bisa menarik nafas mendengarkan ceritaku.

"Entahlah, aku sekarang hanya berpikir harus ambil sebuah media yang lepas dari politik, mungkin aku sudah terlalu capek dengan politik. Aku di sini mau belajar feature, lalu setelah itu aku mau S2," kataku lepas, sungguh tak peduli apa yang ada di pikiran mereka.

"Kenapa kamu mau jadi jurnalis?" tanya Mas Bagus kali ini, dua pasang mata itu menatapku serius. Aku menarik nafas dalam-dalam. Nah, ini yang pertanyaan yang aku tunggu.

"Dengan menulis aku bisa mengubah kebijakan," kataku simpel lalu mengingat sebuah kasus yang menimpaku di UI sana.

"Kebijakan seperti apa yang bisa kamu ubah?"  tanya Mas Bagus itu tampak tertarik atau malah menahan tawa karena mukanya tampak tersenyum.

"Ya, satu tulisanku pernah mengubah sebuah kebijakan di UI, dan kenapa tidak dengan 1 tulisan lagi saja untuk mengubah Indonesia," jawabku lalu mereka pun memintaku bercerita tentang kasus itu. Tampak histeris, sebuah kasus yang sebenarnya enggan kuceritakan pada siapapun, satu-satunya kasus yang membuatku minta ke Tuhan, "semoga pesawat yang kutumpangi esok ke rumah meledak saja." Dan entah kenapa, hari ini kasus tulisan itu dengan lancarnya kuceritakan, lengkap dengan Rektor UI yang memintaku ketemu, lengkap dengan tekanan dari Mahalum UI. Lengkap dengan seluruh Dosen Komunikasi berbaik hati melindungiku dan malah mengapresiasiaku. Dan lalu terngiang David dengan tulisan itu, biaya kuliahnya akhirnya dibantu seorang dosen dari FE UI.

Dan tentu saja itu menjual untuk wawancara. Sebuah media siar saja sudah minta aku tanda tangan kontrak, aku menolak dengan berbagai pertimbangan. Mbak Retha langsung mengambil kertas. Ia menandatangani sesuatu. Aku meliriknya dengan senyum yang masih jual mahal. Sungguh aku tak tahu ini media apa, aku tak pernah membacanya, aku cuma tahu dari seorang teman media ini manajemennya cukup bagus untuk belajar. Dan tak ada politik lagi, hanya bercerita tentang ekonomi dan bisnis.

"Kamu suka ekonomi?" katanya, aku menarik nafas dalam terngiang dengan doaku dikala maba semoga dijauhi dari apapun yang berbau ekonomi. dari tadi aku jujur saat wawancara ini, karena jurnalis harus jujur, aku tidak akan memulai semua ini dari kebohongan.

"Aku suka matematika, dulu matematikaku terbaik di SMP. Logika bagus," kataku tenang, sangat tenang.

"Kamu bakal bertahan berapa tahun di sini, jangan-jangan cuma beberapa bulan dan memilih S2?" tanya Mbak Retha menatapku tajam. Aku menahan senyum, ini kode.

"Setahun atau 2 tahun, aku butuh pengalaman kerja. Aku keluar dari sini langsung S2," jawabku sambil menghela nafas.

"Mau jadi apa?" tanya Mas Bagus mulai cair.

"Mau jadi dosen, kurasa K tentu akan bangga kuceritakan tentang perjuanganku menjadi jurnalis di sini kepada mahasiswaku kelak," kataku sambil tertawa.

"Minggu depan bisa masuk?" kata Mbak Retha.

"Tidak bisa," jawabku cepat.

"kenapa?" tanya Mbak Retha.

"Aku hendak menemui Ibuku dulu ke Padang, bulan depan saja," pintaku tak memikirkan efek apapun.

Wawancara selesai, aku turuni satu per satu anak tangga, kutatap beberapa jurnalis yang sibuk dengan komputer dan juga telpon mereka. Aku menarik nafas panjang. Aku tak tahu media ini apa. aku tak peduli mau diterima atau tidak. Ini kali pertama aku wawancara ngomong semauku, minim dengan memasarkan diri. Bodoh amat dengan hasilnya. Aku sebetulnya hanya butuh teman mengobrol, syukur-syukur aku ditarik ke media ini.

Saat ini baru kutahu, menelpon narasumber Menteri, Wakil Menteri, Dirjen, Direktur Utama, Direktur Keuangan, dan berbagai narasumber kelas atas itu baru bilang, "Saya Mimi Pak, dari Tabloid K." Mereka langsung menyambutnya dengan teriakan ramah dan tak jarang mengajakku makan bareng bercerita banyak hal.

Sekarang di meja ini, Mas Wawan, Redakturku di Tabloid K bercerita lengkap dengan angka-angka penilaianku. Aku menahan tangis karena haru. Karena hari ini, aku diijinkan secara resmi menjadi bagian dari K. Menjadi bagian dari orang-orang keren, semoga percikan keren itu terus-terusan mengalir padaku. Terimakasih KONTAN :)

11.04.2013

Galau Jurnalis

Hei kamu,

Belajarlah mencintai seperti sekrup-sekrup kecil itu yang selalu berteriak pada Tuannya meminta kenaikan upah. tak capek- capek tiap tahunnya. Hebat pula mereka masih bernanung di tempatmu. Walaupun mungkin benar, ia membutuhkanmu demi sesuap nasi. Tapi bertahun-tahun bahkan mungkin belasan tahun mereka berkorban, liriklah mereka sedikit. Karena kadang mereka mengungkapkan cinta dengan perbuatan mereka, terus menerus bekerja. Sesekali mereka ganas karena hidup terlalu ganas. Berbaik hatilah pada mereka.

Sambil memperbaiki mereka, tetaplah naikkan pula targetmu padaku, kalau tak kuasa segera beli mesin untuk menambah kapasitasmu. Baca semua buku dan buku agar suatu saat kau terilhami dengan membuat rencana ekspansi untuk membangun rumah tanggamu. Jangan sesekali menyerah, karena para peri kecil tentu akan membantumu. Apalagi tanpa diminta kau sering menghadiahkannya madu.

Ijinkan pula peri kecil itu mengintip laporan kuartalmu yang rajin betul engkau laporkan pada Dia. Jika sekrup punya kau sebagai Tuannya, kau jua punya kewajiban padaNya. Seringlah bermuhasabah diri padaNya.

Jangan kau takut, sejatinya untuk mendapatkanku tak butuh investasi yang besar. Bukan berarti aku tak menjanjikan, hanya saja mungkin waktunya tepat. Toh negara yg kita injak ini saja berani betul memberi investasi murah meriah dengan dalih tiada modal kepada asing. Bahkan semua keputusan penting kemungkinan besar ditanda tangani sebelum Pemilu 2014. Aku dan negeriku sama, tak tamak harta, toh dari kecil kami sama-sama terbiasa hidup sederhana. Biarlah lumbung padi ini dinikmati tetangga, kami tetap dengan kesederhanaan kami. Biar tak susah perhitungan di akhirat kelak. Biarkah kami sibuk beribadah dan ibadah, dunia ini tak ada habisnya.

Namun, sesekali perlu juga kita belajar dari Jepang, yang bahkan baru eksplorasi saja, dengan percaya dirinya ia minta perpanjang Blok Masela, tamak betul ia padahal baru 2018 Blok Masela itu berproduksi. Tapi itu langkah cerdas karena ia sudah meramalkannya. Dan ia tahu berhadapan dengan siapa, lihatlah bagaimana pemerintah kita memprosesnya, mempertimbangkannya. Segera ramalkanlah bagaimana kita, jika menurutmu itu baik bagimu, Masa' kau tak berani berinvestasi? Apalagi resolusi pun sudah direvisi.

Segeralah berlari padaku, karena jika hati ini padam, musnahlah segala cahaya yg kita bentuk. Jika kau ditelikung duluan oleh yang lain, jangan sesekali kau salahkan siapapun. Jangan seperti komplotan kawanmu yg menyalahkan PLN saat listrik padam. Karena ini bukan kesalahan direksi sekarang, tidakkah investasi listrik itu butuh waktu 4-5 tahun yg lalu? PLN sudah makfum pemadaman akan terjadi, dari tahun 2009 ia coba bangun pembangkit, namun daerahmu yg korupsi itu mencoba memerasnya dan menghalang-halanginya. Mau kau salahkan siapa?

Hei, jangan pula kau menggantungku terlalu lama. Temanmu, Total EP saja tak sanggup menunggu lama dan mendesak presiden secepatnya mengeluarkan keputusannya. Karena memang aku membutuhkan kontrak berpuluh tahun dan segera memulai visi dan misi kita, jika dan hanya jika itu kau.

Sekarang, segeralah ambil wudhu, bersujudlah dalam tahajudmu bisikanlah pada Rabb, “jika sejatinya dua hati kita bertemu dan bisa mengubah nasib bangsa ini ke arah yang lebih baik, ijinkanlah Ya Rabb.” Akhiri galaumu!


10.21.2013

Malaikat Kecil, Aku Cemburu Padamu

Beberapa hari ini aku didera oleh beberapa kisah nyata yang membuatku kembali sadar untuk tak menghabiskan waktu dengan mimpi, cita-cita, serta kegalauan masa depan, ataupun kekesalan dengan beberapa jalan hidup yang membuatku bisa dibilang kurang ikhlas. Cukup mencintai apa yang sekarang di depan mata, sungguh ia pantas menerimanya karena ia bahkan memikirkan kita jauh sebelum kita dilahirkan. 

Kemaren Tanteku yang biasa kupanggil Onang, menerima sebuah kado dari Kaela, anaknya. Kaela beberapa bulan ini dimasukkan ke pesantren dengan keinginannya sendiri. Dedekku ini dari dulu terkenal dengan hapalannya yang bagus. Jadi karena ini keinginannya, Mama dan Papanya memberanikan diri untuk memasukkannya ke pesantren.

Aku suka dengan kebiasaan Dedek yang tiap tahun sebelum hari ulang tahun Mama atau Papanya selalu mengajakku mencarikan kado. Kado itu dibelinya setelah mengumpulkan uang jajan bersama Tetehnya. Namun tidak tahun ini, karena ia mulai mondok dan badannya yang kecil malah semakin kecil. Menghubungi Kaela pun aku benar-benar tak bisa, ia tak diijinkan membawa ponsel di asramanya. Sebenarnya sih, pondoknya tak terlalu jauh dari rumah, tepatnya di sebuah pesantren di Parung. Satu jam dari rumah yang berada di Lenteng. Seringkali, Onang 'menculik' Dedek hanya untuk sekedar  main timezone, makan, atau photo box di sebuah mall di Depok.

Beberapa hari yang lalu Onang ulang tahun, tak satupun dari kami yang sempat membelikan kado, kecuali Oom. Tepat di hari ulang tahun itu, supir yang sering mengantar berbagai keperluan untuk Dedek, memberikan secarik surat ke Onang. Suratnya lucu dengan warna bunga, ala anak-anak sekali. Onang membuka surat itu... isinya kira-kira begini:

"Halo Mamaku, bidadariku
Maafin aku yang tak sempat memberikan Mama kado.
Namun Mama, jika aku disuruh milih pilih hidup bahagia tanpa Mama atau hidup susah sama Mama. aku pilih hidup susah sama Mama saja.

Aku sayang banget sama Mama...
Aku kangen dengan tangan Mama yang lembut menyentuhku untuk bangun saat shalat subuh. Sekarang yang bangunin aku cuma bel yang berdentang subuh Mama. gak ada Mama lagi...

Aku selalu berdoa Mama. aku selalu berdoa dalam shalatku semoga kebaikan untuk mama dan papa. 

Andai Mama tahu, walaupun aku menulis ini bukan tepat jam 12, tapi aku menulisnya sambil menangis. aku sayang banget sama Mama.

Aku gak tahu bakal bagaimana ke depannya kita akan ketemu apa nggak. karena aku sudah jauh tinggal di asrama , tapi aku ingin bilang Aku sayang Mama karena Allah."


Begitulah bunyi suratnya. Onang bahkan Oom yang jarang berekspresi saja nangis. Setiap Ibu, teman-teman Onang, yang baca surat ini pun menangis. 

Kaela ini baru menduduki kelas 1 SMP yang bahkan aku tahu betul dia jarang menulis. Tapi pilihan katanya membuatku begitu tersentuh. Setiap kata yang ia torehkan itu seakan berasal dari hati atau jangan-jangan itu adalah bisikan dari malaikat sebagai hadiah untuk Ibunya :)

Bulu kudukku merinding saat membacanya. Aku pun malu pada diriku sendiri, yang bahkan sampai akhir hayat Papa saja aku tak pernah mengucapkan "Aku mencintai Papa karena Allah..." Kadang kita perlu kembali menjadi anak kecil untuk mulai jujur dengan perasaan kita :")

Petualangan ini belum berakhir, hari ini, aku menemukan seorang anak yang butuh bantuan khusus, ia bisu dan menggunakan alat bantu pendengaran. Ia memasuki gerbong yang sama denganku pada kereta Depok_menuju Tanah Abang. Umurnya kira-kira 4 tahun. Saat masuk, ia langsung duduk di lantai, ibunya memberi isyarat dengan suara pelan kalau lantai itu kotor. Anak itu menatap ibunya, lalu dengan patuhnya akhirnya ia berdiri. 

Seorang Ibu tua berbaik hati memberinya tempat duduk, si kecil ini berdiri di kursi itu. Ia mulai memainkan penutup jendela di kereta. Rasa penasarannya sangat tinggi, tentu saja bunyi ini sangat berisik, Ibunya melarangnya untuk memainkan penutup jendela itu. Si kecil bersikeras dengan teriakan "aaa ma a am oo aaa," bisa dibilang teriakan ganas yang membuat beberapa orang meliriknya. Siapa yang tak terpesona dengannya perawakannnya cantik sekali, imut, sedikit gemuk, mata bulat, bibir mungil, hidung mancung, bulu mata panjang, cantik sekali! Namun tentu saja kami terheran dengan ia mengucapkan kalimat yang tak dapat dimengerti. Mulailah mata-mata takjub memandangnya itu berganti dengan belas kasihan. Ia mencoba mengusir beberapa orang, Ibunya tetap kalem. Tetap berusaha menormalkan situasi, ia meredakan amarah anaknya, tak tampak penat di wajahnya, tak tampak merah muka karena malunya. 

Ia tetap berbicara lembut ke anaknya dengan menggunakan isyarat tangan. Beberapa Ibu yang duduk di sofa itu turun dari kereta. Si kecil sangat senang karena tempat bermainnya menjadi semakin luas., namun ada seorang Mbak yang seumuran aku duduk di sofa  kosong itu. Si kecil mengamuk, ia dipegang ibunya kuat-kuat. Amukan itu pun berubah menjadi tangisan, kupinta si Mbak yang duduk itu untuk berdiri. Gadis sepertinya masih kuatlah untuk berdiri. Untung saja dia mau, dan tangis si kecil berhenti. 

Ibunya membujuk si kecil dengan bahasa isyarat, "Kakak itu boleh ya duduk di sini," kata Ibunya pelan minta ijin ke anaknya. Si kecil mengangguk dan tersenyum. aku tertawa melihat tingkahnya. ia menatapku yang sedang berdiri. Lalu ia mulai bermain lagi dengan melihat-lihat gambar di dinding kereta. Ada sebuah iklan ibu dengan anak, ia menunjuk sebuah gambar ibu dengan seorang gadis kecil yang dibingkai dengan tanda 'love.' Lalu si gadis kecil itu memberikan isyarat ke ibunya, beberapa jemarinya ia tempelkan ke bibir. Lalu, ibunya memberikan pipinya. Si kecil itu menciumnya. Aku langsung tertawa, tidakkah itu indah. Tadi aku mengasihinya, sekarang aku sungguh cemburu pada gadis kecil itu. Itu ungkapan yang manis sekali,  dia dan ibunya saling bertatapan. Bagaimana bisa ia mengungkapkan semanis itu? Indah sekali, semoga surga dihadiahkan kepada Ibu dan si kecil ini. :)

Begitulah kawan, kamu pilih yang mana mengungkapkan cinta dengan surat atau dengan perbuatan kepada Ayah Bundamu? Atau kamu punya ide lain? Sungguh belum terlambat. Aku pun sedang menyusun mengungkapkan ide kreatif untuk mengungkapkan sesuatu kepada Mama, hehe :") 



7.02.2013

Curhat Jurnalis 1 Juli 2013

Aku mengambil gagang telpon. Kupijit kepalaku yang tertutup hijab. Aku menghela nafas panjang, geleng-geleng kepala. Lalu kutarok lagi gagang telpon.

Kembali kutatap risetku, menatap berita yang berada di arsp internal kontan. Kucatat berapa celah yang bisa kutanyakan kepada narasumber. Lalu tanganku kembali memainkan mouse melihat perkembangan si perusahaan baru ini.

"Mi," suara tegas itu muncul dari belakang, sempat membuatku kaget dan mukaku semakin tegang. Kupasang senyum dan menatapnyam "ini dulu aja kamu kejar ya," katanya sambil memainkan ponsel di tangannya. Aku mengangguk dan menjawab iya sekenanya. Kembali membuka email dan liputannya diganti.

Parahnya tadi yang kuhubungi juru bicara yang pastinya mau tak mau ramah dengan wartawan. Kali ini yang harus kuhubungi Direktur Utama lagi. Mukaku semakin tegang. Kembali tanganku bermain dengan keywords yang mengandalkan Mbah Google.

Kuhela nafas panjang, debaran jantungku semakin tinggi. Kuambil gagang telpon, dua detik kemudian kutarok lagi. Kali ini kupilih handphone dan mengetikkan pertanyaan. Kukirim sms. Kutunggu, semenit, dua, lima menit tak ada jawaban,

Aku segera berdiri hendak mengadu pda editorku. Namun tampaknya ia sedang sibuk. Aku geleng-geleng kepala, mengangkat gagang telpon dan menekan beberapa nomor. Kutunggu, tut tut, masuk.. Telponnya masuk. Namun seperti biasa tak ada jawaban. Ini Dirut yang memang enggan mengangkat telpon dan yah terpaksa menunggu jawaban sms.

Lima belas menit kemudian, sms itu pun berbalas saat di sekitarku lagi sibuk mengetik dan keyboard mereka saling berpacu. Jawaban Bapaknya singkat dan jelas. "Kamu hubungi Direktur Keuangan saya," sms-nya. Aku tersenyum simpul dan sms Direktur Keuangannya. "Pak, saya Mimi dari Kontan boleh saya hubungi Bapak terkait proyek terbaru." Kukirim, 1 jam, tak ada jawaban.

Aku melotot, kuganti pilihan kata yang lain. "Pak, saya Mimi, Dirut Bapak menyuruh saya menghubungi Bapak terkait project terbaru. Bapak bisa saya wawancara via telpon?" kataku, entah kurasa nada ini cukup mengancam. Dan benarlah ia, tak sampai 5 menit. Sms-nya dibalas dengan padan dan singkat, "silahkan" katanya. Saya tersenyum, setidaknya berguna juga cara ancam-mengancam ala aktivis mahasiswa dulu di Kampus :p

4.16.2013

Awan Merah versus Awan Hitam

Kembali aku bersimpuh menatap awan lagi lewat jendela ini Papa. Rutinitas yang kulakukan waktu kecil saat menemanimu membersihkan kebun Pa. Alangkah senangnya berimajinasi dengan berbagai bentuk awan, dan merangkainya dalam sebuah cerita. Seringkali kutemukan tokoh-tokoh imajinasiku di sana. ada setan berbentuk kadal besar, ada malaikat bersayap. Kadang kutemukan juga keluarga kita di sana lengkap, tanpa cacat.
Namun, hari ini saat berniat merangkai awannya, aku sudah dibuat terpesona Pa. Semburat matahari yang malu-malu itu berhasil membuat awannya memerah. Indahnya Pa, mungkin seindah pipi wanita yang memerah di saat malu-malu. Aku sering menamakan awan seperti ini dengan Humaira, sambil membayangkan wajah 'Aisyah yg selalu dipuji Rasulullah SAW. Indah betul awan ini Pa, apalagi cuma dia yang beruntung, Aku yakin sekali Pa, awan-awan hitam yang menjelang senja pasti cemburu ke awan merah ini. Siapa pula yang tiada terpesona dengan awan merah ini Pa, ia idaman mata memandang. Awan hitam pun kutinggalkan.
Semburat merahnya lama-lama menyinari awan yang hitam pula, membuat awan hitam itu ikut menjadi merah. Semakin indah, tapi oh tidak Pa. Lama-lama si awan merah ini mendominasi, tiiada bagus lagi, semua sama-sama merah. Awan merah tadi cantik karena ia sedikit, sekarang tak istimewa lagi. Mataku malah beralih ke awan hitam yang sekarang menjadi kaum minoritas. Awan hitam ini membuatku takjub, ia tetap bertahan dengan kehitamannya Pa. Dan lihatlah sekarang, ia yang terlihat spesial. Kalau begitu, aku pilih si hitam saja ya Pa.

12.16.2012

Menjadi Jurnalis

Ini tentang mimpi di saat badan remuk, bibir bergetar, mata yang redup, dan hampir sebuah kalimat keluar, "mohon maaf lahir batin, Ma," Mimi Silvia, sekitar Maret 2008. Namun, lidah kelu, memilih diam membisu melihat tangisan Mama dan serak-serak suaranya bergema, "bertahanlah nak, bertahanlah," katanya memelukku. Aku tersenyum dan bercakap dengan sang pemilik. beri sedikit waktu Allahku, berilah aku waktu untuk melihat perempuan dan anak-anak tersenyum bahagia. Berilah aku waktu, sehingga tiada lagi peminta, tiada lagi orang-orang yang takut memikirkan masa depannya, Izinkanlah.
Sekarang aku dekat dengan mimpiku, lulus kuliah dan waktunya menaklukan dunia. Ditarik untuk menjadi jurnalis, tak apalah mulai memandang dunia dengan bakat alami yang aku punya. Ini tentang dia, tentang bakat yang sudah kulatih dari kecil, tentang passionku yang sudah kutemukan dari kecil. Akan tetapi, apa benar ini betul-betul passionku?
"Kamu liputan ke kementerian ESDM ya," sahut sang Pimred. Aku mengangguk dan segera menuju kementerin ESDM. Sesampai di sana, aku memilih menunggu di kantin. ada sekitar 1 jam lagi konfrensi pers Jero Wacik bersama Dahlan Iskan. aku disuruh meliput tentang konferensi, dan wawancara dengan Jero. Ah, wawancara Jero, subhanalllah perjuangannya. Sudah di depan mata pun kadang tak diijinkan sang ajudan yang bertampang garang. "Harus bikin surat dulu Mbak," sahut sekretarisnya yang bahkan bilang "kalau foto sih oke, tapi kalau wawancara Bapak belum ada waktu sering keluar negeri," katanya.
jadilah, memanfaatkan moment di konferensi pers, dan apa yang terjadi sodara-sodara, wartawan disuruh menunggu lagi di luar, mereka rapat tertutup dahulu, ini pertemuan Pertamina dan anak perusahaannya, BUMN dan juga ESDM. Jadilah para jurnalis menunggu di luar. Disuguhi makan siang, aku enggan memakannya.
Aku menatap beberapa jurnalis dari stasiun TV yang berpakaian seragam dan beberapa jurnalis cetak yang juga duduk bareng di luar, di lobi. Beberapa dari mereka bercakap-cakap, mereka di post kan di ESDM, harusnya sudah saling kenal, kecuali aku yang baru kedua kali di sini. Gampang sekali membedakan jurnalis cetak dan siar di sini, rapi dikit itu cetak karena mereka bakal di shoot. Sedangkan jurnalis cetak biasanya lebih santai, bahkan banyak yang berpakaian kaos dan jins. Aku? Jangan ditanya. sekali melihatku, beberapa mengangguk segan. Ya iyalah, saat orang-orang memilih berpakaian kaos, aku memilih blazer. saat banyak yang memilih menggunakan jins, aku memakai celana  ala pegawai kantoran yang otomatis mereka berpikir aku staf ESDM. Bahkan, beberapa orang mau pedekate untuk wawancara. Aku cuek, tak mungkinlah berpakaian lusuh dengan majalah yang bersegmentasi kelas menengah atas ini.  Dan aku lebih nyaman seperti ini.
Dan inilah waktunya, konferensi pers dimulai, setelah konferensi semua mengejar Jero dan Dahlan. aku enggan ikut, males sekali mengejar mereka dengan jawaban normatif, toh sudah tergambar mereka jawab apa. Akan tetapi, demi tugas dari sang pimred, aku ikut berlarian. Lalu tangan yang memegang blackberry aku ulurkan, merekam suara sang Menteri. Luar biasa sekali, ditanya dengan satu kalimat, jawabannya enteng 'coba cek dulu sumbernya." atau dengan "ya silahkan sampaikan ke DPR," atau dengan kata "kita lihat nanti saja." Saya meringis menatap sang menteri. Hebatnya, para jurnalis itu tetap bersikukuh bertanya, tangan-tangan beruluran, rebutan, miriplah dengan perjuangan naik kereta AC tiap hari. Aku menatap sang menteri, belum sepatah pun pertanyaan dariku keluar. Aku melangkah mundur dan menatap keramaian yang masih rebutan untuk bertanya. Aku menatap beberapa dari mereka yang sampai menutup jalan menuju kantor sang Menteri. aku meringis, apa benar ini yang kucari. Aku menatap tiap kepala yang bertanya, tadi beberapa dari mereka diajak liburan kementerian. Tadi diantara mereka makan makanan yang disediakan, itu tak masalah, tapi malasahnya ada diantara mereka yang mengaku dikasih amplop, 'hadiah' atau apalah yang mereka sebut. Kadang lebih banyak berupa barang, hadiah demi hadiah di saat liputan. Akan seperti apa berita yang mereka toreh, akan seperti apa tulisan yang mereka oles? Dan dapatkah aku tetap bertahan? 
Langsung kutekan keypad dan menelpon seseorang. "Apakah aku terlalu sombong untuk menjadi jurnalis," sahutku. Di sini tak ada lagi dosenku,tak ada lagi, dosen-dosenku tak menjelaskan secara detail. Pertanyaan itu pun akhirnya muncul, apakah ini passionku? apakah benar ini salah satu jalan menuju mimpiku? Esok atau lusa aku pasti menemukannya :)

10.19.2012

PEMIRA UI 2010 #4

Lima belas tahun yang lalu...
“Aku pengen jadi boneka,” kata sahabat kecilku sambil membelai rambut emas boneka barbie miliknya. aku menatap boneka itu lekat-lekat, memikirkan kalimat itu.
“Kenapa?” tanyaku polos.
“Karena dia cantik,” jawabnya polos. Aku masih berusaha menatap boneka itu lekat-lekat. Aku suka boneka, tetapi aku tak pernah untuk berpikir menjadi dirinya. Lama berpikir, kuputuskan berlari ke rumah untuk mengambil sepeda, mending main sepeda ah.
***
Kali ini, aku berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat kotak suara yang kami pinjam dari KPU. Ringan sebenarnya namun karena memang aku kurang kuat, dan lupa sarapan pagi. Alhasil aku berhasil ngos-ngosan sampai ke parkiran. Sempat sepatah dua patah kata “capek” keluar dari mulutku. Namun, selanjutnya kata-kata itu tercekik di kerongokongan.
Aku membelalak tak percaya. Aku menatap dua bendaharaku yang sedang keluar dengan parkiran. Mereka membawa dua kotak yang tingginya sekitar setengah meter di sisi kiri dan sisi kanannya kotak. “Wow, super sekali,” pekikku masih terpaku menatapnya. Berpikir sebentar lalu melirik mereka.
“Berapa orang yang mengambil kotak pagi ini?” tanyaku pada Penanggung Jawab Penconterenganku.
“Ada enam tujuh orang, satu cowok, si Hafiz, selebihnya cewek bolak-balik daritadi,” katanya. Aku nyengir, apa boleh buat, satu cowok diutus ke salemba. Si Bos sakit, si Staf ahli hukum ku sebentar lagi dioperasi. Yang lain, ada yang UTS.
“’Teman seatap’ mana?” tanyaku dengan senyuman manis sekali.
“Nggak ada,” jawabnya polos. Aku batuk-batuk sebentar, it’s oke, mungkin mereka sibuk dengan segala hal yang sedang terjadi. Ya, yang namanya keluarga seatap harus pengertianlah. Puji segera mengeluarkan motornya dari parkiran. Aku segera mengangkat kotak suara itu dengan semangat “45. Mungkin ini waktunya Ya Allah, menunjukkan bahwa wanita pun harus bisa mengerjakan pekerjaan lelaki, kebetulan mereka punya sakit dan ada yang sudah diberi amanah lain. Apalah hendak dikata, sodara seatap saya juga sibuk :p
***
Tadi, untuk beberapa kalinya, aku mutar-mutar keliling fakultas, tadi sempat kecelakaan kecil yang disaksikan mahasiswa di halte FIK. Namun, tak apalah, biar berasa perjuangannya. Toh, dari kecil aku sudah sangat suka berpetualang dengan sepedaku. Dan hari ini, aku cukup menjadi orang yang duduk manis di belakang si pengendara motornya dan sampailah kami ke rumah kami, pusgiwa.
Kali ini, dengan ngos-ngosan kami segera menaiki tangga Pusgiwa satu per satu, entah untuk keberapa kalinya sampai-sampai aku menghitung satu per satu tangga dan mendendangkan melodi lagu untuk menghibur diri.  Lagi-lagi para cewek yang bolak-balik mengambil kotak suara di masing-masing TPS. Kamipun bolak-balik dari pusgiwa ke falultas belasan kali, tanpa makan dan minum apapun. Tak hanya itu, dari pagi, kami berpatroli ke masing-masing fakultas, mengantar surat suara jika ada yang kosong, melipat surat suara yang baru dicetak tadi malam karena kelalaian panitia. Menghibur diri dengan sedikit lelucon yang terjadi. Namun, tetap saja wanti-wanti dengan apa yang terjadi.
Beberapa fakultas bermasalah, ada beberapa fakultas yang telat buka dan bahkan tak buka. Aku baru mendapat kabarnya. Aku tahu betul siapa yang bertanggung jawab untuk hal itu. Apa boleh buat dia sudah mengerahkan semua kemampuan yang dia miliki. Dan apa boleh buat juga, dia mempunya wakil PO yang sangat detail dan ini bukan main-main Bung, ini amanah!
“LO KENAPA NGGAK LAPOR KE GUE?” tanyaku dengan suara yang sudah mau habis. Namun untuk menunjukkan ekspresi seriusku, kupaksakan untuk berteriak, dan berhasil teriakan itu membuat telinganya merah. Bukan untuk menghukumnya, hanya ingin menunjukkan kalau aku bisa lebih galak dari itu kalau besok masih bermasalah.
Dengan semua masalah itu, tim yang lain cuma bisa diam tanpa banyak komentar. Entah mereka paham dengan apa yang terjadi atau mereka malah sedikit tak suka caraku. Namun, dari bahasa simbol muka mereka sepertinya masih menerima karena ini bukan kali pertama aku marah. Aku tahu ini bakal berdampak suatu hari dan timku juga berpikiran yang sama.
Lagi-lagi badanku lemas, perutku meminta makan, aku cuek. Kuambil sebuah kertas surat suara dan aku melipatnya, senyap sunyi, bukan karena tak orang. Tapi mereka semua sibuk melipat suara dan mungkin juga terlalu capek untuk ngobrol. Di rungan ini, hanya terdengar jam dinding yang berdetak, cowok yang tadi kumarahi segera keluar. Aku mendesah tak tertahankan. Puji menatapku dan menepuk-nepuk tanganku pelan-pelan. Ini bukan masalah pertama, banyak masalah di beberapa fakultas. Seorang teman yang punya tanggung jawab untuk hal penconterengan ini, tiba-tiba mengundurkan diri dan dengan ahlinya menggunakan kata-kata memaki pula dan kujawab dengan diam tadi. Ingin tertawa ngakak dengan semua hal yang terjadi hari ini. Ingin membagi penderitaan ini dengan dua orang yang mengerti betul lahan ini, pertama si Bos yang sedang berbaring di rumah sakit dan yang satu lagi staf ahli hukumku yang sedang membuat ramuan untuk penyakitnya. Aku mendesah pelan.
Tiba-tiba teman seatap datang, dengan senyuman manis. Aku berusaha menjawab senyuman itu, toh salah satu hadis  menyebutkan senyummu atas saudaramu adalah pahala. Dia mengeluarkan sebuah kertas.
“Eh Mi, kita evaluasi yuk, di fakultas ini kok gini, kalo di fakultas itu lebih parah lagi, kok bisa sampai gini?” dia membeberkan semua masalah di tiap-tiap fakultas dan meminta penjelasanku. Kepalaku benar-benar sakit, untuk kesekian kalinya dalam hari ini aku menghela nafas panjang. Beginikah Ya Allah, rasanya jadi pemimpin?
“Oke, bahas satu per satu,” sahutku menatap tajam wajahnya. Dia kembali menjelaskan secara detail, diikuti temannya ikut-ikutan mengiyakan semua kejanggalan di lapangan itu. Kepalaku lagi-lagi sakit.
Entah kenapa, seperti sebuah rekaman di recall oleh memoriku, semuanya bermain di kepalaku, mulai dari verifikasi sampai kampanye. MWA itu tanggung jawab mereka, mereka dimana? Salah satu panelis saat kampanye MWA sempat tersinggung karena hanya sedikit panitia yang hadir, mereka dimana? Dan aku harus meminta maaf berulang kali kepada si panelis. Kujelaskan posisiku padanya, ada tiga acara panitia pemira hari itu  dan kami harus membagi SDM yang ada. Untung saja, si panelis orang yang pengertian.
Beberapa kali selalu kuusahakan positif thinking untuk semua hal berhubungan dengan mereka. Tapi tidak lagi untuk saat ini, kesabaranku ada batasnya. Kalau mereka tak datang untuk kampanye kenapa ujuk-ujuk datang saat penconterengan? Aku tersenyum simpul, maaf teman, aku nggak segoblok itu. Jadi mau main politik denganku? Salah orang, dari kecil aku sudah mengerti politik. Aku tersenyum manis, kujawab semua pertanyaan satu per satu itu dengan nada yang sangat lembut.
“Udah?” tanyaku masih mempertahankan senyum manisku.
“Iya udah,” jawabnya puas dengan jawabanku. Ini waktunya!
“Ehm, lo berdua “teman seatap kita” ya? Yang lain kemana ya? Nggak kangen kita-kita? Kok datengnya baru sekarang, dari kemaren-kemaren kemana aja, liburan? Banyak tugas? Atau jangan-jangan nggak level ya bergaul dengan kita yang mengurusi urusan rakyat jelata ini. Gue tahu kok, jabatan kalian terlalu eksklusif untuk turun lapangan. Tapi tolong dong, ini P*M*R* merupakan tanggung jawab kalian juga kan? Atau mau gue bawa tinggal semuanya, terus kalian yang nyelesin. Oh tentu tidak, gue juga nggak bakal mau, karena gue tahu pasti semuanya akan gue pertanggung jawabkan di akhirat kelak!” kataku tersenyum, namun kuyakin itu senyum pahit. Kulirik, teman-teman se-timku mengangguk-angguk. Tiba-tiba Penanggung jawab Penconterenganku lebih ekstrim, mereka menunjuk dua orang itu.
“KALIAN MENGHAKIMI KAMI DARI TADI!” sahutnya lantang. Aku diam menunduk dan beristighfar sebanyak-banyak yang kubisa. Dan sekarang aku baru mengerti kenapa aku tak suka boneka, sungguh aku benci jadi boneka, sampai kapanpun jua.

Pesan moral untukku:
Jangan ambil amanah apapun kalau kau tak siap, karena bakal kita pertanggung jawabkan di akhirat kelak. Si bos gue aja sampai ninggalin UTS buat ini oi!

PEMIRA UI 2010 #3

“Coba baca lagi kalimatnya,”
Isi dalam media kampanye di luar tanggung jawab PEMIRA
“Wah, kayaknya aneh deh,”
“Aneh dimana?”
“Eh pulang yuk,”
“Ah gue juga nggak tahu,”
“Aduh, gue pusing”
“Hah, gue bikin strategi komunikasi aja,”
“Gue main bola aja”
“Lo masih kuat duduk Man?”
“Dikuat-kuatin”
“Maksud gue ini lo Be”
“Heh, besok gue pinjam kipas ke BAK deh”
“HEH DIAM!”
Semuanya terdiam, beberapa detik masih kudengar detak jarum jam dinding yang menemani kami. Kami saling melirik dan menatap salah seorang staf ahli hukum yang tadi berteriak. Mukanya mulai merah, entah kecapean, entah menahan sakit. Sesekali kepalanya menengadah ke atas, dia mengangkat kedua tangannya. Pelan-pelan ditutupnya matanya, lalu sebuah kalimat yang mungkin tak pernah kami lupa keluar dari mulutnya.
“Tolong Baim Ya Allah,” katanya polos.
Sedetik, dua detik, kami saling melirik dan dalam hitungan satu, dua tiga.
“Hahahaha,” semua tertawa, entah karena saking lucunya, entah karena saking stresnya.
“Haha, mulai hari ini gue panggil lo Baim”
“Gue mau muntah,”
“Gue mau tidur”
“Saya mau main bola,” sahut Agus, penanggung Jawab Kampanye. Kami meliriknya, dia memainkan bola pimpong yang entah dimana didapatnya. Lalu dia menyelutuk sendiri. Lagi-lagi tawa pecah di ruangan ini.
Qibe, stah ahli hukum yang kedua,  masih berpikir, sesekali dia mengacak-acak rambutnya. Dia yang diandalkan untuk menuangkan kata per kata ke peraturan Panitia PEMIRA itu. Sekarang, Qibe sedang menghela nafas panjang. Si Bos sedang memainkan pulpen di kertas, berharap sebuah ilham tertuang ke kertas itu. Hana masih sibuk dengan hape nya. Si Baim lagi-lagi menengadah.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 12, anjing yang entah darimana menggonggong menemani kami yang sedang membuat pasal per pasal untuk peraturan panitia PEMIRA. Dalam tiap pasal pun ada beberapa ayat. Ada sekitar 75 pasal yang akan kami buat. Untuk satu ayat saja, kami harus mengunyah-ngunyahnya minimal lima belas menit.
“Ya kalimat ini aneh, tapi gue nggak tau dimananya” kata Baim, lagi-lagi kami tertawa, dari tadi kami menyadari kalimat ini aneh.
“Materi bukan sih?” sahut si Bos.
“Yuhu, materi kampanye,” sahut Qibe seakan-akan baru dirasuki sesuatu oleh malaikat. Mereka kembali bersemangat, ribut lagi. Aku hanya geleng-geleng kepala. Nyerah deh buat urusan yang satu ini.

PEMIRA UI 2010 #2

                Aku terhenyak, kutatap sekelilingku, teman-temanku saling pandang. Raut muka mereka tampak tegang, tangan yang dari tadi melipat kertas sekarang berhenti di tempat.
“Nggak ada jalan lain Kak?” tanyanya, semua mata ditujukan padaku. Aku gigit bibir, mau tak mau keputusan ada di tanganku, sang Bos sedang berperang melawan penyakit thypus-nya. Tadi kutelpon, dia memintaku untuk meminta persetujuan anak-anak. Lagi-lagi aku menghela nafas, kali ini kulirik dua staf ahli hukumku, Baim dan Qibe. Mereka geleng-geleng kepala, pucat pasi.
“Ya ampun Kak, 3 hari kami menghabiskan waktu melipat ini dan sudah jadi pula,” kata Dila, salah satu staf penconterengan.
Ruangan tampak tegang, panas sedikit mebuatku tercekik. Tak ada AC, jangankan AC, kipas angin pun tidak. Badanku berasa panas dingin. Beberapa kali aku menatap stafku yang berbuat kesalahan, dia tertunduk bisu. Tak ada gunanya juga aku teriak-teriak padanya. Dia sendiri tahu kesalahannya. Aku berusaha tenang, dan menghela nafas beberapa kali. Kali ini kutatap seorang Kakak yang mengerti Undang-Undang tentang PEMIRA ini.
“Jangan gunakan kertas ini,” katanya mengulang pernyataannya. Aku kembali memperhatikan kertas suara yang dicetak itu. Pengaruh facebook, salah seorang tim ku mengikuti nama yang ada di facebook. Kedua nama kandidat berubah di facebook, yang satu menggunakan nama ayah di akhir, yang satu lagi ejaannya salah. Aku meremas kertas itu bulat-bulat.
“Tapi kan 20.000 kertas mubazir,” sahut Bendaharaku, aku tahu alasannya, kita sudah berhemat dengan segala pengeluaran, karena dana yang baru turun 4 hari sebelum masa penconterengan. Aku mencoba berpikir dan lagi-lagi menatap staf ahli hukumku, mereka tampak berpikir keras. Ya sudahlah, tak ada jalan lain.
“Oke, cetak ulang semua, ayolah Tuhan melihat proses kita, bukan hasil” sahutku dengan senyum berusaha menghibur mereka.  Semua wajah meringis dan mengaduh. Mata kami melihat 20.000 kertas suara yang sudah dilipat. Kami tahu susahnya melita kertas suara, namun kami juga tahu, ini untuk kebaikan pada hari esok. Karena hari ini sama hari esok jelas berbeda. :D