Jika seseorang memilih berdakwah dengan ceramah, pidato, dan menthoring, biarlah aku berdakwah lewat tulisanku
2.14.2012
Tong Sampah
Kali ini kurobek kertas itu, kurobek sekecil-kecilnya. Lalu kembali kukumpulkan.
Dengan muka garang aku berjalan ke tong sampah. Aku membuang semua kertas itu di sana, kulepaskan semua kekesalanku. Kutendang tong sampah itu. Aku balik badan dan bersiap2 melangkah. Tapi kudengar sebuah teriakan.
"Aku salah apa, aku salah apa. Aku sudah menampung semua sampahmu. Aku bersedia menerimanya dengan lapang dada. Aku salah apa manusia? Aku salah apa sampai kau tendang begitu?" pekiknya. Aku gigit bibir, lalu aku berbalik menatapnya, kubalas teriakan itu, "karena kau tong sampah! karena namamu tong sampah!" Kataku sambil tertunduk lemas, persendianku lemah. Aku terduduk dan memeluknya.
3.11.2011
Anak UI Makan Sekali Sehari
KAMPUS Universitas Indonesia (UI) sedang ramai. Mahasiswa berlalu-lalang riang gembira. Tapi tidak dengan David. Lelaki ini sedang murung. Matanya yang cekung menatap koperasi mahasiswa yang menjual berbagai jenis makanan pengganjal perut. Dia merogoh sakunya. Ia segera menjauh dari tempat itu. Uangnya tak cukup. Ada yang ngilu di ulu hatinya. Ingin ia menangis, tapi dia lelaki, harapan kedua orangtua dan adik-adiknya.
Perutnya terus berbunyi dan meminta makanan. Ia sedang lapar. Teringat ia ayah dan bundanya di desa, teringat sungai besar yang berbatu-batu banyak, teringat banyak.
Ia terus melangkah menjauh dari koperasi, sembari menunduk. Inilah dia, David Welkinson, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia yang masih tetap semangat kuliah walaupun tak punya dana untuk biaya hidup sehari-hari.
David hanya makan sekali sehari, pas pukul tujuh malam tanpa sarapan pagi. Mungkin karena itu, ia terpaksa dirawat di rumah sakit. Matanya yang cekung tak terlihat lagi. Badannya mulai berisi, karena pengaruh infus dan obat.
“Setiap hari, saya makan pakai tempe dan sayur, modalnya cuma Rp3000,” kata David di Jakarta, Rabu (22/12) Ia adalah tipikal anak Indonesia yang ingin menggapai masa depan seterang bintang di langit. Ia gayutkan cita-cita setinggi mungkin, ia tapaki hari-hari dengan kepala tegak. “Masa depan adalah sekarang,” bisiknya suatu kali.
Jika orang lain, setiap pekan bergegas ke ATM mengintim kiriman dari kampung, tidak dengan David. Ia mengaku tak dapat kiriman lagi dari orangtuanya. Terakhir, orang tuanya mengirimkan uang pada Januari 2010 sebesar Rp500 ribu untuk bayar kos.
Itu artinya setahun silam. Sejak itu, ia jadi anak alam, ditimang diayun nasib. Ia berbaur bersama puluhan ribu mahasiswa di universitas hebat itu. David adalah wajah Indonesia sesungguhnya.
Menurut dia, uang kiriman orangtuanya itu, merupakan hasil pinjaman orangtuanya ke tetangga. Tak bisa dilukiskan bagaimana susahnya orangtua David. Betapa mereka ingin agar anaknya kelak jadi orang.
Mendapat kiriman Rp500 ribu, bukan berarti, persoalan sudah selesai, sebab total uang kos yang harus dibayar Rp900 ribu. Untuk menutupi kekurangan, David meminjam kepada teman-temannya yang mampu dan belum diganti sampai sekarang.
“Pinjaman itu belum saya ganti juga,” kata dia.
Untuk makan sehari-hari, David kadang menjual donat di kampus, keuntungannya sekitar Rp10 ribu, itu pun kalau habis semua. Namun, sering tak habis dan terkadang juga rugi. David pun patah semangat dan mencoba untuk mengajar. Sampai sekarang belum ada tawaran untuk itu. Tidak ada panggilan dari tempat kursusnya.
“Saya berusaha mencari pekerjaan sambilan di sana-sini untuk menutupi biaya hidup saya. Kalau tak ada duit, saya pinjam teman, alhamdulillah mereka selalu membantu,” kata dia sambil memegang buku. Laki-laki ini memang terkenal pintar, IP nya selalu di atas 3,5. Dia tak ikut organisasi ataupun kepanitiaan kampus apapun, karena harus bermodalkan pulsa dan ujung-ujungnya lagi adalah duit. Namun, waktu SMA, laki-laki yang memiliki tinggi 155 ini pernah menjadi ketua OSIS.
Selain itu, karena terkenal pintar, David diandalkan oleh teman-temannya untuk belajar bersama untuk persiapan ujian. David dengan senang hati menjelaskan mata kuliah yang sulit kepada teman-temannya. Pernah juga, ia diminta untuk membuat makalah UAS temannya. Sebenarnya, ia tidak menyukai tindakan itu, namun karena dibayar Rp100.000 dan ia menyetujuinya. “Mungkin bagi sebagian orang ini perbuatan yang salah. tapi, berhubung saya tak punya duit dan itu tawaran menggiurkan, saya menerimanya.”
Cobaan yang dihadapinya tak sampai di sana. David masuk UI melalui jalur Kerja Sama Daerah dan Industri (KSDI) berasal dari salah satu provinsi. “Jangan tulis darimana saya berasal,” kata dia.
Sebenarnya, biaya kuliah dan biaya hidup David ditanggung pemerintah daerahnya. Tapi, dana dari pemerintah juga masih terbatas, sampai sekarang David harus bayar kuliahnya sendiri. Karena melalui jalur KSDI, ia tak bisa dapat beasiswa dari UI. Awal semester 5 ini, dia harus membayar uang kuliah sebanyak Rp10 juta. Jangankan untuk biaya kuliah, untuk biaya hidup saja ia sudah susah. Bahkan belakangan ia sering puasa.
Ia mencoba kembali minta bantuan ke daerahnya, tapi tak kunjung dibantu. Lalu, ia menceritakan masalah ini kepada teman-temannya jurusan Ilmu Komunikasi UI. Mahasiswa Komunikasi UI mengumpulkan duit dan akhirnya terkumpul duit sebanyak Rp10 juta dan kuliahnya masih lanjut sampai sekarang.
David menatap keramaian kantin. Badannya kembali lemas, ingin rasanya makan di sana, namun apa boleh buat tak ada uang. Ini bukan kali pertama ia merasakan lapar. Hampir tiap hari. Ia kembali mencoba melawannya. Waktu dulu, mungkin sempat terpikir untuk bunuh diri, mengakhiri semuanya karena tak mampu lagi menerima cobaan ini. Namun, ia selalu menepis hal itu. Baginya, adik-adik, ibu, ayah di rumah, selalu menantikan berharap perubahan hidup yang lebih baik di masa depan. Dan itu semua dimulai dari David, anak pertama dari 5 bersaudara. Keluargalah penyemangat hidupnya. Dan dia benar-benar yakin, selalu ada celah dari Allah untuk membantu hambaNya. Mana tahu di antara Anda ada yang berminat membantu.
Dan
Dia berlari kencang menelusuri ruang tamu yang cukup besar. Batinku benar-benar mengutuk. Tanpa pkir panjang lagi, aku mengejarnya. Tak peduli, vas bunga yang baru dibeli mama yang terjatuh di senggolnya. Tak peduli, kakiku yang terinjak duri sekali pun. Yang ada dipikiranku, dia harus segera kutangkap. Dia harus segera kuhukum. Kalau tidak, ia makin leluasa di rumah ini.
Tak ada persembunyian di ruang tamu, ia lari ke pekarangan rumah dan dengan gesitnya ia berlari menginjak bunga adelwisku. Darahku semakin menggelegak, tubuhku bergetar. “dasar sial kau!” pekikku. Aku berhenti sejenak melihat bunga yang paling kusayangi itu. Bunga itu pemberian Vidi, mantan pacarku. Mataku semakin panas.
Kembali kucari Dan, tak kudapati lagi dia di pekarangan rumah, kulirik ke arah beranda juga tak ada. Kemana ia? Aku mencari-cari tempat persembunyiannya, di belakang pohonkah? O ow, juga tak ada di sana. bagaimana pun, hari ini aku harus menghukumnya. Segera kucari di dalm rumah.
“Dan keluar!,” teriakku memasuki dapur. Namun, lagi-lagi tak kutemui siapa pun di sini. Kucoba mencarinya di belakang kulkas. Tak ada, tidak ada tanda-tanda keberadaannya. Aku segera berjalan cepat menuju ruang makan, tak ada, yang kulihat hanya pembantu yang sedang merapikan meja setelah makan siang tadi.
“Bik, liat Dan lewat sini nggak?” tanyaku sedikit ngos-ngosan karena capek mengejar dan. Si bibik gelelng-geleng kepala, isyarat bahwa Dan juga tidak ada di sini. Aku pun mulai berhenti berjalan, mencoba berpikir dimana Dan berada. Mataku mulai memperhatika pelosok rumahku. Di pekarangan tidak ada, di dapur juga tak kutemukan, dan begitu juga di ruang makan. Apa mungkin di kamarku? Mustahil, aku sudah mengunci pintu dan jendelaku rapat-rapat. Lalu, dimana Dan bisa kutemukan? Aku mencoba memutar otakku, ups yah! Hanya satu tempat itu yang mungkin.
Aku menuju ruang tamu, aku mengulum senyum. Hanya ini tempat bermainnya selain tiga tempat tadi. Dan ternyata, aku benar. Ia sedang disuapi makanan oleh mamaku. Aku berjalan pelan ingin menangkapnya.
“Ada apa sayang?” Mama menyapaku dengan lembut. Dan kaget setelah melihatku dan segera memeluk mamaku. Mama segera mengendongnya. Aku meringis marah. Dasar manja!
“Ia sudah menuangkan cat ke lukisanku Ma,”kataku berang. Mama malah mengelus-elusnya.
“Dia masih kecil sayang, dia belum begitu mengerti dengan apa yang kau kerjakan, maafkanlah dia,” jawab Mamaku masih mengelusnya lembut.
“Tetap saja dia harus dihukum,” sahutku ingin segera mengambilnya dari pangkuan Mama. Mama mengelak.
“Mama serahkan dia padaku,” pintakku dengan semangat empat lima. Tanganku sudah bergetar ingin menghukumnya.
“Ngeong,” Dan menggubris. Tiba-tiba bel berbunyi.
Ta'aruf
“Assalamu’alaikum ukhti, kuharap kau selalu dalam lindungan Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita. Surat ini kutulis dengan hati bersih, tak ada maksud untuk memutuskan hubungan silaturrahim kita atau malah membuat kita semakin dekat. Selama ini aku mencintaimu. Maaf aku tak pandai dalam berkata-kata, namun, aku berharap kau menjaga hatimu untukku. Izinkan aku berta’aruf denganmu 4 tahun lagi. Sekali mohon jaga hatimu untukku, jika ada rasa yang sama diantara kita. Makasi
wasalam
Aku terpaku. Untuk kesekian kalinya air mataku kembali mengalir. Ya Rabb, ini orang yang dua tahun ini yang kucintai dengan sepenuh hatiku. Banyak hal yang kulalui dengan dia, dan selalu kujaga hatiku selama ini dengan lelaki lain. Sungguh aku ikhlas mencintainya, namun, entah kenapa setelah ada surat ini aku berasa diberi beban. Ada sebuah beban yang mengganjal di hatiku.
“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang di depanku. Suaranya mengalir syahdu, dadaku bergetar dahsyat. Aku pilih menunduk dan menjawab salamnya dengan sebuah bisikan. Kupilih untuk tidak melihat matanya, aku tak kuat.
Laki-laki berjaket hitam itu duduk di sampingku, jarak kami satu meter. Hanya kami berdua yang berada di halte ini. Aku menyadari keadaan ini, aku segera mengambil sesuatu bingkisan dari tasku. Lalu, kuserahkan kepadanya sambil berucap. “ Aku meng-sms mu untuk memulangkan ini,” kataku sembari berdiri, khawatir semakin lama, jantungku yang begerak cepat ini terdengar olehnya. Dia terpengarah sebentar dan sepertinya shock dengan apa yang kulakukan.
“Bisakah kau duduk sebentar dan kita selesaikan dengan jiwa yang tenang?” katanya lembut, matanya menancap relung hatiku. Entah kenapa, mata itu berhasil menghipnotisku, aku langsung duduk. Ingin sebenarnya aku berontak karena dia berhasil membuatku mengikuti kata-katanya. Namun apa daya, aku hanya terdiam membisu terpaku dan walaupun tubuhku sedikit gemetar. Ampuni aku Ya Allah
“Aku lebih memilih mendengarkan celotehanmu daripada kau diam, aku lebih siap mendengar kau marah-marah daripada kau mematikan ponselmu. Aku lebih siap melihatmu menghujatku daripada kau tiba-tiba menghilang dari kampus,” sindirnya halus, tepat mengena sasaran. Oh tidak, jadi benar dia mencariku di kampus.
Jiwaku semakin tak tenang. Aku mengutuk diriku yang masih saja mau mendengar semua celotehannya. Aku meliriknya yang menatap lurus ke depan, tampak mulutnya komat-kamit sedang beristighfar mungkin. Lalu, tiba-tiba perhatiannya beralih ke arahku. Mataku dan matanya bertemu, dadaku semakin berdegup kencang. Dan lagi, dia berhasil membuatku segera tertunduk. Semakin parah kalau aku berada di sini.
Aku segera berdiri tak mempedulikan keberadaannya lagi, masih kudengar penjelasannya tentang surat itu. Masih kudengar keinginannya agar aku menerima bingkisan itu, sebuah kerudung biru. Namun, aku terlalu capek dengan semuanya. Aku sudah muak satu minggu ini memikirkannya. Aku sudah muak dengan semua niat baiknya itu. Aku sudah membahasnya dengan menthorku. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Sungguh ini tak boleh terjadi, aku menghargainya, namun aku lebih menghargai cinta yang kumiliki. Aku mencintainya karena Allah, aku tak mau itu ternoda dengan kekaburan makna ta’aruf itu. Imanku tak sekokoh itu untuk menjaga hati. Ini ranah hati Bung!
Aku segera berjalan menuju kos an, tak kupedulikan lagi suaranya. Tak kupedulikan lagi niat baiknya untuk mengantarkanku pulang. Tak kupedulikan walaupun dia mengikuti dari belakang. Maaf Bung, maaf, ini semua demi kebaikan kita.
***
Aku kembali turun dari bikun dan duduk di halte FKM, kali ini ada seorang cewek di sana, aku memberinya sebuah senyuman manis. Dia membalasnya dan dia kembali sibuk dengan ponselnya di tangannya. Aku pun segera mengeluarkan sebuah kertas dan untuk beberapa kali membacanya. Masih saja rasa muak itu ada di hatiku. Kenapa laki-laki itu masih belum mengerti, padahal dia hafiz, hafalannya jauh lebih baik dariku. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku menatap ke sisi kananku. Aku menatap cowok berjaket hitam itu di sana. Entah angin apa yang membawanya, sehingga aku tak merasakan kehadirannya. Dan dengan lancangnya dia duduk tanpa mengucapkan salam padaku. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti. Aku bersiap-siap ingin menyumpahinya dengan segala kekuatan yang aku punya. Tapi kuulur dulu, tak baik untuk kesehatan jika aku terlalu emosi.
“Kuharap kita sms jika perlu saja, aku tak bisa menerima telpon lagi darimu,” kataku padanya yang sepertinya sedang larut dengan pikirannya. Ia tak bergeming, tetap diam terpaku dan tersenyum menatapku. Oh tidak, apa yang ada dipikirannya.
“Sampai akhir hidupku mungkin,” kataku berharap dia mengucapkan sesuatu untuk membuatnya terperanjat. Namun tidak, ia masih tersenyum seakan-akan tak peduli dengan apa yang kukatakan. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti lagi kenapa dia memperlakukanku seperti ini. Tak tahukah dia bahwa ungkapan cintanya telah mengganggu hatiku. Dia membuatku tak fokus melakukan banyak hal. Jiwaku mulai tak stabil.
“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu menyampaikan semua ini.” kataku dengan nada tinggi, tak mempedulikan cewek di sisi kiriku kaget dengan nada suaraku, peduli amat.
“Kau menyuruhku untuk menjaga hatiku. Namun, hampir setiap malam kau menelponku dan kita membicarakan hal yang tak penting. Bagaimana mungkin aku bisa menjaga hatiku wahai akhi?” kataku panas, bibirku bergetar menyampaikannya, dia masih saja tersenyum menatapku.
“Ta’aruf macam apa yang kau agung-agungkan itu jika kau mengotorinya dengan cara ini,” kataku. Kali ini diam tanpa ekspresi, mungkin dia mulai merasa bersalah. Dan aku tak akan kasihan lagi dengannya. Cukup sudah dia membuatku menderita selama ini.
“Kau tau betul aku juga menyukaimu. Namun haruskah kita menjalaninya dengan ikatan yang seperti ini. kau tau betul ini tak sesuai dengan apa yang kita pegang. Sungguh yang namanya tulang rusuk tak akan bertukar. Semuanya sudah tertulis di lauhul ma’fudzh, kenapa kau seakan-akan takut dengan ketentuan Allah?” tanyaku dengan mata yang mulai panas, berharap ada tanggapan darinya. Dia masih diam, tak bergeming. Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di hatiku. Tapi tidak, aku takkan menangis di depannya, itu bukan aku. Kuharap dia mengerti apa yang kusampaikan. Kuharap dia memaklumi kenapa selama ini aku menjauhinya, kuharap dia paham kalau selama ini aku menjauhinya untuk menjaga kesucian cintaku dan cintanya.
Kutatap wajah yang selama ini kucintai itu, dia masih menatapku tanpa ekspresi, lalu dia tersenyum lagi. Aku menatapnya tak percaya, sungguh apakah dia tak merasa bersalah dengan semua hal yang diperbuatnya. Tak sedikitpun dia mengucapkan kata maaf.
Aku melirik gadis yang ada di sebelahku, gadis itu terpaku menatapku. Lalu air matanya mengalir. Sepertinya gadis ini lebih mengerti perasaanku. Sepertinya dia lebih paham maksud hatiku. Mungkin benar hanya cewek yang mengerti cewek.
“Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya Mbak,” kataku menatap Mbak itu. Dia mengangguk, air matanya mengalir dan entah apa yang mendorongnya, dia memelukku. Aku gusar, apa-apan ini.
“Aya, ini aku Zahra, temanmu. Dia sudah tiada sayang, dia sudah tiada,” katanya. Aku kaku, berusaha memahami pernyataannya.
“A.. aku tak memahami apa yang kau katakan!” kataku marah.
“Dia sudah tiada malam saat kau menemui dia, dan itu sebulan yang lalu, sayang. Dia kecelakan saat mengejarmu,” katanya pelan menusuk jantungku. Aku berontak melepaskan pelukannya. Aku berontak, kutatap cowok berjaket hitam tadi. Oh tidak, cowok berjaket hitam itu tak ada di sana lagi, entah kemana dia pergi. Aku berdiri mencarinya. Aku memangggil-manggil namanya. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada dia.
Lalu aku menatap cewek yang di depanku, aku baru menyadari kalu dia Zahra temanku, aku bahkan baru menyadarinya. Dan kembali aku berusaha memahami kata-katanya. “Kau.. kau bohong, dia tadi masih di sini tadi!” kataku setengah panik. Kutunjuk tempat dimana cowok berjaket hitamku duduk.
“Dia sudah tiada sayang, daritadi aku menemanimu di sini. Kau bicara sendiri, dia tak ada di sana, itu halusinansimu. Ya.. ikhlaskanlah dia,” katanya menatapku.
“Ti.. tidaaaak,” kataku teriak setengah gila. Aku geleng-geleng kepala tak percaya. Aku menatap tempat itu aku memeluk tempat duduk itu, aku merasakan hawa dingin di sana. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku teringat smuanya, cowok berjaket hitam itu mengikutiku di belakang. Aku tak mempedulikannya. Aku segera menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor berkecepatan tinggi menuju ke arahku. Cowok berjaket hitam itu teriak dan semuanya gelap. Lalu, aku melihat darah, aku melihat kepalanya berdarah, aku melihatnya dimakamkan. Aku.. aku... semuanya berputar di kepalaku, semuanya. Tak kusadari air mataku mengalir , tanganku bergetar. Kutatap ketas yang dari tadi kupegang, tak ada apa-apa di sana. Hanya kertas kosong. Aku menatap Zahra. Dia mendekatiku pelan-pelan. Air matanya juga masih mengalir.
“Kau mencintainya karena Allah, sekarang ikhlaskan dia karena Allah,” bisiknya. Aku menengadah dan semuanya gelap.
Harapan Emak di Pusgiwa
"Bukannya kau sudah pensiun?" tanyanya dengan suara gemetar. Aku tersenyum, ada sembilir angin yang membawa kebahagiaan di hatiku. Aku mendekatinya, ternyata ia masih ingat denganku.
"Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya dengan nada yang masih sama, suara yang beberapa hari ini entah kenapa kurindukan, aku membalas pertanyaan itu dengan senyuman.
"Kangen tempat ini, Mak," bisikku halus. Dia tertawa dan sepertinya kembali menghitung beberapa botol air mineral di kulkas itu. Aku terpaku, dia sekaan asyik menghitung botol per botol air mineral itu. Sudah tiga kali dia menghitungnya, dan jumlahnya tentu tetap sama.
"BEM UI tahun kemaren sering ngasih emak hadiah, kemaren dikasi jaket. Seneng rasanya dapet jaket gratis dari mereka, tak tahu kalau yang sekarang," celotehnya tanpa kuminta, aku mengangguk. Memang baru beberapa bulan BEM UI diganti.
"Salam UI juga biasanya ngasih mukena saat lebaran, tapi sekarang nggak lagi, mungkin mereka sudah lupa, atau tak kenal emak," lanjutnya. Kali ini aku menatapnya tanpa kedipan. Lalu senyumku mengembang, dia tetap sama, dengan celoteh itu dengan harapan itu. Kali ini rasa penasaran mengusikku
"Berapa penghasilan Emak sehari?" tanyaku, entah kenapa pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Dia geleng-geleng kepala tersenyum malu. Aku menyesali pertanyaan yang mengganggu comfort zone nya, seharusnya aku memilih diksi yang lebih halus agar dia tak tersinggung. Aku menelan ludah.
"Emak cuma jagain toko ini," katanya menatap mataku, meilih tak menjawab pertanyaanku. Aku mengangguk-angguk, mengunci mulutku.
Semibilir angin kembali menemani kami, tempat ini, tampak lengang, tak ada suara marching band, setahuku UKM itu sedang open recruitment di stasiun UI, beberapa kilo dari sini. Itu berarti mereka takkan membeli air mineral Emak. Anak-anak BEM UI pun tak tampak keluyuran, ruangan sebelahnya juga tampak kosong, bahkan DPM terkunci rapat. Apa yang ditunggu si Emak dengan tempat kosong seperti ini?
"Ini kan bukan fakultas neng, cuma tempat kegiatan mahasiswa, dan MAPALA contohnya juga punya galon, nggak mungkin beli di sini," katanya, sepertinya mengerti apa yang kupikirkan. Aku menghela napas, hatiku berasa teriris, tak mau bertanya lagi. Takut mendengar jawaban miris dari mulut mungil itu.
Namun, dia tak berhenti berciloteh, dia kembali berharap mengingat anak BEM yang juga pernah memberinya baju bekas yang layak pakai, dia bercerita tentang pekerjaannya tiap hari itu, dia gembira berada di sana walaupun ada sebagian kecil mahasiswa yang malah makan kue dan lupa bayar, dan terpaksa dia ganti kue itu dengan gajinya. Dia berharap tahun ini BEM UI dan SALAM UI mengingatnya dan memberinya hadiah. Emak mulai berciloteh panjang lebar, tanpa diminta, tanpa ditanya. Hebatnya, tak kutemukan air mata di sana, yang terjadi malah batinku makin teriris. Air mata mulai mengalir, ketika secara tak sadar dia mengungkap gajinya yang cuma sepuluh ribu per hari, dan dia hidup sendiri. Dia tak punya lagi suami dan juga tak punya anak. Aku menghela napas.
"Tidak, tidak, emak punya anak kok," katanya padaku meralat pernyataannya tiba-tiba. Aku tercengang.
"Siapa?"desakku, ingin mencari anaknya, ingin menghampiri anaknya.
"Anak Emak kan anak BEM," katanya dengan senyuman manis. Aku menatapnya tanpa kedipan. Bergegas segera kutinggalkan tempat itu. Takut air mataku mengalir deras di depannya. Aku menatap ruangan BEM dari lantai bawah, wahai BEM, harapannya ada padamu....
Hasil wawancara Jumat, 4 Maret 2011, jam 13. 45 WIB bersama Puji, data-data tersebut fakta, dan sengaja saya sampaikan dengan cerpen.
11.06.2010
AKU, KAMU, KITA BERSUARA
Depok, 6 November 2010. Menjelang 21 tahun, saya beranikan diri bermain di kancah UI. tak pernah tertarik awalnya. Apalagi, dengan dunia perpolitikan kampus. ketertarikan ini pas tahun lalu, denger-denger ada kandidat yang memalsukan tanda tangan, dan tiba2 H-1 sebelum pencontrengan, dia dinyatakan tidak lolos verifikasi. Shock deh, kok bisa itu terjadi. Dan akhirnya, saya berniat tahun besok harus ikut menjadi panitia dan dengan sok-sok an bermimpi tak akan ada lagi masalah seperti itu.
Dan panggilan hati itu pun terkabul, Mursyid Fadillah yang nama kerennya Ucid mengajak saya untuk bergabung untuk PEMIRA IKM UI. Sungguh luar biasa, ada keberanian dari sosok yang baru saya kenal ini. beliau punya keberanian untuk menyatakan diri, “Gw mo maju nih buat PEMIRA 2010, lo mau ikutan gag?” tanyanya dengan semangat ’45. Dan menurut saya, ini jalan menuju mimpi itu. Ingin sekali memajukan Indonesia ke arah lebih baik. Ingin sekali melihat semua anak tersenyum tanpa beban memikirkan “sore ini, saya makan apa ya?”. dan saya tak ingin melihat lagi dari jalan kober ke gunadharma, ada ibu-ibu yang menggendong anaknya, sementara di sisi kanannya, ada anak lain yang menangis-nangis kehausan sambil berkata, “Bu, laper bu.” Dan tiba-tiba, ada sebuah mobil hitam mengkilap melaju dengan kencang, tak sengaja melindas si kecil tadi. Bukankah untuk merubah sesuatu yang besar itu dimulai dari sesuatu yang kecil. Jika saya ingin memajukan Indonesia, kenapa tak dimulai dengan pemilihan pemimpin yang baik di ranah UI, salah satu kampus terbaik di Indonesia, dan yang paling penting merupakan cikal bakal pemimpin Indonesia. Ini waktunya!!!
Kami membawa visi, PEMIRA kali ini tak hanya untuk kaum elitis. Tak ada lagi, kata-kata apatis. PEMIRA untuk rakyat dan ini dia pesta rakyat. Dimana-dimana orang-orang sibuk ngomongin PEMIRA. Tak hanya di pusgiwa, tak hanya di kelas politik, tak hanya di ruangan BEM da BPM. Tak hanya di ruangan Himpunan Jurusan. Namun, semua orang ngomongin PEMIRA sambil makan kacang dan minum kopi. Di takor di kancil, di Kansas, di kantek, di semua kantin orang ngomongin PEMIRA. Karen PEMIRA bukan milik BEM atau DPm atau orang2 yang hiperaktif di UI. PEMIRA milik semua. Semua orang punya hak suara di sini, mau vokasi, d3, regular maupun nonreguler. Semua orang punya hak suara untuk menyatakan pendapat. Semua orang punya hak untuk mendapat pencerdasan politik. Semua kalangan belajar politik.
Tapi, akankah ini berhasil? Kami selalu bersuaha dan mencoba. Baru grand launching menyebarkan 1000 pin ke semua fakultas di Depok dan Salemba. Kemaren, 5 November ngumpul tanda tangan untuk kritik dan saran teman2 buat UI dan berhasil ngumpulin 500 tanda tangan di stasiun UI. Baru beberapa kali ganti status di facebook dan tweets di tweeter. Itu belum seberapa, ada sekitar 40.000 mahasiswa yang mesti tahu apa itu PEMIRA, pemilihan BEM, anggota independent DPM dan MWA ini. ada 40.000 orang yang punya hak untuk pencerdasan politik dari panitia. Itu tanggung jawab panitia karena kami pelayan public. Kami harus siap dicecar, kami harus siap capek, kami harus siap digenjot, kami harus siap dengan semau kodisi yang paling buruk. Karena ketika kami sudah mengatakan, “Ok kami maju untuk PEMIRA IKM UI 2010!!” Pada saat itu, kami sudah mengambil pilihan yang akan kami pertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Harapan kami semua orang bersuara di sini, ingin kami semua ikut tercerdaskan. kami akan tetap berusaha, berdoa dan bertawakal. Besar harapan kami, teman ikut membantu berjuang di sini. Cukup dengan nyontreng pada tanggal 29 November- 3 Desember 2010. Pelajari peserta yang ada, apakah mereka pantas memimpin UI yang sangat besar, apa visi yang mereka bawa, apa benar mereka siap bekerja. Karena mimpi kami, AKU, KAMU, KITA BERUARA. Vice PO PEMIRA IKM UI 2010
4.22.2009
Siapa yang harus Kutanya
Memang teori yang gue dapet dari psikologi komunikasi ini sangatlah kontroversial. Banyak yang menolak akan teori ini, namun yang menolak pun berbalik arah untuk mendukung. Agak gila sih ya, tapi tujuan teori ini untuk menjelaskan kenapa anak cewek bertingkah laku mirip nyokapnya dan kenapa anak cowok bertingkah laku mirip bokapnya. wal;aupun sebenarnya yang mempengaruhi indiidu itu banyak sekali, mulai dari lingkungan sekitar sampai dengan media yang semakin hari malah semakin berkembang. :)
3.25.2009
Mataku Dimata-matai
"Silahkan keluarkan kertas ulangan!" perintah Bu Susi.
Ke.. kertas? Kukernyitkan dahiku sambil menoleh ke sekelilingku. Teman sekelas sibuk mengambil kertas dari tas. Menit berikutnya, kudengar deretan bunyi robekan. Aku membelalak kaget. Apa-apaan ini!?
Kupaksa otak kecilku untuk memberi penjelasan akan hal ini. Dasar otak yang memang sulit diajak kompromi, dia tak menerangkan apa pun. Aku mendesah panjang dengan beribu tanda tanya kutatap guruku. Masih tak kutemukan jawaban. Kulihat, Meta teman sebangkuku sedang menulis namanya di lembaran kertas itu. Ya Tuhan, jangan-jangan…
"Kita ulangan ya?" tanyaku meringis. Ayo, katakan “tidak” teman. Jangan sampai itu terjadi. Jantungku berdetak dahsyat. Keringatku mulai ke luar. Kutatap raut wajah itu dengan seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Hasilnya, gadis jilbaber itu mengangguk dan dilengkapi dengan jawaban ya. Innalillah!
Segera kucari memo kecil di dalam tas. Beberapa saat kemudian, memo itu sudah berada di tanganku. Semuanya ada di sini. Jadi kalau ada ulangan pasti ada di sini. Jika tak kutemukan memo ini yang salah.
Kubuka halaman demi halaman, kutemukan tulisan UH KWN yang ditulis dengan huruf paling besar. Malah kutulis dengan tinta merah. Edan! Aku melupakan ulanganku. Salahku tidak membuka memo ini. Hah! Hari-hariku selalu saja dihabiskan dengan skenario, skenario dan skenario. Oh mama, anakmu mendadak dangdut, salah maksudku mendadak pikun.
"Ada apa Zahra?"
Mataku menuju Bu Susi yang melantunkan pertanyaan itu. Guru muda itu memperhatikanku. Ya, tentu saja dia memperhatikanku karena aku sedang menopang dagu seperti anak kambing kebingungan. Ah, aku pasti kelihatan bodoh. Segera kuturunkan kedua tanganku.
"Lagi patah hati tuh, Bu," cerocos Sigit, siswa yang berpredikat nomor satu dalam remedial. Teman-temanku tertawa. Sialan! Bu Susi senyum-senyum padaku, aku pun jadi malu. Aduh, aku benar-benar mendadak dangdut nih.
"Enak saja, makan tuh patah hati!" umpatku dengan suara berbisik. Meta mengembangkan senyum. Nih anak memang anti pacaran, jadi dia senang kalau mendengar temannya putus cinta. Dasar!
"Apa kamu sakit Zahra?" tanya Bu Susi yang masih memperhatikanku. Sakit!? Nah, ini ide bagus untuk mengelabui guru baru ini. Cukup dengan mengucapkan kata "ya" semuanya pasti beres. Tinggal ujian susulan. Yes!
Tunggu, Ujian susulan? Tidak! Tidak Zahra, itu yang paling menakutkan. Otakmu tidak secermelang itu. Kau makhluk sosial yang sangat membutuhkan orang lain. Ini langkah yang berbahaya, Zahra.
Pusing kepalaku, lalu solusinya apa? Apa yang harus kulakukan untuk menghadapi musibah ini? Mataku tertuju kepada Riota yang duduk di samping kananku. Kebetulan atau mungkin sudah jodoh, dia melirikku. Waktunya pasang aksi, kukeluarkan senyum jitu berharap mantan pacarku itu menangkap sinyal dariku. Akan tetapi, apa yang terjadi saudara-saudara!? Dia mengalihkan pandangannya.
Aku geram, ini penghinaan terhadap kaum Kartini. Kubalas sakit hatiku dengan cibiran sepanjang-panjangnya. "Apa lidahmu sakit, Zahra?" kembali suara Bu Susi bergema dan mengagetkanku.
Kurasakan tiga puluh pasang mata sedang memperhatikanku. Sialan, kenapa si Ibu sok perhatian hari ini? Kukeluarkan senyum yang manis sekali. "Tidak Bu, saya cuma latihan pernapasan untuk mengurangi stres," jawabku diiringi senyum lima sentimeter. Teman-temanku tertawa. Huh! Enak ya kalian dapat hiburan menjelang ujian dan aku ketiban sial.
Riota kembali menatapku. Dapat kutangkap gurat-gurat kesedihan di wajahnya. Memoriku mengajakku untuk kembali ke masa setengah jam yang lalu.
"Kenapa harus dengan dia?" dia mulai menghardik. Aku tersenyum sewot. Sejak kapan Riota pandai menghardikku.
"Lalu dengan siapa?" tanyaku garang.
"Kau kan bisa jalan dengan temanmu," jawabnya tak kalah garang.
"Apa salahnya jalan dengan Erik? Dia kan juga temanku," belaku mulai emosi. Toh, aku benar-benar cuma membicarakan skenarioku dengannya. Erik berencana mementaskan skenarioku.
"Jelas salah, aku ini pacarmu!" teriaknya menekankan kata 'pacar.' Beberapa orang teman yang lalu lalang menatap kami. Terutama dua penggosip yang dari tadi mengintip kami dari balik kaca kelas sebelah.
Sialan! Cowok ini sok berkuasa di depan teman-temanku. Pakai teriak segala. Dia pikir aku ini tuli apa. Balas Zahra, dia harus merasakan bagaimana sakitnya kau diperlakukan seperti ini.
"Pacar katamu!?" tanyaku melototi mata itu. Tidak ada kata kalah. Aku harus bela diri.
"Apa kamu lupa, perlu kuingatkan!?" dia balas melotot. Sinting, berani juga nih cowok. Darahku menggelegak. Aku ini tidak pikun. Balas Zahra, dia harus tahu ini zaman emansipasi wanita. Tidak ada kata takut pada lelaki, tidak ada kata tunduk pada cowok. Apalagi lelaki seperti ini. Apa yang dia ketahui tentang sakit hati yang kau pendam selama ini? Hah, yang dia tahu cuma rumus-rumus Fisika.
"Kamu ngaku pacar!?" tanyaku meremehkannya.
"Maksudmu?" dahinya berkernyit. Jadi, dia benar-benar tidak mengetahui sakit yang lama kupendam.
"Buktinya apa, Rio!? Kau malah sibuk dengan bukumu, dengan komputermu dan dengan prestasimu. Kau tidak pernah peduli padaku. Apa ini yang kau katakan pacar?" kukeluarkan uneg-uneg di dada. Kurasakan mataku mulai panas. Hai, tidak ada kata menangis untuk seorang lelaki. Kau tidak sebodoh itu. Kupandangi wajahnya, dia hanya bisa diam dan mata itu kelihatan terluka.
Riota masih menatapku. Kuambil kesempatan ini untuk tersenyum dengan harapan dia membantuku ketika ujian. Alhasil, si tampan itu berubah sewot. Aku menghela napas sepanjang-panjangnya. Sabar neng Zahra! Sabar.
Apa lagi yang kau tunggu Zahra. Ah, aku harus ulangan harian. Segera kuambil sebuah buku. Kubuka bagian tengahnya yang masih putih bersih. Kurobek kertas itu diiringi perasaan kesal. Sialan! Kertas itu balas dendam, dia benar-benar robek. Kuremas-remas kertas itu dengan semangat '45. Mataku memanah Riota yang menulis namanya di lembar soal.
Makan nih kertas, kulempar ke arah Rio. Entah kenapa aku benar-benar muak ketika kembali kuingat gaya bicaranya tadi pagi.
"Tetapi Ra, aku sedang mempersiapkan diri untuk olimpiade nasional, Sayang," dia kembali merajuk.
Sayang? Kukunyah-kunyah kata-kata itu. Dari kamus mana kau temukan kata itu? Tiba-tiba saja perutku terasa mual. Aku benar-benar jijik mendengar rayuan Riota. Aku tak habis pikir, kenapa dia memperlakukanku seperti itu. Apa yang membuat sifat dinginnya hilang dan berganti dengan kegombalan. Aku benci itu. Aku sangat membenci rayuan itu!
Yes, kertas itu tepat mengenai kepalanya. Syukur, memang inilah balasan bagi orang yang diberkahi ilmu tetapi pelit. Wajahnya memerah, aku tersenyum centil. Kumainkan jemariku, kasihan.
Cowok pelit itu melotot, sementara diriku tersenyum penuh kemenangan. Riota sepertinya marah besar, dia mengalihkan pandangannya. Dia tak lagi peduli padaku. Heh cowok pelit, aku juga tidak akan peduli padamu.
Perhatianku bertransmigrasi ke arah Meta. Dia mengakhiri doanya. Aku menyikut gadis itu. "Mohon bantuannya," pintaku dengan nada selemas-lemasnya. Gadis jilbaber itu angkat bicara. "Soal kita berbeda, aku kelompok A dan kamu kelompok B," jelasnya.
"A.. apa!?" pekikku tertahan. Ibu guru, kau kejam sekali. Teganya dirimu melakukan ini padaku.
"Lagi pula Zahra tahukan kalau mencontek itu cikal bakal korupsi dan pastinya dilarang agama kita," jawabnya tegas.
Gila, aku salah orang. Bodoh! Mana mungkin dia mau menolongku. "Mencontet itu perbuatan yang diharamkan Allah. Allah sangat memurkai orang-orang yang berbuat tidak jujur. Apa kamu tidak takut akan murkanya Allah?" rentetan kalimat serupa yang sering keluar dari mulut Meta.
Soal mulai dibagikan. Ah, tenang Zahra, biasanya soalnya kan berbentuk objektif. Jadi kamu jangan terlalu cemas. Mainkan saja nalarmu.
Aku tersenyum, kuterima soal dari Bu Susi. Allah bantu aku ya. Kulihat soal itu. Innalillah! Objektif itu mustahil ada, sebab di tanganku ada sepuluh soal essay yang seakan-akan menertawaiku.
Bu Susi kembali duduk di kursinya. Aku meringis membaca soal. Ya jelas, toh aku jarang memperhatikan guru menerangkan pelajaran. Otakku error, loading… loading. Semua temanku mulai mengerjakan soal. Sementara aku masih berdiskusi dengan otakku.
Kau tidak boleh menyerah Zahra. Tidak satu jalan ke Roma. Pasti ada cara lain yang dapat kau lakukan. Jangan biarkan reputasimu yang mulai harum karena skenariomu menjadi jelek. Masa, anak SMA kewarganegaraannya remedial. Ah, aku warga negara yang baik.
Teman di sekelilingku keasyikan menjawab soal itu. Aku tidak bisa mengharapkan mereka. Aku harus berusaha sendiri. Mataku tertuju kepada laci meja.
La.. laci, iya ini episode terakhir penyelamatanku. Hore, aku berhasil menemukannya. Engkaulah satu-satunya yang bisa menyelesaikan masalahku. Aku harus open book. Semua beres.
Tanpa pikir panjang lagi, kusambar buku catatanku dari tas. Namun, tanganku bergetar hebat. Segera kumasukkan buku itu ke dalam laci. Ah, aku berkeringat. Tenang Zahra, kau mampu melakukannya. Bu Susi tidak akan mengetahuinya. Ya, tentu saja dia tidak mengetahuinya karena dia jauh di depan sana. Sekarang, kendalikan dirimu, mari buka buku itu pelan-pelan.
Kubuka halaman demi halaman. Mulai kutemukan jawaban dari soal yang tadi sempat kubaca. Segera kusalin, tiga soal selesai kujawab. Nafasku tidak beraturan, kupaksa untuk melanjutkan petualanganku.
"Apa kamu yakin dengan pilihanmu?" suaranya dekat. Aku terperanjat, tanganku refleks memasukkan buku itu ke dalam laci. Jantungku berdetak tak karuan. Aku melototi wajahnya.
"Meta, jangan membuatku jantungan!" bisikku ingin mengunyah gadis itu.
"Maaf, tetapi hal ini amatlah dimurkai Allah, Zahra," lagi-lagi kudengar kalimat itu. Susah punya teman seperti ini. Dia tidak memahami kekhawatiranku. Jadi dia pikir aku senang melakukannya? Hah, sudah Zahra bukan waktunya bertengkar. Aku menghela nafas panjang. Aku harus menjawabnya sebijak mungkin.
"Meta, tidakkah Allah menyuruh hambanya untuk berusaha dan berdoa. Aku sudah berdoa dan sekarang giliran berusahanya," jawabku tanpa segan lagi. Gadis itu menggeleng kepadaku.
"Ra!"
Aku melirik Riota. Apa juga maunya tuh cowok? Dia melemparkan sebuah kertas kecil kepadaku, aku menangkapnya. Apa dia mau minta bantuan? Haha, akhirnya cowok pintar itu mencontet. Tenang saja, aku tidak akan menolongnya.
Aku tersenyum ceria. Kubuka kertas itu. Senyumku pupus sudah. Mataku membelalak. Isinya Open Book itu berbahaya. Aku akan menolongmu dengan syarat kita balik. Riota menatapku penuh arti. Sama seperti pandangan yang kutatap tadi.
"Oke, kalau begitu urus saja buku-bukumu kejar prestasimu sampai ke liang lahat. Kudoakan kau bertemu Einstein," kataku setengah mengejek, dia diam. Aku harus melakukannya tetapi dari sudut yang lain aku enggan melakukannya. Kusimpulkan, cowok sombong ini harus diberi pelajaran. Kuhela napas "dan… kita putus!" lanjutku ketus. Aku tidak sanggup melihat matanya,. Segera kuberlari ke dalam kelas. Lagi-lagi dia memegang erat tanganku. Aku harus kuat. Kembali kubalikkan wajahku.
"A.. aku tidak minta kita putus," katanya. Aku nyaris menangis. Tahan Zahra.
"Aku yang minta," kujawab gusar.
"Te.. tapi a.. aku…"
Ya Allah matanya sendu. Jangan terhipnotis, Zahra. :Lupakan kehangatan mata itu. "Aku bosan. Sudah, lepaskan aku!" teriakku. Dia melepaskan tanganku. Aku tidak boleh melihat matanya. Aku tidak boleh memandangnya.
"A… aku."
Tidak kuhiraukan lagi suara itu. Aku segera memasuki kelas. Namun, puluhan pasang mata memperhatikanku tiada henti. Mereka menjadi saksi kandasnya cintaku. Aku berusaha tenang dan tenang. Segera kududuki kursi paling belakang. Setelah itu kudengar bel berbunyi.
Tak dapat kupungkiri hatiku dag dig dug tak karuan mendapat surat mungil ini. Riota mengajak balik. Ini kesempatan kembali dengannya. Aku tidak munafik, aku menyukainya. Ah, lebih cocok dibilang sangat mencintainya.
Tidak, kau tidak boleh menerimanya dulu, Zahra. Ada waktunya baikan, tetapi tidak sekarang. Aku mendesah panjang. Ayolah, aku harus menjawab apa!?
Kutulis sebuah kata tidak, lalu kulempar padanya. Dia meringis. Aduh, kejamnya diriku. Lagi-lagi aku melukainya. Sudah, jangan hiraukan dia Zahra. Banyak yang harus kau lakukan. Tak ada waktu untuk mengurus cowok itu. Lain kali saja. Kembali kupandangi buku. Kucari jawaban untuk pertanyaan selanjutnya.
*********
Bel masuk kembali berbunyi. Ini hari yang kami tunggu-tunggu. Pengumuman nilai ulangan harian KWN. Sebenarnya aku tidak meragukan lagi nilaiku. Ya, angka delapan kupastikan akan menjadi milikku.
Bu Susi masuk hari ini beliau memakai baju biru. Biru, itu warna kesukaan Riota. Riota, hanya dia ada dipikiranku. Sekarang dia sudah ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade Fisika. Baru dua hari yang lalu dia pergi. Riota, aku benar-benar kangen padamu.
Bu Susi meletakkan buku-bukunya. Setelah itu, perhatiannya tercurah padaku. Dia tersenyum manis. Ha!? Aku mencoba membalas senyumnya.
"Baiklah anak-anak, ini berita duka bagi kalian," ucapnya. Semua temanku spontan bersorak. Aku berusaha tenang. Apa maksudnya si Ibu tersenyum padaku. Ya, kurasa hanya padaku. Tidakkah itu aneh?
"Kalian semua remedi," katanya. Kami berteriak ngeri.
"Kecuali kamu Zahra," ucapnya. Mata teman-teman menatapku. Aku segera merunduk. Sialan, kenapa musibah ini menimpaku? Teman-temanku bertepuk tangan ceria. Aku meringis dan hanya bisa meringis. Kutatap Meta dengan penuh arti, tolong aku teman. Apa yang harus kulakukan?
"Aku benar-benar menyesal. Apa yang harus kulakukan?" tanyaku. Air mataku terurai pada jam istirahat. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi. Kalau aku tahu teman-teman juga lupa ulangan itu. Aku pasti tidak akan open book. Aku sendiri yang lulus dengan nilai maksimal, sembilan lagi.
"Sudahlah, Zahra. Semua sudah terjadi. Apa boleh buat," Meta berusaha menyabarkanku. Aku segera menghapus air mataku. Malu aku kalau sampai ketahuan oleh teman-teman. Mereka pasti mencercaku.
"A.. apa yang harus kulakukan?" tanyaku lagi. Gadis itu menatapku penuh kelembutan. Sudah dua tahun aku bersahabat dengannya. Selama ini memang kukenal dia gadis yang penuh kelembutan.
"Mungkin kamu harus memperbaiki kesalahanmu," ungkapnya. Aku mendadak pucat.
*******
"A.. apa kabar Rio?" tnyaku sedikit gugup. Apa dia mau memaafkanku? Kalau tidak bagaimana? Sudahlah, jangan pikirkan itu dulu. Apa pun yang terjadi. Aku harus menanggung sendiri konsekuensinya.
"Baik, kamu bagaimana?" dia menjawabnya dengan ramah. Setidaknya ini awal yang baik.
"A.. aku," jawabku. Cengeng! Kenapa aku menangis. Ini memalukan.
"Apa kamu menangis karena kau lulus kewarganegaraan itu?" tanyanya. Spontan aku ternganga.
"Ba.. bagaimana Rio bisa mengetahuinya?" tanyaku. Kupegang erat ponsel yang berada di telingaku.
"Tentu saja aku mengetahuinya."
Srrr, kembali rasa itu menggangguku. Hatiku bergetar tidak karuan. Tenanglah, Zahra. Aku benar-benar harus tenang. Suaraku tidak boleh bergetar Kupilih untuk diam tidak bersuara.
"Halo Zahra,"
"I.. iya aku masih di sini," kataku.
"Menurutku, lebih baik kamu mengakuinya dihadapan Bu Susi," kurasa dia sengaja mengganti topik.
"Be.. begitukah? Meta juga bilang begitu. Cu.. cuma aku ingin menanyakan sesuatu?' kembali aku gugup.
"Apa?" nada suaranya sangat biasa.
"Mungkinkah kau balas dendam padaku?"
Dia tertawa. Hah, jangan menertawaiku Rio. Aku benar-benar malu. Bayangkan saja nilaiku lebih tinggi darimu. Aku benar-benar tidak menyangkanya. Bagaimana mungkin seorang Riota bisa remedial.
Pikiranku menganggap Riota sombong sangatlah salah. Dia menjawabnya sangat sederhana. Setiap orang mempunyai kelebihan yang mungkin berbeda. Riota mungkin mampu dalam bidang Fisika, Meta mampu dalam bidang agama. Dia mengakui juga kalau aku sangat berbakat dalam bidang pembuatan skenario.
Aku sangat gembira. Hari ini, detik ini Riota kembali meminta agar kami berteman seperti biasa. Dia meminta maaf akan kesalahan yang dia lakukan selama ini. Dia mengaku masih mencintaiku. Tetapi, dia belum yakin untuk pacaran dulu. Dia harus fokus pada fisika. Aku menjawab mengerti dan meminta maaf juga atas kata-kataku yang sering melukainya.
Aku juga berjanji, besok aku akan menemui Bu Susi. Aku akan mengakui kalau hasil ulangan itu bukan hasil pemikiranku. Aku akan menerima konsekuensi yang ada.
Tiba-tiba saja sebuah kalimat Meta kembali merasuki pikiranku. "Zahra, terkadang kita tidak menyadari. Kalau dari berbagai arah mataku, matamu dan mata kita sedang dimata-matai"
"Kau aneh, Zahra. Siapa yang memata-matai kita," tanyaku ketika itu.
"Ilahi yang bersemayam di 'Arsyi" jawabnya. Aku mengulum senyum. Terima kasih Allah, engkau memberikan teman yang mengingatkanku akan dunia dan akhiratku.
Main Demo-demoan
Aku menatap kerumunan mahasiswa yang berteriak lantang menyerukan semangat anti kenaikan BBM. Di tangan mereka kulihat tulisan yang sudah mendarah daging di kalangan mahasiswa beberapa bulan ini “Turunkan BBM,” “Jangan Menyiksa Rakyat,” dan tulisan tragis yang lain.
Aku menghembuskan nafas dan pélan-pelan kuhirup bau bahan bakar bus yang menyengat. Sementara tangis bayi mungil yang di pangku ibunya semakin menjadi-jadi. Lebih parahnya lagi mereka duduk di sampingku. Oh, tersiksanya telingaku.
Nyaris inginku kunyah bayi itu. Namun, wajahnya yang suci itu akhirnya mengalahkan kemarahanku. Kulihat matanya sedang mengamati kerumunan mahasiswa. Entah apa yang sednag dipikirkannya. Mungkin dia sedang menangisi calon-calon pemimpin bangsanya yang hobi berdemo.
Bus masih diam, tak ada yang tahu kapan bus ini akan jalan. Kusimpulkan untuk segera keluar. Kurelakan uang enam ribuanku lenyap karena sudah kubayar ke kondektur. Aku minta turun, kerongkonganku sudah kering.
Dari luar bus, kulihat barisan kendaraan yang berjalan tertatih-tatih. Aktifitas jalan raya macet dan penyebabnya adalah calon-calon pemimpin bangsa Idonesiaku tercinta. Kulihat seorang cowok yang dari tadi mengomandokan acara demo-demoan itu.
Tanpa pikir panjang lagi kualihkan pandanganku. Kutuju sebuah warung kopi di pinggiran jalan. Sampai di sana kupinta sebuah botol air minum.
“Minumannya satu, Pak,” pintaku. Kerongkonganku benar-benar kering. Si Bapak segera memberikan sebotol minuman, segera kuteguk. Si bapak sibuk membereskan dagangannya. Aku menatap jam tanganku.
“Masih siang lo, Pak. Kok sudah mau tutup? Ini kan rejeki nomplok, Pak,” kataku lalu kulihat ratusan mahasiswa yang kali ini bakar kayu di tengah jalan.
“Nomplok apanya Neng. Merekanya pada puasa makan dan minum. Katanya sih, supaya keinginan mereka dikabulkan,” jawab si Bapak warung kopi.
Gila, kenapa gak sekalian puasa beneran aja. Yah, setidaknya mereka bisa menguasai nafsu mereka. Agar tidak ada lagi, bakar membakar seperti ini. Sudah meningkatkan global warming, tambah lagi pemborosan BBM.
Kukeluarkan ponselku, kuketik sebuah sms. “Sekalian aja bakar dirimu,” kukirim ke cowok jangkung yang sekarang menjadi ketua besar demo itu. Kulihat dia merogoh sakunya. Lalu, matanya mencari-cari wajahku.
Aku tersenyum pahit. Lalu kembali kuperhatikan si Bapak. Kakiku lumayan pegal, aku segera duduk.
“Neng, mahasiswa ya? Kok gak ikutan demo?” pertanyaan itu seolah-olah menyindirku. Aku tersenyum masam, apa harus kujawab kalau yang ketua besar demo itu pacarku dan baru saja hubungan kami putus karena dia masih senang berdemo ria. Si bapak memperhatikanku, dia meninggalkan pekerjaannya.
“Ya bagus Nengnya gak ikutan. Saya tahu tujuan mereka baik kok Neng. Namun lebih baik lagi kalau mereka belajar sungguh-sungguh dan berlomba-lomba membangun negeri ini,” katanya. Aku termangu.
“Saya tau BBM menyusahkan mereka, bahkan menyusahkan seluruh lapisan masyarakat kita. Tapi ya… mau gimana lagi, pemerintah toh juga pusing tujuh keliling mencari solusi lain. Pemerintah mana yang mau mencelakakan rakyatnya, setidaknya mereka harus mengambil keputusan dengan hati-hati agar pemerintahan mereka tidak runtuh,” kalimat si Bapak barusan membuatku mati kutu. Aku tersenyum nyentrik. Bapak warung kopi saja bisa berpikiran positif, kenapa pacarku yang IP-nya selalu diatas 3 berpikiran kampungan? Kembali kulumat-lumat sususnan kalimat bapak tadi.
Lalu entah apa yang terjadi, refleks aku berlari menuju si Ketua demonstran tadi. Aku mendengar pidatonya yang berapi-api. Kulewati kerumunan mahasiswa itu yang rata-rata dari mereka sangat kukenal. Aku tepat berdiri di depan mantan pacarku itu. Dia diam, semua mahsiswa juga diam. Kurebut mikrofonnya.
“Hidup Indonesia!
Hidup Ilmu Pengetahuan!
Hidup Kampus!
Hidup bapak warung kopi!”
Semua kerumunan itu diam. Aku menatap mantan pacarku dan sebuah kalimat meluncur dari mulutku. “Lebih baik pidatomu seperti ini,” kataku.
(Cerpen gw di OKK UI)
3.11.2001
Ta'aruf
“Assalamu’alaikum ukhti, kuharap kau selalu dalam lindungan Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmatnya kepada kita. Surat ini kutulis dengan hati bersih, tak ada maksud untuk memutuskan hubungan silaturrahim kita atau malah membuat kita semakin dekat. Selama ini aku mencintaimu. Maaf aku tak pandai dalam berkata-kata, namun, aku berharap kau menjaga hatimu untukku. Izinkan aku berta’aruf denganmu 4 tahun lagi. Sekali mohon jaga hatimu untukku, jika ada rasa yang sama diantara kita. Makasi
wasalam
Aku terpaku. Untuk kesekian kalinya air mataku kembali mengalir. Ya Rabb, ini orang yang dua tahun ini yang kucintai dengan sepenuh hatiku. Banyak hal yang kulalui dengan dia, dan selalu kujaga hatiku selama ini dengan lelaki lain. Sungguh aku ikhlas mencintainya, namun, entah kenapa setelah ada surat ini aku berasa diberi beban. Ada sebuah beban yang mengganjal di hatiku.
“Assalamu’alaikum,” sapa seseorang di depanku. Suaranya mengalir syahdu, dadaku bergetar dahsyat. Aku pilih menunduk dan menjawab salamnya dengan sebuah bisikan. Kupilih untuk tidak melihat matanya, aku tak kuat.
Laki-laki berjaket hitam itu duduk di sampingku, jarak kami satu meter. Hanya kami berdua yang berada di halte ini. Aku menyadari keadaan ini, aku segera mengambil sesuatu bingkisan dari tasku. Lalu, kuserahkan kepadanya sambil berucap. “ Aku meng-sms mu untuk memulangkan ini,” kataku sembari berdiri, khawatir semakin lama, jantungku yang begerak cepat ini terdengar olehnya. Dia terpengarah sebentar dan sepertinya shock dengan apa yang kulakukan.
“Bisakah kau duduk sebentar dan kita selesaikan dengan jiwa yang tenang?” katanya lembut, matanya menancap relung hatiku. Entah kenapa, mata itu berhasil menghipnotisku, aku langsung duduk. Ingin sebenarnya aku berontak karena dia berhasil membuatku mengikuti kata-katanya. Namun apa daya, aku hanya terdiam membisu terpaku dan walaupun tubuhku sedikit gemetar. Ampuni aku Ya Allah
“Aku lebih memilih mendengarkan celotehanmu daripada kau diam, aku lebih siap mendengar kau marah-marah daripada kau mematikan ponselmu. Aku lebih siap melihatmu menghujatku daripada kau tiba-tiba menghilang dari kampus,” sindirnya halus, tepat mengena sasaran. Oh tidak, jadi benar dia mencariku di kampus.
Jiwaku semakin tak tenang. Aku mengutuk diriku yang masih saja mau mendengar semua celotehannya. Aku meliriknya yang menatap lurus ke depan, tampak mulutnya komat-kamit sedang beristighfar mungkin. Lalu, tiba-tiba perhatiannya beralih ke arahku. Mataku dan matanya bertemu, dadaku semakin berdegup kencang. Dan lagi, dia berhasil membuatku segera tertunduk. Semakin parah kalau aku berada di sini.
Aku segera berdiri tak mempedulikan keberadaannya lagi, masih kudengar penjelasannya tentang surat itu. Masih kudengar keinginannya agar aku menerima bingkisan itu, sebuah kerudung biru. Namun, aku terlalu capek dengan semuanya. Aku sudah muak satu minggu ini memikirkannya. Aku sudah muak dengan semua niat baiknya itu. Aku sudah membahasnya dengan menthorku. Aku sudah memikirkannya matang-matang. Sungguh ini tak boleh terjadi, aku menghargainya, namun aku lebih menghargai cinta yang kumiliki. Aku mencintainya karena Allah, aku tak mau itu ternoda dengan kekaburan makna ta’aruf itu. Imanku tak sekokoh itu untuk menjaga hati. Ini ranah hati Bung!
Aku segera berjalan menuju kos an, tak kupedulikan lagi suaranya. Tak kupedulikan lagi niat baiknya untuk mengantarkanku pulang. Tak kupedulikan walaupun dia mengikuti dari belakang. Maaf Bung, maaf, ini semua demi kebaikan kita.
***
Aku kembali turun dari bikun dan duduk di halte FKM, kali ini ada seorang cewek di sana, aku memberinya sebuah senyuman manis. Dia membalasnya dan dia kembali sibuk dengan ponselnya di tangannya. Aku pun segera mengeluarkan sebuah kertas dan untuk beberapa kali membacanya. Masih saja rasa muak itu ada di hatiku. Kenapa laki-laki itu masih belum mengerti, padahal dia hafiz, hafalannya jauh lebih baik dariku. Entah apa yang ada di pikirannya.
Aku menatap ke sisi kananku. Aku menatap cowok berjaket hitam itu di sana. Entah angin apa yang membawanya, sehingga aku tak merasakan kehadirannya. Dan dengan lancangnya dia duduk tanpa mengucapkan salam padaku. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti. Aku bersiap-siap ingin menyumpahinya dengan segala kekuatan yang aku punya. Tapi kuulur dulu, tak baik untuk kesehatan jika aku terlalu emosi.
“Kuharap kita sms jika perlu saja, aku tak bisa menerima telpon lagi darimu,” kataku padanya yang sepertinya sedang larut dengan pikirannya. Ia tak bergeming, tetap diam terpaku dan tersenyum menatapku. Oh tidak, apa yang ada dipikirannya.
“Sampai akhir hidupku mungkin,” kataku berharap dia mengucapkan sesuatu untuk membuatnya terperanjat. Namun tidak, ia masih tersenyum seakan-akan tak peduli dengan apa yang kukatakan. Aku geleng-geleng kepala tak mengerti lagi kenapa dia memperlakukanku seperti ini. Tak tahukah dia bahwa ungkapan cintanya telah mengganggu hatiku. Dia membuatku tak fokus melakukan banyak hal. Jiwaku mulai tak stabil.
“Aku tak mengerti apa yang ada dipikiranmu menyampaikan semua ini.” kataku dengan nada tinggi, tak mempedulikan cewek di sisi kiriku kaget dengan nada suaraku, peduli amat.
“Kau menyuruhku untuk menjaga hatiku. Namun, hampir setiap malam kau menelponku dan kita membicarakan hal yang tak penting. Bagaimana mungkin aku bisa menjaga hatiku wahai akhi?” kataku panas, bibirku bergetar menyampaikannya, dia masih saja tersenyum menatapku.
“Ta’aruf macam apa yang kau agung-agungkan itu jika kau mengotorinya dengan cara ini,” kataku. Kali ini diam tanpa ekspresi, mungkin dia mulai merasa bersalah. Dan aku tak akan kasihan lagi dengannya. Cukup sudah dia membuatku menderita selama ini.
“Kau tau betul aku juga menyukaimu. Namun haruskah kita menjalaninya dengan ikatan yang seperti ini. kau tau betul ini tak sesuai dengan apa yang kita pegang. Sungguh yang namanya tulang rusuk tak akan bertukar. Semuanya sudah tertulis di lauhul ma’fudzh, kenapa kau seakan-akan takut dengan ketentuan Allah?” tanyaku dengan mata yang mulai panas, berharap ada tanggapan darinya. Dia masih diam, tak bergeming. Rasanya ada sesuatu yang ingin meledak di hatiku. Tapi tidak, aku takkan menangis di depannya, itu bukan aku. Kuharap dia mengerti apa yang kusampaikan. Kuharap dia memaklumi kenapa selama ini aku menjauhinya, kuharap dia paham kalau selama ini aku menjauhinya untuk menjaga kesucian cintaku dan cintanya.
Kutatap wajah yang selama ini kucintai itu, dia masih menatapku tanpa ekspresi, lalu dia tersenyum lagi. Aku menatapnya tak percaya, sungguh apakah dia tak merasa bersalah dengan semua hal yang diperbuatnya. Tak sedikitpun dia mengucapkan kata maaf.
Aku melirik gadis yang ada di sebelahku, gadis itu terpaku menatapku. Lalu air matanya mengalir. Sepertinya gadis ini lebih mengerti perasaanku. Sepertinya dia lebih paham maksud hatiku. Mungkin benar hanya cewek yang mengerti cewek.
“Aku tak mengerti apa yang ada dipikirannya Mbak,” kataku menatap Mbak itu. Dia mengangguk, air matanya mengalir dan entah apa yang mendorongnya, dia memelukku. Aku gusar, apa-apan ini.
“Aya, ini aku Zahra, temanmu. Dia sudah tiada sayang, dia sudah tiada,” katanya. Aku kaku, berusaha memahami pernyataannya.
“A.. aku tak memahami apa yang kau katakan!” kataku marah.
“Dia sudah tiada malam saat kau menemui dia, dan itu sebulan yang lalu, sayang. Dia kecelakan saat mengejarmu,” katanya pelan menusuk jantungku. Aku berontak melepaskan pelukannya. Aku berontak, kutatap cowok berjaket hitam tadi. Oh tidak, cowok berjaket hitam itu tak ada di sana lagi, entah kemana dia pergi. Aku berdiri mencarinya. Aku memangggil-manggil namanya. Tetap saja tak ada jawaban, tak ada dia.
Lalu aku menatap cewek yang di depanku, aku baru menyadari kalu dia Zahra temanku, aku bahkan baru menyadarinya. Dan kembali aku berusaha memahami kata-katanya. “Kau.. kau bohong, dia tadi masih di sini tadi!” kataku setengah panik. Kutunjuk tempat dimana cowok berjaket hitamku duduk.
“Dia sudah tiada sayang, daritadi aku menemanimu di sini. Kau bicara sendiri, dia tak ada di sana, itu halusinansimu. Ya.. ikhlaskanlah dia,” katanya menatapku.
“Ti.. tidaaaak,” kataku teriak setengah gila. Aku geleng-geleng kepala tak percaya. Aku menatap tempat itu aku memeluk tempat duduk itu, aku merasakan hawa dingin di sana. Aku menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba aku teringat smuanya, cowok berjaket hitam itu mengikutiku di belakang. Aku tak mempedulikannya. Aku segera menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor berkecepatan tinggi menuju ke arahku. Cowok berjaket hitam itu teriak dan semuanya gelap. Lalu, aku melihat darah, aku melihat kepalanya berdarah, aku melihatnya dimakamkan. Aku.. aku... semuanya berputar di kepalaku, semuanya. Tak kusadari air mataku mengalir , tanganku bergetar. Kutatap ketas yang dari tadi kupegang, tak ada apa-apa di sana. Hanya kertas kosong. Aku menatap Zahra. Dia mendekatiku pelan-pelan. Air matanya juga masih mengalir.
“Kau mencintainya karena Allah, sekarang ikhlaskan dia karena Allah,” bisiknya. Aku menengadah dan semuanya gelap.