3.11.2011

Harapan Emak di Pusgiwa

Tangan itu tampak keriput, hitam, dan sedikit gemetaran. Aku menelan ludah, mataku beralih kepada wajahnya yang sepertinya tampak mengarah ke arahku. Aku mengangguk senyum, dia hanya diam dan memperhatikanku dari bagian atas sampai bawah. Aku menunggu di dalam diam. Masih tidak ada suara, dia sedang menghitung beberapa botol air mineral di kulkas. Kupiilih duduk, menemaninya. Entah kenapa beberapa hari ini, aku sangat merindukan tempat ini, kangen melihatnya, kangen mendengar curhatnya.

"Bukannya kau sudah pensiun?" tanyanya dengan suara gemetar. Aku tersenyum, ada sembilir angin yang membawa kebahagiaan di hatiku. Aku mendekatinya, ternyata ia masih ingat denganku.

"Apa yang membawamu ke sini?" tanyanya dengan nada yang masih sama, suara yang beberapa hari ini entah kenapa kurindukan, aku membalas pertanyaan itu dengan senyuman.

"Kangen tempat ini, Mak," bisikku halus. Dia tertawa dan sepertinya kembali menghitung beberapa botol air mineral di kulkas itu. Aku terpaku, dia sekaan asyik menghitung botol per botol air mineral itu. Sudah tiga kali dia menghitungnya, dan jumlahnya tentu tetap sama.

"BEM UI tahun kemaren sering ngasih emak hadiah, kemaren dikasi jaket. Seneng rasanya dapet jaket gratis dari mereka, tak tahu kalau yang sekarang," celotehnya tanpa kuminta, aku mengangguk. Memang baru beberapa bulan BEM UI diganti.

"Salam UI juga biasanya ngasih mukena saat lebaran, tapi sekarang nggak lagi, mungkin mereka sudah lupa, atau tak kenal emak," lanjutnya. Kali ini aku menatapnya tanpa kedipan. Lalu senyumku mengembang, dia tetap sama, dengan celoteh itu dengan harapan itu. Kali ini rasa penasaran mengusikku

"Berapa penghasilan Emak sehari?" tanyaku, entah kenapa pertanyaan itu muncul tiba-tiba. Dia geleng-geleng kepala tersenyum malu. Aku menyesali pertanyaan yang mengganggu comfort zone nya, seharusnya aku memilih diksi yang lebih halus agar dia tak tersinggung. Aku menelan ludah.

"Emak cuma jagain toko ini," katanya menatap mataku, meilih tak menjawab pertanyaanku. Aku mengangguk-angguk, mengunci mulutku.

Semibilir angin kembali menemani kami, tempat ini, tampak lengang, tak ada suara marching band, setahuku UKM itu sedang open recruitment di stasiun UI, beberapa kilo dari sini. Itu berarti mereka takkan membeli air mineral Emak. Anak-anak BEM UI pun tak tampak keluyuran, ruangan sebelahnya juga tampak kosong, bahkan DPM terkunci rapat. Apa yang ditunggu si Emak dengan tempat kosong seperti ini?

"Ini kan bukan fakultas neng, cuma tempat kegiatan mahasiswa, dan MAPALA contohnya juga punya galon, nggak mungkin beli di sini," katanya, sepertinya mengerti apa yang kupikirkan. Aku menghela napas, hatiku berasa teriris, tak mau bertanya lagi. Takut mendengar jawaban miris dari mulut mungil itu.

Namun, dia tak berhenti berciloteh, dia kembali berharap mengingat anak BEM yang juga pernah memberinya baju bekas yang layak pakai, dia bercerita tentang pekerjaannya tiap hari itu, dia gembira berada di sana walaupun ada sebagian kecil mahasiswa yang malah makan kue dan lupa bayar, dan terpaksa dia ganti kue itu dengan gajinya. Dia berharap tahun ini BEM UI dan SALAM UI mengingatnya dan memberinya hadiah. Emak mulai berciloteh panjang lebar, tanpa diminta, tanpa ditanya. Hebatnya, tak kutemukan air mata di sana, yang terjadi malah batinku makin teriris. Air mata mulai mengalir, ketika secara tak sadar dia mengungkap gajinya yang cuma sepuluh ribu per hari, dan dia hidup sendiri. Dia tak punya lagi suami dan juga tak punya anak. Aku menghela napas.

"Tidak, tidak, emak punya anak kok," katanya padaku meralat pernyataannya tiba-tiba. Aku tercengang.

"Siapa?"desakku, ingin mencari anaknya, ingin menghampiri anaknya.

"Anak Emak kan anak BEM," katanya dengan senyuman manis. Aku menatapnya tanpa kedipan. Bergegas segera kutinggalkan tempat itu. Takut air mataku mengalir deras di depannya. Aku menatap ruangan BEM dari lantai bawah, wahai BEM, harapannya ada padamu....



Hasil wawancara Jumat, 4 Maret 2011, jam 13. 45 WIB bersama Puji, data-data tersebut fakta, dan sengaja saya sampaikan dengan cerpen.

No comments: